Cerpen

Surau Pojok Desa

Senin, 5 November 2018 | 14:30 WIB

Surau Pojok Desa

Ilustrasi (via grid.id)

Lelaki itu bertubuh tinggi kecil. Badannya kurus seperti tidak makan berhari-hari. Tampilannya selalu memakai peci dan sarung kumuh yang belum dicuci berbulan-bulan. Pecinya pun berwarna hitam kemerah-merahan. Dia kurang beruntung mungkin hidupnya, masih muda tapi pakaiannya tidak seperti pemuda lainnya yang necis, harum, dan rapi. Tidak hanya di tampilannya, bahkan cara hidupnya pun berbeda. Pandangannya selalu kosong. Berbicaranya juga tidak semua orang bisa memahamninya, butuh jarak waktu untuk menafsirkan maksud yang dia omongkan.

Arif namanya, konon katanya pemuda ini misterius. Tidak ada seorang pun yang mengetahui asal usulnya. Pada malam jum’at, warga kampung seperti biasa membaca yasin dan tahlil di surau yang lumayan besar di pojok desa. Meskipun surau itu tidak dirawat, tapi setiap kamis paginya para warga gotong royong membersihkannya untuk acara pada malamnya. Maklum karena surau itu berguna pada saat malam Jum’at. 

Ketika para warga dengan seksama membaca yasin dan tahlil, ada seorang warga keluar dari surau dan bertemu dengan pemuda, dia si Arif namanya. Warga itu bingung, karena bertemu anak muda yang tak jelas pakaiandan omongannya.Ada semacam rasa takut dan bingung. Yang diucapkan di mulut pemuda itu hanya untaian-untaian syair memuja Rasulullah SAW. Warga sedikit bisa menangkap syairnya.
Ya Allah, Ya Rasulullah. Aku rindu kepadamu. Aku cinta kepadamu
Aku ingin bertemu. Langit tak cukup mampu memandang wajahmu Ya Rasulallah.
Kecuplah keningku ya Rasul, tak ada yang mengalahkan keindahanMu
Aku berharap syafaatmu, terimalah aku sebagai umatMu
Aku bersujud bersimpuh kepadaMu.

Bunyi itu yang selalu diucapkan Arif. Dengan berpakaian compang-camping dan saat mulutnya berucap syair itu, tangannya menadah, wajahnya menghadap ke atas. Seakan-akan ada suatu harapan yang sangat ingin dia harapkan. Air matanya deras keluar dari kedua matanya. Warga tersebut semakin bingung melihat tingkah laku Arif. Dia seperti orang gila tapi kegilaannya sambil memuja Rasul.

Setelah itu keluarlah para warga yang sebelumnya khusu’ pengajian di surau. Karena mereka mendengar suara berisik di luar. Kejadian itu tidak jauh dari surau, maka dengan keras suara Arif bisa menjalar sampai ke dalam surau. 

“Kenapa kau pemuda, apa kau gila. Dari mana kau berasal?” tanya dari perwakilan warga.

“Ha ha ha ha, aku tidak gila. Aku ini sedang memuja-muja Rasul, karena aku semalam bertemu dengannya di surau ini. Beliau tersenyum kepadaku. Sepertinya aku tidak salah melangkah. Aku disuruh menjaga dan merawat surau ini,” jawab si Arif.

“Apa kalian percaya dengan pemuda ini?” terdengar bisik-bisik warga.

Sebenarnya para warga tidak terlalu percaya dengan Arif. Tetapi kultur di desa ini masih sangat kental agama, semua yang berbau agama, apalagi islam, gampang sekali mereka percaya. Ada satu orang di desa tersebut yang dipanggil Abah. Kalau di desa ini Abah sama seperti ayah jika dilihat dalam lingkup keluarga.

Tapi Abah bisa mengandung makan luas, seperti orang yang kental agamanya atau orang yang dihormati. Biasanya mereka memanggil dengan sebutan Abah Yusuf. Apa kata beliau, pasti semua warga menurutinya. Sebab biasanya jika ada sebuah persoalan di desa yang membutuhkan jawaban, pasti Abah Yusuf menjadi patokannya.

Abah Yusuf adalah orang yang bijak, dia tidak bisa menolak Arif karena alasan seperti itu. Terkadang apa yang diputuskan olehnya berbalik dengan usulan para warga. Meskipun begitu, tapi putusan dia sampai saat ini selalu untung, malah tidak ada orang yang dirugikan sama sekali. Jadi keputusan yang diambil olehnya adalah mencoba menerima Arif dengan ikhlas, sembari tinggal di surau itu, itung-itung surau ada yang merawat. Karena sudah beberapa tahun belakangan surau tidak ada yang bisa merawat. 

“Biarkan dia tidur sambil menjaga surau ini. Kita harus menerima siapapun yang ingin berbuat baik. Kita lihat saja nanti, andaikan dia berbuat jahat, kita boleh mengusirnya," kata Abah Yusuf.

Sontak para warga sudah tidak bisa berbuat apa-apa lagi. Keputusan sudah seperti itu. Terima atau tidak berterima harus berterima. Bahkan terkadang Abah Yusuf itu orang yang lebih tahu dari pada para warga. Dia kan orangnya pintar. Jadi warga nurut saja dengannya. 

***
Si Arif seperti biasa, dia melakukan sesuai tugasnya, yaitu membersihkan surau yang penuh dengan daun kering rontok. Tapi ada satu yang tidak boleh dilakukan oleh para warga, yaitu jangan mengajak dia berbicara.

Bahasanya sulit mengerti, bahkan kalau didengar dengan teliti, bahasanya tidak bahasa Indonesia, bahkan tidak bahasa Jawa pula. Bahasanya mirip-mirip bahasa Arab. Entah apa yang dia ucap, semua orang tidak ada yang mengerti dengan bahasanya. Sering kali dia melamun sendiri.

Setelah dia menyelesaikan tugasnya, pasti dia keluar surau, dia duduk bersila sambil melamun dengan pikiran kosong. Warga yang melihatnya pun tidak berani menyapanya. Bagaimana cara menyapa yang lebih pantas, jika bahasanya pun sulit dimengerti. Paling-paling warga cuma menyapanya dengan mengucap salam. Tidak lebih.

Pernah sesekali pada saat beberapa warga ronda keliling desa, mereka menjumpai Arif keliling desa juga sambil memungut sampah. Tidak lupa bibirnya mengucap syair yang dilantunkan ketika awal dia menginjak mengunjungi desa. Tidak hentinya dia berucap, berulang kali, mungkin sudah beribu kali dia mengucap syair tersebut. 

Di punggungnya dia membawa karung yang lumayan besar sambil sedikit membungkuk badannya. Waktu itu tepat pukul satu pagi, dia berkeliling desa sambil memungut sampah. Mulutnya komat-komit tiada henti. Syair terus dilantunkan sampai menjelang subuh. Kemudian dia kembali ke surau sambil membawa karung tersebut.

Ternyata selama dia tinggal di desa itu, dia sudah mengumpulkan beberapa karung sampah di belakang surau. Para warga pun juga tidak pernah tau apa sebenarnya isi karung yang dia bawa terus-menerus, yang mereka tahu hanya sampah, karena pada saat itu dia membawa karung tersebut saat mencari sampah. 

Yang mempunyai asumsi aneh kepada si Arif hanya para warga. Abah Yusuf melihatnya seperti barang lumrah. Karena dia sudah banyak pengalaman dengan hak-hal aneh seperti itu. Menurutnya, tingkah laku Arif adalah tingkah laku orang yang tidak bisa di nalar. Yang bisa menalar hanyalah orang-orang yang paham dengannya. 

Kalau dalam duia Islam, perilaku tersebut adalah perilaku Zuhud, perilaku zuhud adalah perilaku seperti para wali Allah, kekasih-kekasih Allah. Orang awam sulit untuk menerima dengan logika manusia. Karena bukan sembarang orang bisa melakukannya, hanya orang-orang pilihan yang diberi kekuatan Allah untuk bisa menjalankannya. 

Ada untungnya Arif tinggal di surau itu, surau semakin bersih, wangi. Biasanya kalau malam jum’at para warga harus kerepotan dengan kecoak, dengan cicak-cicak yang tiba-tiba jatuh di kepala. Suasana yang mulanya khusu’ menjadi ribut karena ada gangguan-gangguan itu. Semenjak ada Arif, surau menjadi beda. Orang semakin kerasan lama-lama di surau, mereka bisa khusyu’ menjalankan ibadahnya. 

***
Pada suatu malam, para warga sedang mencari Arif. Dia beberapa hari tak terlihat di desa. Di tengok ke surau pun tidak ada batang hidungnya. Semua warga mencarinya. Lalu warga memanggil Abah yusuf. Warga tidak ingat jika di dalam surau ada sebuah kamar kecil tempat tidur si Arif. Dibuka pintu itu, lalu warga terkejut dengan bau harum yang bersumber dari kamar.

Terlihat tubuh Arif tergeletak dengan wajah tersenyum. Bau tubuhnya mendadak wangi. Ternyata diteliti, Arif meninggal sejak dua hari yang lalu, namun tubuhnya tetap memunculkan bau-bau wangi, mirip seperti bunga kenanga putih. 

Setelah para warga selesai menguburkan jenazah Arif. Ke esokan harinya datanglah segerombolan orang memakai mobil nampak mengunjungi desa itu. Orang-orang tersebut memakai jubah-jubah putih, tubuhnya tinggi besar, dan wajahnya kearab-araban. Semua warga bingung siapa orang ini, kenapa datang kesini. Langsung saja mereka diantar salah satu warga ke rumah Abah Yusuf, mereka menceritakan semuanya, jika Arif adalah saudaranya. 

Mereka berasal dari pondok pesantren yang tak jauh dari desa. Arif adalah anak kesayangan Ayahnya, pemangku pondok pesantresn tersebut. Sedangkan yang datang adalah para saudaranya yang diutus oleh ayahnya.

“Dia memang tampak berbeda di keluarga. Tingkah lakunya pun berbeda, apa yang dia mau harus dia jalankan sesuai kehendaknya. Namun dalam keluarga tidak ada yang protes terhadap perilakunya, semuanya sudah paham dengannya, dari apa yang diucap sampai apa yang dilakukannya.Memang akhir-akhir ini dia tidak pulang.

Dia berpamit terakhir kalinya untuk keluar mencari surau, keluarga pun turut bingung kenapa dia mencari surau. Kemudian saya cari-cari ternyata dia ada di sini “Cerita dari salah satu kakanya.”

Tapi Abah Yusuf hanya tersenyum mendengarnya, dia sebenarnya sudah paham dengan Arif, maka dari itu sejak awal dia menerimanya. Dan semenjak Arif meninggal, surau menjadi ramai, semakin indah, anak-anak kecil senang berkumpul di situ.

Memang ada sedikit yang direnovasi ketika keluarga Arif memberi sedikit bantuan uang. Namun surau itu tetap menjadi surau. Sedangkan kuburan Arif dipindah dimakamkan di belakang surau. Tidak hanya itu, ternyata karung-karung yang dikumpulkan Arif di belakang surau berisi uang juga.

Kiranya para warga adalah berisi sampah atau dedaunan. Tapi tidak disangka, sampah itu berubah jadi uang yang bisa dimanfaatkan untuk pemberdayaan para warga. Untuk mengenang jasa si Arif, warga memindah kuburannya di belakang surau.

Ada tempat kecil khusus untuk peristirahatan terkahirnya. Warga pun ikut beruntung dan bahagia karena mungkin Arif adalah kekasih Allah yang dimakamkan di desa itu.


Ahmad Baharuddin Surya, Mahasiswa Universitas Negeri Surabaya, anggota Pers Kampus Gema Unesa.