Cerpen CERPEN M. THOBRONI

Risau Kiai Mastuhu

Ahad, 9 Desember 2012 | 02:40 WIB

Kiai mastuhu sedang risau. Menantu satu-satunya, Basyar, adalah biang keladi kerisauan kiai sepuh itu. Dulu, saat mula-mula Basyar dan orang tuanya datang melamar Laila, Kiai Mastuhu seperti sudah melihat ngalamat.

<>Ngalamat itu seperti sebuah tanda-tanda yang hanya ditemukan dan diperoleh orang seperti Kiai Mastuhu, yang memiliki tradisi ritual dan spiritual cukup mumpuni.

Tapi Kiai Mastuhu tidak mau disebut sebagai orang tua konservatif, seperti ditudingkan beberapa orang yang sok pintar belakangan ini. Apalagi, posisi sebagai seorang kiai, pastilah tuduhan orang terhadap dirinya sebagai orang konvservatif kian kencang. Karena itulah, atas persetujuan istrinya juga, Kiai Mastuhu merestui pernikahan Basyar-Laila. 

Sejak dulu, sebenarnya kiai sepuh dari sebuah pesantren terkenal itu kurang suka dengan anak-anak dari kampus. Basyar saat itu sudah lulus dari jurusan politik.

“Untuk apa belajar politik?” tanya Kiai Mastuhu saat itu. Bibirnya tersenyum tipis.

“Agar kita mengerti politik, Kiai! Politiklah yang mengatur negara ini. Tanpa memahami politik dengan segala seluk-beluknya, kita pasti akan jadi pecundang!” tegas Basyar. 

Gayanya sebagai orang kampus boleh juga. Dahinya beberapa kali bergerak-gerak, menandakan ia seorang pemikir. Memang demikian halnya. Basyar dikenal cukup cerdas. Selain berkemampuan akademik cukup tinggi, Basyar juga sangat populer di kalangan mahasiswa. Berbagai jabatan orgLailasi pernah dipegangnya. Tak heranlah, terdapat sebuah anekdot di kampusnya, bahwa hanya orang kurang pergaulan yang tidak mengenal Basyar. 

“Rakyat kita masih menderita. Itu gara-gara mereka tidak paham politik. Akibatnya, rakyat mudah ditipu!”

Basyar masih tetap menggebu-gebu. Kiai Mastuhu masih tetap tersenyum, sembari sesekali menggelengkan kepalanya. 

“Tapi politik itu kotor, Nak?”

“Tergantung orangnya. Sebagai orang beragama, kita tidak boleh menjauhi politik. Agama kita mengatur semuanya, termasuk politik.”

Kiai Mastuhu tersenyum simpul. Kepalanya mengangguk pelan-pelan. Lalu pamit ingin masuk kamarnya dulu. Itu dulu. 

Jadilah Basyar menikahi Ning Laila. Pernikahan itu disambut hangat, bahkan gegap gempita dari seluruh kota. Hampir semua media menjadikannya berita. Tayangan infotainment pun tak luput mengangkat momentum pernikahan Basyar-Laila, sembari menambahkan beberapa bumbu gosip. Konon, menurut presenter infotainment itu, Basyar terkenal sebagai don juan di kampus. Tapi, Ning Laila memberikan konfirmasinya. Ning Laila tidak percaya isu itu, dan menganggapnya sebagai fitnah semata.

Seluruh warga pesantren ikut bergembira. Apalagi, baru setahun menjadi keluarga pesantren, Basyar telah berhasil mendatangkan seorang menteri dalam acara haul Kiai Daldiri, kakek Laila. Menteri itu pulang dengan meninggalkan dana milyaran. 

“Ini dana titipan, Kiai. Mudah-mudahan dapat menambah kekurangan pembangunan madrasah,” ujar sang menteri sambil membungkukkan tubuh, lalu mencium tangan Kiai Mastuhu. Dengan alasan ditunggu sebuah acara, sang menteri segera berpamitan. 

Kiai Mastuhu hanya dapat diam. Beliau tak berkutik atas situasi ini. Hati kecilnya ingin menolak. Tapi, madrasah memang sedang membutuhkan dana besar. Sementara, untuk menarik dana dari wali santri, dirinya sungguh tidak tega. Pesantren adalah simbol pendidikan murah bagi rakyat. Bagaimana nasib rakyat di desa-desa bila pesantren pun ikut menaikkan biaya pendidikan? Karena itulah Kiai Mastuhu tidak mampu menolak dana titipan dari sang menteri.

Keberhasilan Basyar mendatangkan seorang menteri ke pesantren, dilanjutkan dengan berbagai kejutan lain. Basyar ditunjuk dan diangkat sebagai seorang anggota Komisi Pemilihan Bupati (KPB) di kota ini. Santri-santri kian bangga dengan menantu kiai mereka. Dalam hati mereka, telah tertanam cita-cita untuk mengikuti jejak Basyar. Dalam mimpinya, para santri mulai membayangkan diri menjadi menteri, presiden, atau anggota KPB, seperti Basyar. 

Belakangan, Basyar juga diminta menjadi pengurus inti di parpol besar. Meski setingkat kabupaten, posisi Basyar semakin menggelembungkan pundi-pundi uangnya. Sudah menjadi rahasia umum, bila politisi itu uangnya banyak.

“Dari mana uang untuk membuat pelatihan kewirausahaan, bantuan bencana alam, sumbangan fakir miskin, kiriman air bersih, atau menyekolahkan guru? Pasti dari dana taktis!” seletuk Kang Irham. 
Apalagi, KPB pun mulai diusik oleh media dan kelompok kritis di kota ini. Seluruh anggota KPB diduga terlibat penyalahgunaan dana taktis, dan mark-up anggaran pilkada. Basyar memang cerdik. Dia segera menyanggupi permintaan sebuah parpol untuk menjadi pengurus inti. 

Seluruh keluarga pesantren masih percaya, Basyar tidak berperilaku busuk. Basyar adalah orang kampus yang mengerti etika dan moral. Dia tidak akan mempertaruhkan kehormatan hanya untuk mengemplang uang negara. Seluruh warga pesantren percaya, juga jamaah pengajian di pesantren. Kecuali Kiai Mastuhu. Hatinya mulai resah, gundah-gulana. Risau jiwanya terlihat dari perubahan perilaku Kiai Mastuhu akhir-akhir ini.

Kiai Mastuhu semakin jarang membalah kitab. Jamaah ibu-ibu dan bapak-bapak dari sekitar pesantren diserahkan kepada Ustadz Munif. Hari-hari Kiai Mastuhu habis di ruang pribadi. Beliau keluar saat mengimami shalat. Selesai shalat, beliau berdzikir dan wiridan berlama-lama. Tidak seperti biasa. Meski wiridan lama, sehabis shalat shubuh Kiai Mastuhu menyempatkan diri berjalan-jalan keliling pondok. Sekarang, jangankan berjalan keliling pondok, Kiai mastuhu masih di ruang imam hingga matahari menyembul dari ufuk timur. Tak berselang lama, beliau mendirikan shalat dhuha.

Beberapa jamaah dan santri pun mulai ikut-ikutan gelisah. Tapi tidak seorang pun berani bertanya. Para santri kecil tidak terpengaruh dengan situasi tersebut. Hanya santri remaja yang mulai kasak-kusuk. Santriwati dewasa mulai ngrumpi sembari mencuci baju. 

Tujuh hari setelah perubahan, Kiai Mastuhu meminta seluruh warga pesantren berkumpul di halaman pesantren. Demikian halnya dengan para jama’ah dari sekitar pesantren. Para santri, cantrik, jamaah pengajian, semua kaget bercampur heran. Untuk apa Kiai Mastuhu mengumpulkan mereka? Tidak ada jadual mujahadan, atau khaul dalam waktu dekat, apalagi hari ini. Tapi mereka dikumpulkan bersama-sama.

Setelah agak lama menahan nafas dan keingintahuan, seluruh yang hadir di halaman pesantren tampak lega dan sumringah. Kiai Mastuhu muncul dihadapan mereka dengan dituntun Kang Irham. Kiai Mastuhu berbasa-basi sebentar, sembali beberapa kali melepaskan batuk. Air mukanya tampak tegang. Tapi, Kiai Mastuhu tampak berusaha tersenyum. 

“Mungkin kalian terkejut atau heran dengan perubahan pada diri saya akhir-akhir ini. Saya sendiri memang sedang risau juga. Tapi, ngalamat itu masih samar-samar, meski mulai jelas. Mudah-mudahan, petang ini, setelah kalian sampai di kamar dan rumah masing-masing, ngalamat itu telah tampak jelas. Saya hanya dapat berpesan, kalian jangan terkejut apalagi marah-marah. Yang terjadi adalah karena kesalahan kita sendiri. Jalan sejarah kita yang membuatnya, bukan orang lain. Apapun yang terjadi, meskipun pahit, kita harus siap menghadapinya!”

Sejenak kemudian, Kiai Mastuhu sudah uluk salam, lalu kembali ke ruang pribadinya. Para jama’ah terhenyak di tempatnya masing-masing. Mereka masih terbingung dengan ucapan Kiai Mastuhu. Tidak seperti biasanya Kiai Mastuhu menyampaikan sesuatu hal sangat kurang jelas seperti saat ini. Apa yang dimaksudkan beliau dengan ngalamat? Apa pula yang disebutnya sebagai tanda-tanda? 

Dengan membawa pertanyaan di benak masing-masing, seluruh yang hadir di halaman pesantren, pulang ke tempat masing-masing. Tapi, sesampai di tempat masing-masing, mereka memang dihadapkan pada sebuah berita menarik. Televisi dan radio petang itu mengungkapkan, seorang tokoh parpol ditangkap Komisi Anti Korupsi. Petang itu, seluruh tubuh warga pesantren berkeringat, karena suasana pesantren tiba-tiba pBasyar. Bukan kemarau, tapi suhu pBasyar gara-gara penangkapan Basyar Komisi Anti Korupsi. Pikir warga pesantren: apakah ini ngalamat yang disebutkan Kiai Mastuhu?

M. Thobroni, adalah seorang peziarah. Pernah mengais pengalaman hidup di berbagai komunitas agama, budaya dan politik. Kini mengabdikan diri sebagai pendidik di Tarakan dan sekitarnya, kawasan perbatasan utara Indonesia yang berbatasan dengan Malaysia, Brunei dan Filipina.