Cerpen

Senja Alue Naga

Ahad, 29 Juli 2012 | 00:35 WIB

Oleh: Muhadzdzier M. Salda

Tiga hari sudah istri gubernur menghilang. Tentu saja jadi berita paling heboh di provinsi kami. Semua media berlomba memberitakan. Dan perangkat pemerintah terus melacak keberadaannya.
<>
Kasak-kusuk muncul dugaan, ia diculik lawan politik sang gubernur, suaminya.

Tapi aku tak peduli dengan berita itu. Aku tak mau terpengaruh heboh yang berkembang hebat di warkop-warkop. Lebih baik aku berjalan-jalan ke pantai Alue Naga.

Saban akhir pekan, aku sering menikmati senja di Alue Naga, dekat jembatan Krueng Cut yang telah di hamok air bah menjelang akhir tahun 2004 lalu. Indah sekali melihat semilau riak gelombang laut.

Pernah aku berpikiran seperti ini. Andai saja senja itu bisa diperjualbelikan seperti kasus-kasus hukum di pengadilan, aku tentu akan membeli senja. Tapi bagaimana cara membelinya? Berapa harga sekilo? Lalu, membeli kepada siapa?

Kalaulah senja itu dikelola perusahaan komersil, kalian tentu bisa membelinya, semisal meminta begini: “Bang, saya beli senja sekilo ya?” setelah engkau membayar, senja itu bisa dibawa pulang. Bisa kalian tatap berlama-lama di rumah bersama anak istri tercinta.

Tetapi Tuhan Maha Mengetahui akan segala ciptaannya. Jika senja diperjual-belikan, nantinya akan habis. Kalian bayangkan jika di dunia ini tak ada lagi senja? Dan para kekasih-kekasih, di sore, tepian laut, tak lagi menikmatinya.

“Hahaha andai saja senja itu dijual beli,” aku geli dengan pikiran sendiri.
***

Seperti itu pula yang kulakukan sore itu. Aku pergi ke Alue Naga. Menikati senja. Tapi seindah apa pun, senja harus pergi. Senja perlahan-lahan hilang, ditutup gelap.

Dari kejauhan azan berkumandang, bersahut-sahutan mengingatkan  umat beriman menyembah Tuhan. Lembu-lembu  yang merumput di kebun, pinggir pantai, beriringan kembali ke kandangnya. Mereka tahu ketika senja perlahan ditelan laut, harus pulang tanpa komando para tuannya.

Di bibir pantai, beberapa orang melempar pancing ke dasar laut. Seorang nelayan yang kukenal di pinggir pantai itu pernah menjelaskan memancing di waktu maghrib.

“Waktu magrib tiba semua ikan keluar dari sarang dan terus memburu umpan sebagai bekal makanan mereka kala malam tiba. Maka magrib adalah waktu yang tepat untuk berlomba-lomba melempar pancing."

Adalah Samir, pemancing yang belum lama kukenal. Ia sendirian berdiri di antara bebatuan yang disusun. Ia seolah menjauh dari pemancing-pemancing lain. Meski demikian, ia seolah tak ingin ditemani.

Kemudian ia mengangkat pancingnya dan pergi menjauh dari arahku. Saat itu pula sebuah boat perahu nelayan ukuran sedang melintas. Kemudian hilang ditelan kabut tipis, ke tengah lautan.

Setelah menemukan yang cocok, tampak Samir kembali melemparkan pancing. Samar-samar kuliihat ada beberapa orang di sekitarnya.

Tentang pemancing, aku pernah diberi tahu seorang nelayan.

“Orang bilang, memancing adalah perbuatan sia-sia yang membunuh waktu. Coba kamu  bayangkan, pemancing mesti duduk termenung, menunggu umpan dijemput ikan yang sedang lapar atau kebetulan lewat,” ujarnya.

Aku hanya mengangguk.

“Tapi bagi para nelayan, atau pemancing, itu melatih kesabaran,” tambahnya.

Aku kembali mengiyakan.

Tapi entah kenapa, senja itu aku melihat Samir adalah pemacing yang tak sabar. Ia berkali-kali pindah tempat. Ia seperti dilanda kegalauan yang berat. Pikirannya tidak tertambat di pancing. Entah di mana.

Sisa-sisa senja  kemerah-merahan masih muncul di barat. Sesekali ditutupi awan yang diseret angin.
***

Perkenalanku dengan Samir terjadi beberapa waktu lalu, di senja Alue Naga. Waktu itu ia sibuk memotret senja dengan kamera tangan. Ketika kuhampiri, ia tersenyum ramah. Tapi sedikit dipaksakan. Gundah-gulana malah yang tampak.

Kami bercakap.

Dia sering melihatku di senja Alue Naga, katanya.

Kemudian ia menyelipkan sebatang rokok di sela bibirnya. Lalu mengisyaratiku tentang korek api.

Aku menggeleng.

Beberapa saat kemudian, terselip pertanyaan di benakku, kenapa Samir datang sendirian setiap sore di Alue Naga.

Setelah mengumpulkan keberanian, aku mengucapkannya.

“Apa engkau seorang yang menjaga rahasia?” tanyanya.

“Iya,” jawabku, “tentunya jika itu memang mesti kujaga. Anggap saja kita adalah teman lama yang bertemu kembali,” ucapku sambil tersenyum.
***

Seminggu kemudian, aku kembali bertemu Samir di bibir pantai Alue Naga. Dia berdiri di bawah pohon cemara menjulang tinggi. Dedaunannya riuh-ramai digoda angin laut. Ia duduk di atas batu sebesar telur Dinasaurus. Tidak jauh dari tempatnya duduk, sepeda motor terparkir.

Suasana sepi. Hanya angin riuh, ribut, melintas tak tentu arah. Tak jauh beda dengan kelakuan Samir. Ia berdiri, lalu duduk kembali. Lalu berdiri, untuk kemudian duduk lagi. Raut wajahnya gelisah, seperti potongan kayu apung diterpa ombak lautan.

Tiba-tiba sebuah mobil Innova berkaca gelap berhenti di dekat kami berdiri. Dua orang dari penumpang itu memberkas tangannya dari belakang. Dia dimasukkan ke dalam mobil itu tanpa sedikit pun perlawanan.

Lalu mobil itu meluncur berbalik arah.

Aku tercengang.

Sore menggelap. Senja diseret ke barat.

Suram senja di Alue Naga.


Darussalam, 4 Juli 2012

MUHADZDIIER M. SALDA, lahir di Bireuen, 28 Juni 1982. Murid Sekolah Menulis Dokarim. Pengurus Koordinator Cabang Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Aceh. Kader Muda PW Nahdhatul Ulama Aceh.  Kini tinggal di Lamnyong.

Keterangan gambar: suasana senja di Alue Naga, diunduh dari http://acehphotocontest2007.blogspot.com