Cerpen LIA INDRIYANI

Preman Itu Mengejarku

Ahad, 16 Juni 2013 | 06:04 WIB

Aku dilahirkan di Desa Redup, desa yang bisa dibilang terpencil. Kami setiap hari bergelut dengan terik matahari di tengah sawah-sawah kami. Ya, termasuk aku, sejak kecil tak pernah mengenal bangku sekolah. Yang aku tahu hanya sawah dan seisinya, serta seluk-beluknya. Aku teringat saat menonton TV di tempat Pak Lurah, ada rombongan anak-anak berpakaian putih membawa kitab dan menuju <>tempat yang indah. Bangunannya hampir sama dengan bangunan yang ada di dekat rumahku. Hanya saja di TV terlihat ramai oleh orang-orang yang katanya mau shalat dan mengaji di tempat itu. Tapi kenapa bangunan di dekat rumahku selalu bisu, kotor dan tak ada suara indah yang memanggil orang-orang di sekelilingnya seperti yang aku dengar di TV?

Ketika malam tiba yang aku dengar hanya suara-suara sumbang gitar dan celoteh burung-burung malam. Aku sering pula mendengar suara botol beradu dan tak berapa lama terdengar gelak tawa yang memekakan telinga. Entahlah suara siapa itu, karena aku hanya dapat mendengarnya dari balik bilik kamarku. Ya, setelah senja menghilang, aku tak pernah diperbolehkan keluar rumah oleh bapak dan ibuku. Sama sekali aku tak tahu kenapa, tapi mereka selalu bilang, ”Pamali, Nduk kalau anak gadis keluar malam-malam.” Ya aku hanya menurut saja. Tapi aku heran tak jarang di antara gelak tawa yang membahana ada pula suara tawa seorang wanita. Aku dipenuhi tanda tanya, kenapa dia boleh keluar, sedang aku tidak?

***

Suatu sore ada seorang laki-laki paruh baya, dengan jenggot terawat di janggutnya, datang ke rumahku dan menemui bapakku. Aku mendengar dari bilik kamarku kalau laki-laki itu ingin menghidupkan masjid di kampungku. Mana mungkin masjid bisa hidup, bukankah masjid memang benda mati. Tapi anehnya bapakku mengizinkannya. Saat itu juga laki-laki itu membersihkan masjid hingga wangi tercium oleh hidungku. Saat sudah mulai hampir gelap, aku mendengar suara laki-laki itu dari pengeras suara, indah sekali suaranya. Ketika aku tanya bapakku, katanya itu adalah suara adzan, yang berfungsi memanggil orang, supaya mau shalat bersama di masjid. Namun, bapakku diam meninggalkanku ke masjid, saat aku tanya kenapa bapak tak pernah melakukannya? Bapakku masih diam saja ketika aku meminta izin mengikutinya ke masjid. Aku berlari saja membuntuti bapakku.

Ternyata seperti itu yang dinamakan shalat, bapakku bisa melakukannya. Kenapa Bapak tidak pernah melakukannya selama ini, atau paling tidak mengajarkannya padaku? Entahlah aku juga tak tahu jawabannya. Anak-anak sebayaku banyak pula yang datang ke masjid. Usai shalat, laki-laki yang tadi datang ke rumahku, mengajak kami berkumpul dan mengajak kami semua untuk menghidupkan masjid.

”Kami memang sudah lama merindukan masjid ini hidup, terima kasih Pak Kiai berkenan datang ke sini dan menghidupkan masjid yang telah lama mati ini,” kata bapakku. Laki-laki yang dipanggil kiai hanya tersenyum. Aku merasakan kedamaian dalam senyumnya. Kemudian berdehem sebentar.

”Ini sudah menjadi kewajiban saya, dan kita semua untuk menghidupkan rumah Allah ini. Mari Bapak-Bapak, Ibu-Ibu, kita bersama-sama belajar taat pada Yang Maha Kuasa. Apa ada yang keberatan atau mungkin punya usul? Silakan saja! Saya di sini cuma pendatang, kurang bijak kalau saya terkesan menguasai.”

Semua diam saja hanya terdengar bisik-bisik. ”Akh... Pak Kiai itu sok suci, pura-pura mau menghidupkan masjid ini. Kenapa tidak urusi saja desanya. Bukankah dia berasal dari Desa Terang? Apa dia pikir desanya sudah bagus, sempet-sempetnya mengurusi desa orang.”

Pak Kiai tak mendengar bisik-bisik itu, tapi aku mendengarnya, sangat jelas di telingaku.

”Baik kalau tidak ada pendapat, izinkan saya berpendapat. Bagaimana kalau setiap shalat lima waktu kita usahakan untuk berjamaah. Kemudian setiap setelah shalat ashar anak-anak belajar Al-Qur,an dan apa saja yang berkaitan dengan agama Islam. Setiap jum’at, Bapak-Bapak shalat Jumat, shalat berjamaah kemudian kita bersama-sama belajar agama, beserta ibu-ibunya juga. Bagaimana?”

”Kami terserah Pak Kiai saja, kami menurut,” jawab bapakku.

Seperti kata Pak Kiai kami selalu shalat berjamaah, dan aku mulai belajar Al-Qur’an dan apapun yang ingin aku tanyakan. Aku bahagia, ternyata Pak Kiai baik sekali, mau saja menjawab semua pertanyaan-pertanyaanku dengan sabar. Sedikit banyak aku mulai mengerti agama Islam, aku paham yang dimaksud menghidupkan masjid oleh Pak Kiai itu, membuat masjid kembali melakukan fungsinya yaitu sebagai tempat pusat kegiatan orang-orang Muslim.

Sore itu saat aku mau berangkat ke masjid, aku bertemu pemuda yang kemudian memandangiku terus. Aku takut, sehingga aku mempercepat langkahku. Untung saja aku sudah dekat dengan masjid. Aku duduk di dekat Yatmi dengan nafas yang masih terengah-engah.

”Kau kenapa, Mah?”

”Aku tadi diikuti oleh dia, aku takut sekali,” kataku sambil menunjuk ke arah pemuda yang masih berdiri tidak jauh dari masjid.

”Salamah, kamu tahu tidak siapa dia?” Aku hanya menggelengkan kepala.

”Dia itu Mas Dedi, dia itu putra Pak Kepala Desa kita, yang tak pernah mengajari kita ngaji, pekerjaannya malah berjudi bahkan memusuhi Pak Kiai yang mau mengajari kita ngaji. Mas Dedi itu setiap hari kerjaannya mabuk-mabukan, tahu tidak? Pacarnya banyak. Anehnya pacarnya mau saja sama dia, katanya sih, Mas Dedi itu uangnya banyak. Tapi aku takut sama dia. Kamu harus hati-hati, Mah!”

Aku merinding juga mendengar cerita Yatmi. Aku semakin takut ketika Mas Dedi ikut pula ngaji bersama kami. Matanya selalu memperhatikanku bukan Pak Kiai, meskipun kami terhalangi tabir, tapi aku tahu matanya mencuri-curi. Kuceritakan hal itu pada ibuku. Kemudian Ibu bercarita pada bapakku dan sampailah ke telinga Pak Kiai.

Seperti biasa, setelah shalat Ashar kami ngaji lagi. Benar dugaanku Mas Dedi terlihat bersama kami juga ikut ngaji. Aku benar-benar tak nyaman dengan tatapan matanya saat tak sengaja mata kami bertemu. Setelah usai ngaji, aku langsung pulang. Tapi aku melihat Pak Kiai memanggil Mas Dedi dan entah membicarakan apa. Yang jelas, sejak saat itu Mas Dedi tak terlihat lagi ikut ngaji bersamaku setiap sore. Tapi setelah jama’ah shalat Isya, Mas Dedi bersama teman-temannya berkumpul di masjid bersama Pak Kiai. Aku yakin mereka pasti mengaji.

Dua bulan berlalu, tak ada lagi pemuda-pemuda yang memperdengarkan gelak tawa di malam hari sambil berteman botol. Tak ada juga orang-orang yang merasa rugi di pasar, karena dipalak preman. Aku baru tahu ternyata Mas Dedi itu ketua geng yang biasa berulah. Sekarang Mas Dedi dan anak buahnya malah menjadi penghuni masjid, dan membuat masjid hidup meski mata orang-orang tengah terlelap.

***

”Apabila sudah mampu, dan ada calon yang baik akhlak dan agamanya, tidaklah patut kita menampikknya.”

Kata-kata Pak Kyai dalam mengakhiri pengajian sore itu, masih saja terngiang di telingaku. Terdengar orang mengucap salam dan Ibu menjawab, kemudian membukakan pintu untuknya. Oh, ternyata Pak Kiai. Beliau berbincang dengan bapak. Aku memasang telingaku lebih tajam ketika terdengar Pak Kiai menyebut-nyebut namaku.

”Aku yang menjaminnya, dia sudah berubah,” kata Pak Kiai penuh wibawa.

”Kalau memang Pak Kiai sudah berkata begitu, tinggal Salamahnya mau atau tidak?” kata bapak. Kemudian ia memanggilku. Aku pun keluar dari kamar, dengan muka sedikit memerah, jujur aku malu.

”Saya rasa Salamah sudah mendengar semuanya. Bagaimana Nak, apa kau mau menikah dengan Dedi?” kata Pak Kiai dengan lembut. Lidahku kelu, bibirku tak mampu bergerak. Hanya anggukkan yang mampu aku berikan sebagai jawaban atas pertanyaan Pak Kiai.

***

Persiapan pernikahan aku dan Mas Dedi berlangsung selama sebulan. Aku benar-benar merasa kakiku tak menapak tanah. Jiwaku terbang, melayang menggapai bintang-bintang, ketika Mas Dedi mengucap dua kalimat syahadat kemudian menerima aku menjadi istrinya. Hampir saja jantungku loncat dari tempatnya ketika semua saksi berucap ”Syah.” secara serempak. Hanya butir-butir air mata yang menghiasi senyumku. Kuraih dan kucium tangan Mas Dedi, ya tangan suamiku. Mata kami beradu. Subhanallah indah sekali mata mantan preman itu. Aku benar-benar ingin berenang di lautan matanya. Aku bersyukur bisa menjadi istri, ya istrinya seorang Dedi.

***


LIA INDRIYANI, seorang pendidik yang senantiasa beupaya menjadi penulis, merupakan alumni Sekolah Kepenulisan STAIN Press Purwokerto. Sekarang tergabung dalam Komunitas Matapena, Komunitas Puisi dan Sastra, dan Sekolah Menulis Cerpen Online (Writing Revolution). Tulisannya pernah dimuat di Tabloid Poin, Surat Kabar Suara Merdeka, Majalah Ummi, puisinya dibukukan dalam Antologi Puisi ”Pilar Penyair” (2011),  puisi dan cerpennya dibukukan dalam antologi sastra ”Aksara Nusantara” (2011), Cerpen “Suka Ayam” menjadi juara 6 dalam lomba cipta cerpen tingkat Mahasiswa se-Banyumas di UNSOED Purwokerto (2012), puisinya dibukukan dalam antologi “Pilarisme” (2012), prosa liriknya dibukukan dalam antologi “Karmapala” (2012), dan Cerpen “Bahu Laweyan” menjadi nominator lomba cerpen tingkat mahasiswa Nasional di STAIN Purwokerto dan dibukukan dalam antologi “Nyanyian Kesetiaan” (2012). Cerpen anak, cerpen dan puisinya dibukukan dalam antologi “Creative Writing” (2013).