Cerpen

Penjaga Gawang

Ahad, 23 September 2018 | 15:15 WIB

Penjaga Gawang

Ilustrasi: tedyck.blogspot.com

Oleh Abdullah Alawi 

Gemuruh yang kudengar dari kejauhan itu ternyata bersumber dari sebuah lapangan sepak bola. Mulanya aku menyangka ada lebah hijrah. Tapi ketika mendongak langit, tak satu pun makhluk tersebut. Langkah kupercepat untuk segera sampai pada orang-orang berkerumun yang kini kulihat seperti semut merubung gula. 

Aku merangsek, menyeruak mereka karena ingin menonton dari dekat. Senti per senti aku menggeser badan di antara celah penonton. Badanku yang kerempeng mempermudah untuk menelusup sela-sela mereka. Orang yang terinjak kakinya, marah. Badannya yang terdorong, memaki. Tapi aku tak menghiraukannya. 

Sekarang aku berada di antara penonton paling depan. Posisiku di pojok lapangan dekat pemain yang akan melakukan tendangan pojok. Aku mengamati penonton yang ada di sekitarku sebentar. Tak ada yang kukenal satu pun dan pasti tak ada yang mengenaliku. Aku sudah memperkirakan hal ini karena sampai ke sini pun dengan cara tak kukenal. 

"Apa nama tim yang memakai kaos hitam itu?" tanyaku pada orang di sampingku.

"Saya di sini untuk menonton, bukan mengetahui nama tim," jawabnya.

"Ya, kami semua di sini hanya menonton dan bersorak-sorai, bukan mengetahui nama tim," timpal temannya.

Aku mengulang pertanyaan sama kepada penonton lain, dijawab geleng kepala. Aku bertanya lagi kepada yang lain, tapi tetap saja tak ada yang memberi tahuku. 

"Skor sementara berapa-berapa?" aku mengubah pertanyaan. Aku berharap kali ini dijawab.

"Aku bukan petugas pencatat skor. Aku hanya seorang penonton," jawabnya.

Ketika bertanya kepada penonton di sebelahnya, aku mendapat jawaban yang sama.

“Sebenarnya mereka itu penonton apa?” tanyaku dalam hati. 

Aku sekarang fokus ke lapangan saja. Pertandingan sangat menarik. Kedua tim bermain dengan cepat dan gesit, seperti tak kenal lelah. Kadang pemain satu menjatuhkan pemain lawan, tapi kemudian bangun kembali dan salaman. Semua pemain fokus pada bola. Sorak-sorai penonton bergemuruh memenuhi angkasa. Udara terasa panas. Debu beterbangan. 

Aku perhatikan pola peraminana kedua tim. Tim hitam rupanya lebih banyak bertahan dengan pemain belakang dan penjaga gawang yang tangguh. Tatapi sesekali menyerang balik yang membahayakan gawang lawan. Sedangkan tim biru tampil dengan permainan menyerang dan kelihatan dinamis. Jika pemain depan menyerang, otomatis pemain tengah, dan belakang segara maju pula. Tapi kalau diserang, otomatis pemain depan ke belakang bersama-sama memepersempit ruang gerak lawan.

Tiba-tiba permainan berhenti karena insiden yang terjadi di mulut gawang tim hitam. Penjaga gawang tim hitam tersungkur. Ia cedera. Pemain, wasit, hakim garis berkumpul di sekitar gawang. Ketegangan terjadi setelah kapten tim hitam sepertinya tidak terima atas perlakuan terhadap kawannya. Penonton gemuruh. Beberapa orang hendak lari ke tengah lapang. Tapi petugas keamanan dengan gesit menjambak pakainnya. Penonton lain mengurungkan niatnya. Suara penonton semakin gemuruh, menggelegar. Suasana lapangan semakin menakutkan. Aku ingat, kalau suasana seperti ini, kerusuhan gampang sekali diledakkan, seperti membakar rumput kering di musim kemarau. Permainan yang sangat menarik tercederai dengan ulah seorang pemain. 

Beberapa menit kemudian, pemain yang berkumpul di sekitar gawang semakin sedikit. Tim biru mundur ke daerahnya. Yang melakukan pelanggaran hanya diganjar kartu kuning. Inilah yang tak diterima tim hitam. Wasit sepertinya beralasan itu tak disengaja karena sama-sama loncat menjemput bola. Cedera penjaga gawang sepertinya parah. Dia ditandu dua orang official dengan pergelangan tangan kiri menutup mata, tangan kanan memegang dengkul. 

Sekarang yang kelihatan serius adalah pembicaraan antara si kapten dan seseorang yang aku perkirakan sebagai pelatih.

“Tim hitam sepertinya tak punya kiper cadangan. Bagaimana peta permainan nanti?” tanyaku pada penonton di samping.

“Itu bukan urasanku. Aku di sini cuma menonton.”

“Iya kita bukan pengamat sepakbola. Kita cuma menonton.” 

Kemudian wasit mendatangi si kapten dan pelatih. Mungkin menanyakan apakah penjaga gawang ada gantinya karena permainan harus segera dilanjutkan. 

Seseorang, yang kusangka sebagai pelatih itu, tiba-tiba, entah disengaja atau tidak melirik ke arahku. Dia menjawil pundak kaptennya. Dan jari telunjuk itu lurus mengarah kepadaku. 

Aku terkesiap. Jika aku bisa melihat, mungkin wajahku kehilangan darah. Aku tak sempat berpikir apa makna telunjuk itu dan apa yang sedang dibicarakan mereka. Aku mencoba menenangkan diri. Mungkin telunjuk itu mengarah kepada orang di belakangku. Aku pura-pura tidak tahu. Pandangan kupalingkan ke arah lain, menyaksikan tim berkaos biru yang terus berlari-lari kecil atau menendang-nendang bola, atau menggerak-gerakkan badan supaya nanti tidak kaku.

“Bang,” kata suara di sampingku, sementara telapak tangannya menyentuh pundak. Aku kaget. Aku langsung melirik ke arah orang baru datang yang tak dikenal itu.

"A…ada apa?" kataku gelagapan.

"Abang dipanggil Pak Nugraha."

"Mau apa? Siapa dia?"

"Pokoknya Abang sekarang harus segera ke sana. Ditunggu secepatnya."

"Ta…tapi mau apa?"

"Pokoknya sekarang ke sana," katanya membentak. Tangannya menarik bajuku sehingg badanku setengah terseret. Aku tak dapat menolak. 

"Saudara penggantinya!" kata orang yang dipanggil Pak Nugraha dengan tegas. Suara itu terdengar di telingaku laksana petir.

"Cepat pakai kaos kiper ini! Celana Saudara  mirip kostum kami sehingga tak perlu salin."

"Tapi saya tak sengaja memakai celana ini."

"Bukan saatnya kita membicarakan masalah ini. Semua orang berharap kepadamu.” 

"Orang yang menyeretku tadi, tanpa dikomandoai, membuka kancing kemejaku. Dan dia menyuruhku memakai seragam kiper yang cedera yang bau keringat.

"Ayo…ayo…ayo," gemuruh penonton sambil bertepuk tangan memberi semangat entah kepada siapa.

"Saudara tahu kan sekarang, penonton sangat berharap kepadamu!"

"Tapi kenapa mesti saya, bukan yang lain?"

"Tidak ada yang lain. Saudara yang cocok sebagai kiper. Iya, kan?” katanya melirik kepada pemain yang lain. Semua mengangguk serempak.

"Iya. Saudara cocok untuk kiper kami."

"Jalu…Jalu…Jalu."

Dari mana mereka tahu namaku? Belum sempat berpikir tentang itu, tanganku sudah ditarik ke area gawang. Sorak-sorai penonton semakin menjadi ketika bek tim hitam akan melakukan tendangan bebas. Tidak ada pilihan lain selain mengikuti. 

Aku memang suka bola, tapi sebagai  penonton, bukan pemain. Waktu kecil memang senang bermain bola di halaman rumah atau di sawah, tapi posisiku bukan kiper, melainkan bek. Itu pun sering dimaki teman-temanku karena lawan selalu lolos. 

Sekarang aku berada di mulut gawang. Tugasku mempertahankannya supaya jangan sampai bola menggetarkan jaring. Menangkap bola, menendang, memukul atau menepis dengan cara apa pun termasuk berjibaku berbenturan dengan pemain lain. Terjatuh, berguling-guling atau mungkin cedera seperti kiper sebelumnya, seperti Bufon, Toldo atau Van Der Sar. Mereka masih mending melakukan sesuatu sebagai pilihan dan dengan persiapan. Mereka bisa berbangga. Aku? Membayangkan jadi kiper disaksikan penonton, bukan sebagai kebanggaan, tapi siksaan. Sekarang tiada pilihan lain selain berusaha sebisa mungkin untuk melakukan peran seolah-seolah menjadi kiper. 

"Ayo..…ayo…ayo…" 

Keringat dingin membasahi sekujur tubuh. Badanku panas. Lutut gemetar. Ketika aku pandang ke bawah, baru sadar aku masih mengenakan sendal jepit. Seorang official melemparkan sepatu. Seperti kena sihir aku langsung memakainya. Aku lari-lari kecil, menggerak-gerakan tangan sambil kadang meloncat untuk melakukan pemanasan. 

Saat itulah kembali aku mendengar sorak-sorai penonton dan memanggil-manggil namaku. 

“Jalu…, Jalu…, Jalu…!

***

"Kiper goblok…kiper goblok," begitulah mereka berteriak. Beberapa kali aku gagal memepertahankan gol.  Penalti aku selalu tertipu. Tendangan bebas tak bisa kutepis. Bola yang ditendang seperti dilumasi oli. Apalagi gol yang disundul. Tahu-tahu jaring sudah bergetar. 

"Kiper goblok."

Kupingku panas. Ingin rasanya aku memukuli meraka satu per satu. 

"Kiper payah…kiper payah."

"Hei…bisa nggak sih sebenarnya jadi kiper?"

"Sudah aku bilang aku tidak mau."

"Ah, gara-gara kamu tahun ini kami tidak merebut gelar juara."

"Iya. Gara-gara kamu."

“Yang menyakitkan,kita kalah sama musuh bebuyutan.”

“Padahal kemenangan sudah di tangan.”

“Gara-gara kiper sialan, segalanya hancur.”

Kupingku panas. Kalau aku bisa melihatnya mungkin semerah cabai. Darahku mendidih. Perasaan jengkel, malu, terhina, dan dijebak bercampur menjadi satu. Aku merasa dipaksa makan sesuatu yang kelihatan lezat, tapi setelah dimakan pahitnya bukan main dan tidak hanya itu, disoraki dan dilecehkan! dipermainkan. Ingin rasanya aku tinju semua orang di situ. Tapi aku masih bisa menahan diri karena kalau melawan sama saja cari mati. Pelatih dan official sudah kabur entah kemana. 

“Ayo pulang. Ah…katanya sambi pergi kepada teman-temannya.”

“Huh…dasar kiper sialan!”

“Bego!”

Penonton semakin sedikit berhilangan. Sayup-sayup masih kudengar suara mereka. Kiper goblok, kiper payah. 

Hari semakin senja. Angin bertiup dingin berhembus menerpa tubuhku yang masih terasa panas. Kelelawar sudah mulai menziarahi gelap. Mereka mengepakkan sayapnya. Aku ingin jadi kelelawar saja.

Penonton sudah tidak seorang pun. Aku memandang tanah lapang yang rumputnya hampir mati kekuning-kuningan. Sepi…tiada bola yang terbang ke arah gawang. Sepi…tiada  sorak-sorai. Hanya gol yang menyendiri, telanjang kedinginan. 

Aku yang menyendiri...