Cerpen

Percikan Air Hangat Sisa Longsor

Ahad, 7 Oktober 2018 | 00:00 WIB

Percikan Air Hangat Sisa Longsor

Ilustrasi (via Tribun)

Udara sejuk selalu berhembus di dataran pegunungan Jawa Timur, sisi selatan tempat perkampungan Han yang bersih dan tenang berada. Seorang bocah kecil yang bernama lengkap Handito, tinggal dekat dengan paku bumi vulkanik, gunung berapi Welirang.

Sejak kecil ia sudah menjadi anak yatim. Ibunya meninggal ketika Han berusia 5 tahun. Bapaknya merasa tak tega harus mengajaknya ikut membantu di sawah. Terlebih lagi jika musti mengurus ternak tetangganya dengan imbalan anak dari hewan ternak tersebut. Namun beliau ingin menjadikan Han seorang anak yang teguh dan tegar menjalani kehidupan keras di dunia yang fana ini.

“Nak, hidup itu sudah ada yang menentukan. Jangan terlalu tebebani oleh keadaan terutama keadaan kita sekarang ini.” Bapaknya menasehati Han yang tengah menyirami sayuran.

“Enggeh pak.” Jawab sopan Han.

Nasihat bapaknya yang sejak ia duduk di kelas 3 SD sudah mendengarkan itu, selalu terulang setiap kali ke sawah. Setiap nasihat bapaknya yang sungguh berniat memotivasi dirinya, Han pun membalas dengan jawaban sopan yang serupa.

***
Sang waktu pun seakan lebih bersemangat hingga membuatnya berputar lebih cepat. Tak terasa tujuh tahun berlalu semenjak kepergian ibunya Han. Sang Bapak yang rutin ke sawah ditemani putra satu-satunya, kini harus membiarkan anaknya seorang diri mengurus tugasnya. Meski begitu, Han juga tak kuasa melihat bapaknya yang sudah memasuki usia senja harus menekukkan punggungnya di ladang.

“Bapak gak usah repot-repot ngurus sawah lagi pak. Biar saya saja yang ngurus. Bapak istirahat saja di rumah.” Saran Han untuk Bapaknya.

Yo wes, sak karepmu ae le— ya sudah, terserah kamu saja nak.” Bapak Han nurut saja pada putranya yang dirasanya tak bisa dihentikan.

Kulo teng saben rumiyen ngge pak?— Saya ke sawah dulu ya pak?” Han berpamitan dengan aksen halus khas Jawa sembari mengambil karung dan sabit.

Sesampainya di sawah, Han sibuk mencari rumput untuk ternak tetangganya di kandang. Ia ingin sesegera mungkin membabat banyak rumput agar bisa langsung menyirami sayuran hasil tanam bapaknya yang mulai layu. 

Di sisi lain, sekitar dua kilometer dari lokasi Han mencari rumput. Di sebuah rumah sederhana yang terbuat dari anyaman bambu, Bapaknya Han keluar untuk melaksanakan sholat ashar. Seusai menjalankan ibadah, Bapak Han itu menjumpai seorang tetangganya.

Cak No, sampean mboten sios mendhet jamur ta?— Cak No, anda tidak jadi ngambil jamur?” tanya Bapak Han kepada tetangganya, Cak Suparno.

Mboten pak. Lanek sampean purun ngge monggo dipendhet. Lumayan bayarane.— Gak pak. Kalau anda mau, ya silahkan diambil. Lumayan upahnya.” Cak Suparno menawari Bapak Han untuk mengambil jamur yang berada di dekat tempat wisata yang ramai di daerah pegunungan itu.

Bapak Han yang kebetulan memikirkan uang untuk makan malam, langsung saja menerima tawaran tetangganya tadi tanpa pikir panjang. Ia pun beranjak mohon diri lalu pergi. Sedangkan Cak Suparno, tetangga yang merupakan penjaga musholla sekaligus muadzin itu masih tinggal di teras musholla untuk rehat menjelujurkan kedua kakinya sejenak.

Han yang baru pulang dari sawah, menyadari bahwa bapaknya tidak ada di rumah. Ia pun lekas membersihkan badan lalu menuju musholla. Han, yang mengira bapaknya masih berada di musholla namun tak berjumpa pula disana, bertanya pada Cak Suparno.

Setelah mendengar jawaban dari Cak Suparno, Handito langsung saja menyusul ke tempat wisata tersebut tanpa pamit ke tetangganya tadi. Entah kenapa, terbesit di benaknya sebuah firasat buruk.

Bapaknya yang tengah sibuk mencabuti jamur di sebuah gubuk budidaya jamur, tiba-tiba berhenti sejenak. Ia keluar dari gubuk dan menuju sungai dekat gubuk untuk mencuci beberapa jamur yang kotor. Han yang sudah sampai di lokasi wisata, melihat bapaknya di kejauhan sedang mencuci sesuatu di tepi sungai.

“Paaakkk… Bapaakkk…” Teriak Han memanggil Bapaknya sembari melambaikan tangan.

Bapaknya mendongak sedikit ke arah teriakan itu. Ia bingung kenapa Han bisa tahu kalau bapaknya sedang disitu dan menyusulnya sore-sore hari begini. Bapaknya pun berhenti mencipratkan air sungai ke jamur yang dipegangnya. Tiba-tiba, suara gemuruh air dan teriakan orang-orang yang berada di dataran lebih tinggi terdengar. Han menengok ke atas, banyak orang berlarian sambil berteriak.

“Awwwaaasss… Ono longsor…”

Han seketika mengarahkan pandangan ke bapaknya. Ia pun memberikan isyarat ke bapaknya untuk segera lari. Namun bapaknya yang tak paham dengan isyarat Han, tetap saja terdiam di tempat.

“Bberbbbreellllbbbb…” Suara tak jelas itu semakin keras.

Han sontak terhenti. Suara gemuruh longsor tanah bercampur air dan bebatuan yang bising, seakan tak terdengar olehnya. Semua hening. Senyap. Serasa tuli. Ia sangat tersentak oleh longsor dan banjir bandang yang menghantam bapaknya.

Air matanya mengalir deras membasahi pipinya bersamaan dengan percikan air hangat pemandian. Dan seketika itu ia bertekuk lutut. Tatapannya kosong. Tanpa air mata. Entah itu pertanda pasrah atau lantaran tersentak keras mentalnya.

Seorang petugas penjaga loket, bergegas menarik Han dan menggendongnya menjauh dari longsor itu. Ia hanya diam tak berdaya. Sampailah ia di sebuah surau yang dipastikan aman dari jangkauan longsor dan banjir bandang tersebut yang menimpa Pacet, Mojokerto.

Ia tiba-tiba dipeluk oleh seseorang yang dikenalnya. Cak Suparno tak bisa melihat ekspresi Han sama sekali, selain sisa air mata dan tatapan kosongnya. Ia tak habis pikir, bocah sekecil Han harus menjalani hidup ini sebatang kara tanpa asuhan dari siapapun.

Akhirnya ia putuskan untuk merawat Han, meski ia hanya mampu memberinya makan sehari-hari. Yang terpenting ia bisa menemani Han walaupun belum bisa menanggung biaya kelanjutan sekolahnya.

Han yang sudah berminggu-minggu tenggelam dalam kesedihan, teringat akan nasihat almarhum bapaknya, “Nak, hidup itu sudah ada yang menetukan…” Akhirnya ia pun menjalani kesehariannya seperti biasa. Namun untuk saat ini, bertambah aktivitasnya yaitu membantu Cak Suparno di musholla.

Ia sadari bahwa semua yang telah berlalu merupakan kehendak Allah. Musibah yang menimpanya pun adalah kehendak Allah Yang Maha Kuasa atas segala-galanya untuk menguji para hamba-Nya yang ia kehendaki. (M. Naufal Waliyuddin)