Riwayat Memahami
oleh Abdullah Zuma
“Pahamilah aku! Kamu tak pernah bisa memahamiku,” katamu suatu ketika.
Aku kaget mendengar kata itu. Untuk beberapa saat aku diam tak menanggapi karena tahu harus berkata apa.
Kamu diam. Menunggu aku bicara.
Setelah berapa lama diam, terpaksa aku bersuara.
“Perlu kamu ketahui,” aku mulai bicara, “kata memahami begitu menakutkan bagiku. Jangankan melakukannya, membayangkannya pun aku tak pernah. Bukan sekadar tak bisa, tapi tak mungkin bisa. Jangankan memahamimu, sudah kukatakan bahwa tentang diriku, keberadaanku, mengapa aku begini, bukan begitu, sampai saat ini aku tak paham. Juga tentang kenapa aku mencintaimu sampai saat ini aku tak memahaminya. Jangan-jangan aku mencintaimu karena memang aku tak memahami.”
Kamu diam.
“Baiklah kalau kamu kurang memahami apa yang kukatakan tadi, aku akan menceritakan riwayatku tentang memahami. Begini, saat aku berada di ruang kelas, waktu aku masih sekolah, aku sering tak paham apa yang diterangkan ibu guru. Aku hanya memandangi mimik muka, menyimak intonasi, gerak-gerik tubuhnya, tapi kata-kata yang berhamburan dari mulutnya jelas tak kupahami. Kata-katanya hanya jadi buih percuma. Jangankan memahami kata-kata orang lain, kata-kataku sendiri saja kadang aku tak paham. Aku tak pernah bertanya dan ditanya ibu guru karena bukan sekadar mungkin tapi pasti aku tak kan bisa menjawab. Aku hanya diam saja. Kawan-kawanku tidak akan menertawakan atau mencemoohku karena mereka sudah maklum dengan kebiasaanku. Aksara atau gambar yang ada di papan tulis yang dibikin bu guru terasa asing. Catatan-catatan yang aku bikin juga hanyalah sebatas catatan. Karena jika aku membacanya kembali saat waktu ujian semakin dekat, aku hanyalah membaca tanpa ada yang bisa kupahami. Maka, waktu aku mengisi sosl-soal uji
an, sungguh jarang –untuk tidak mengatakan tidak pernah- aku membacanya, karena itu sia-sia. Aku cuma pura-pura membaca soal, bukan memahami.”
Kamu masih diam.
“Kemudian jika nilai-nilaiku ada yang bagus, sungguh itu hanyalah keberuntungan, itu adalah kebetulan belaka. Dan jika itu terjadi berkali-kali, itu adalah keberuntungan dan kebetulan yang berkali-kali, berturut-turut, berulang-ulang. Jika kau bertanya mungkinkah itu terjadi? Begitulah kenyataannya. Kadang aku juga tidak paham akan semua itu. Ada juga kemungkinan lain bahwa nilai-nilai yang tertera di rapor, dikatrol ibu guru sehingga aku layak naik kelas. Itu mungkin sekali terjadi karena dia kasihan kepadaku. Pertimbangannya adalah, percuma saja aku tak naik kelas karena dia pasti tahu tak akan ada perkembangan berarti dalam pemahamanku.”
Kamu masih juga diam.
“Kamu masih ingat video klip yang kau berikan beberapa waktu lalu itu?”
“Oh ya. Masih ingat? Kenapa?”
“Nah, di video klip itu ada lagu yang sering kaunyanyikan. Suaramu persis dengan penyanyi aslinya. Terus terang aku menyukai dan menikmatinya. Tapi jelas aku tak bisa memahaminya. Aku sepakat dengan orang yang mengatakan bahwa menikmati tak selamanya harus memahami. Jika aku menontonnya, lagi-lagi aku tak paham gerak-gerik orang yang ada dalam gambar hidup itu, meski aku telah berjuang memahaminya. Karena itulah aku kurang suka menonton film meski kamu mengajakku beberapa kali. Percuma! Aku sangat sukar memahami gerak-gerik, alur cerita, apalagi menebak akhir dari cerita dan bagaimana nasib tokoh-tokohnya. Jika nonton bersama teman misalnya, aku sering bingung sendiri. Dia biasanya tertawa melihat adegan atau kalimat yang tentu menurutnya lucu. Dia kadang terharu, mengangguk-angguk, tersenyum, atau bahkan menangis. Apalagi film dengan bahasa asing. Terjemahan kata-katanya tak banyak membantu.”
Kamu kembali terdiam.
“Apalagi kalau berbicara tentang hidup, lebih tak kupahami! Dari satu soal saja, masalahnya bisa beranak-pinak sampai tak terhingga. Misalnya, tentang dari mana asalnya manusia, harus bagaimana seharusnya, dan akan kemana nantinya, akan berkecambah masalahnya sampai tak terhingga karena dari waktu ke waktu cara pandang orang semakin berkembang. Sungguh aku tak paham semua itu. Sudah kukatakan, jangankan tentang hidup, tentang diriku, keberadaanku, mengapa akau seperti ini bukan seperti itu, sampai saat ini aku tak paham. Sampai aku pada kesimpulan seperti ini, hidup bukan untuk dipahami dan dimengerti, tapi dijalani. Makanya aku hidup, ya hidup saja seperti ini. Aku hanya menjalani saja tanpa pernah memikirkan atau merencanakan karena aku rasa kelahiranku, keberadaanku tanpa aku pikirkan dan aku rencanakan sebelumnya. Karena itulah, aku hampir tidak pernah punya cita-cita, tujuan hidup, keinginan, berusaha mengubah diri, apalagi mengubah orang lain. Sebab semuanya ‘merasa’ ada yang sudah memikirkan dan merencanakan. Kamu jangan bertanya siapa yang memikirkan dan merencanakannya, karena aku sama sekali tak tahu! Aku hanya merasa seperti itu. Jika ingin jelas, tanyakan saja pada orang lain.”
Lagi-lagi kamu terdiam.
“Sungguh! Janganlah kamu meminta supaya aku bisa memahamimu. Itu akan sia-sia saja. Tapi kamu jangan pernah menyangka jika aku tak bisa memahamimu berarti aku tak mencintaimu. Jangan! Jangan pernah punya pikiran seperti itu. Memahami dan mencintai adalah dua hal yang sunguh berbeda. Jika ada yang menyamakan, atau mengait-kaitkan, sungguh! Itu hanya akal-akalannya saja. Tapi sekali lagi, jika yang kaupinta adalah memahami, jangankan berbicara tentang kepastian, untuk mengatakan sekadar kemungkinan pun aku masih ragu. Juga bukan sekedar ragu, tetapi aku yakin tak bisa.”
“Mungkinkah cinta tanpa memahami?” kamu sekarang bertanya setelah mendengar penjelasanku yang entah kamu pahami, entah tidak. Terus terang sebenarnya aku juga tak paham penjelasanku sendiri. Aku hanya berusaha berkata dan seperti itulah kata-kata yang keluar.
Aku langsung menjawab, “Mungkin! Bahkan aku pikir bukan hanya sekadar ‘mungkin’, tapi pasti.”
“Seperti apakah menjalani cinta tanpa memahami?” tanyamu lagi.
“Seperti yang kita jalani sekarang ini.”
“Seperti apa yang kita jalani sekarang ini?”
“Ya, seperti ini.”
“Iya, seperti apa?”
“Aku tak paham pertanyaanmu.”
“Aku tak paham penjelasanmu.”
Kamu terdiam. Aku juga terdiam. Kamu sepertinya tak ingin bertanya lagi. Aku juga tak ingin menjelaskan lagi. Mungkin antara aku dan kmu tidak ada yang mesti dipahami lagi.
Penulis adalah Nahdliyin tinggal di Bandung, pernah nyantri di Pondok Pesantren Asy-Syarfiyah dan As-Salafiyah Nurul Hikmah Sukabumi