Cerpen

Udin Jadi Gila

Ahad, 5 Agustus 2012 | 02:01 WIB

Oleh Achmad Muhimmy

Mimpiku selalu berakhir aroma kamboja. Seusai terbangun, aroma khas kembang pekuburan itu bahkan tak lekas minggat. Menguar-nguar kelewat lama menyengat hidung. Sesosok bayangan di keheningan malam samar-samar membawa obor, atau cambuk api berjongkok di pekuburan yang berkabut. Seorang diri. Mendesis-desis. Pemandangan itu bertambah magis oleh dedaunan gimbal pohon beringin berusia ratusan tahun yang digetarkan angin keras-keras. Jangan kau pikir ia dedemit bersisik merah, atau malaikat penjaga neraka bercambuk api yang turun ke bumi memburu para iblis. <>Ia setubuh manusia, menziarahi makam. Di gundukan pada sisi kepala makam tumbuh subur bunga kamboja. Mendesis-desis. Entah merapal doa, entah meraung. Lalu desisan dari mulutnya menerbangkan bunga-bunga kamboja ke langit berpendar-pendar cahaya perak.

Apa arti mimpi itu? Mimpi yang gentayangan tiga malam. Lebih tepatnya, seperti bisikan gaib; menyuruhku ‘pulang’ ke kota ini sejak seminggu silam kudengar ‘eyang’ yang mengaku nabi dan keturunan silsilah Sunan Gunung Jati—yang banyak didatangi jamaah pengajian dan tamu—disesatkan segerombolan laskar Tuhan yang begitu cepat digaungkan media, sebuah penyesatan yang akan terus didengungkan hingga tujuh turunan atau lebih oleh para pemeluk teguh, tokoh agama, dan lelaki-perempuan di berbagai penjuru kota.

Menurut media, aliran sesat itu berhembus dari Desa Kauman. Tibalah aku ke desa itu. Satu desa yang menjulang megah Menara dari susunan batu bata merah berarsitektur Hindu-Islam. Di seberang Menara ada kedai kopi lesehan. Kedai ramai. Pelanggan mereguk kopi di antara temaram malam, dan lalu lalang para peziarah yang berfoto di bawah eksotisme Menara. Aku kangen minum kopinya. Rasanya khas. Aku duduk tepat ke arah Menara, paling pojok. Di kedai seperti itu, berita apa saja enak menjadi camilan empuk untuk mereguk kopi. Ternyata berita aliran sesat masih hangat diperbincangkan warga.

"Udin sekarang gila."

Seloroh tukang ojek yang duduk di ujung paling pojok—yang kutahu namanya Manan dari beberapa kali ia dipanggil oleh temannya.

"Udin siapa?" Sahut teman di sebelahnya.

“Udin Loak. Pedagang barang bekas di kios loak.”

Mimik Manan mencibir. Sejenak ia membiarkan temannya membekuk mimik sambil seenaknya mereguk kopi yang masih berasap.

"Tujuh hari lalu Udin baik-baik saja? Aku ketemu di kiosnya." Sang teman kaget memastikan.

"Mungkin itu kutukan. Dia menolak taubat."

Manan bercerita kalau Udin melolong-lolong di kuburan larut malam. Membawa obor serupa mahluk gaib bercahaya merah. Udin tampak kesurupan, kepalanya dibentur-benturkan pada nisan kayu lapuk. Pernah ada yang melihatnya sampai berguling-guling melengking. Meracau bergidik. Entah meracau apa warga tak tahu. Warga hanya tahu Udin sesat. Gila. Itu saja. Terkadang berupa desisan-desisan seperti berdialog dengan mahluk tak berupa. Berjongkok bermalam-malam di depan makam orang tuanya yang telah jadi mayat puluhan tahun. Kejadiannya bermula sehari setelah ia menolak taubat masal. Lalu diusir warga. Warga beringas desanya disebut sarang ajaran sesat.

"Udin pantas terkena kutukan. Dia kafir. Sesat. Untung tidak digantung!"

Awalnya aku tak menggubris perbincangan mereka. Tapi, perlahan perbincangan itu menghentak mimpiku. Mimpi yang menghantu, dan mendesiskan bisikan gaib agar aku 'pulang' ke kota ini. Ya, lelaki yang meraung-raung di larut malam pekuburan, membawa obor atau cambuk api serupa malaikat penjaga neraka.

*****

Tak sulit mencapai pekuburan itu. Sebab masa kecilku kutempuh di pesantren sekaligus sekolah dasar di madrasah paling tua di kota kecil ini. Pekuburan serba hitam. Letaknya lumayan menjauh dari perkampungan, di kerumunan ladang tebu—tempat Udin penganut ajaran sesat bertingkah gila. Aroma kamboja mengilalang liar pada kudukku. Langit menangis di atas tanahnya sepanjang petang tadi, dan langit tertelan kerapatan dedaunan kamboja. Nisan yang semrawut di antara rumput ilalang menyulitkan langkah. Sosok Udin meringkuk di bawah pohon beringin yang batangnya dua pelukan orang dewasa. Obor rebah di sampingnya. Aku mengendap-endap. Tengkukku spontan menggigil ketika ia tiba-tiba terloncat mengendus kedatanganku, dan bersiap hendak lari.

“Tunggu.” Seruku.

“Kau ke sini hanya untuk mencaci aku gila?” Sahutnya beringas.

Jarak kami masih puluhan meter. Rupanya keadaan telah membuatnya sensitif oleh bau manusia. Ia gusar. Dengan gusar ia menodongkan obor. Mengibas-ngibaskannya ke arahku seperti mengusir binatang buas. Obor yang seperti pedang terhunus.

“Tidak. Aku ingin menemanimu.”

Kucoba pasang senyum tenang. Datar. Kuberanikan lebih mendekati lelaki yang dikatakan gila itu. Jika kau berada di situ, kau akan saksikan dimana pun orang gila tubuhnya tampak kocar-kacir. Matanya menyalak curiga dalam liuk obor.

“Kau tak ingin pulang?”

Kataku lagi sekenanya disambut ledakan tawanya sejadi-jadinya.

“Pulang? Haha…di sinilah rumahku. Di antara orang-orang mati. Para mahluk yang tak lagi punya nafsu kepentingan.”

Udin terduduk linglung di akhir tawanya. Aku bertanya apakah boleh duduk di sampingnya? Ia komat-kamit. Kau tahu orang gila selalu punya dunianya sendiri yang aneh. Tabiatnya aneh. Tabiat orang gila satu ini suka meracau. Samar-samar. Terkadang juga menghentak kuping. Lumayan lama juga aku menyakinkannya, sungguh tak ada niatan menyakiti. Usahaku berangsur-angsur berhasil. Ia berangsur tenang bahkan mulai menyulut rokok yang kusodorkan. Meracau kembali dan acuh. Menit-menit berlalu dalam ketakacuhan, dan ia tetap meracau. Namun, selang sepuluh menit, ia membuatku takjub yang tanpa kusangka-sangka berkata lantang, suaranya gagah, dan bukan racauan. Lebih tepatnya, ia bercerita.

Suatu malam, Udin bersama Johar—teman sepengajian eyang—menemui Iskandar di rumah istri mudanya. Meminta audit keuangan Koperasi Kusuma. Koperasi yang didirikan oleh jamaah pengajian eyang bergerak di bisnis perdagangan khususnya kertas dengan Iskandar sebagai bekas manager. Iskandar pengusaha sukses. Juga berpengalaman di perusahaan besar menjabat posisi strategis. Itulah kenapa ia didaulat sebagai manager yang berakhir pada suatu belang buruk. Suatu penggelapan uang. Ia pun dipecat.

"Iskandar sungguh terkutuk."

Udin sejenak berhenti. Segera tak acuh menyalakan rokok untuk kedua kalinya. Menghisap sampai pipinya cekung. Malam kian larut dan dingin. Pepohonan beringin menggetarkan dedaunan gimbalnya keras-keras. Kulihat Udin menatapku setajam burung hantu.

"Kau tahu yang terjadi setibanya kami di sana?"

Aku bungkam meski naluriku sebagai dosen hukum ingin berkomentar. Ia tak butuh jawaban. Ia hanya ingin didengar.

Rumah, lanjutnya, dengan pepohonan cemara dikelilingi pagar besi—yang sewaktu kami tiba—kebetulan pintunya separuh terbuka. Pecahan vas bunga keramik berceceran di ruangan keluarga. Beberapa pecahan kecil-kecil mengkerikil hingga ke ruang tamu. Air membengkak di kelopak mata istrinya. Bengkak menampung duka berhari-hari, atau berbulan-bulan. Ia menyebut istrinya perempuan jalang. Maka, ia melayangkan tangan menampar pipinya untuk menjinakkan kejalangannya dengan dua kali tamparan. Ia dipaksa membanyol pengakuan yang direkam melalui handphone bahwa eyang telah mencabulinya secara seksual. Pencabulan disertai luka mememar. Dan sia-sia perempuan itu mengharap keajaiban, misalnya, Tuhan menggerakkan kuasa agar suaminya terbebas dari rekayasa iblis; lelaki kasar penebar sihir laknat. Begitulah, perempuan seringkali harus menerima nasib buruk oleh sihir lelaki-lelaki kasar, apalagi yang disebut jalang oleh suaminya. Ia tergugup melihat kemunculan kami secara mengejutkan. Ia buru-buru membisik untuk mengeyahkan gugup seraya dipaksakan senyum. Senyum seorang penyihir.

“Emm…uang investasiku dulu untuk bisnis kita anggap uang tutup mulut.”

Kami ingin menyanggah. Ia cepat memberi isyarat agar kami diam, dan ia justru semakin menunjukkan tabiat terkutuk.

"Kalian lihat nanti, saya akan bunuh karakter eyang!"

Waktu itu kami bodoh, dan selalu menepis prasangka terburuk. Apa yang berkecamuk di kepala penyihir itu? Sepanjang perjalanan pulang, kami termenung, "Membunuh karakter?" Hari-hari berikutnya ia terlibat akrab dengan temannya seorang pengurus masjid dan orang penting sebuah organisasi masyarakat terkemuka, Abu Aswad. Lelaki yang ditokohkan di Desa Kauman. Di kota ini. Di pilkada setahun silam, Abu Aswad berapi-api nyalon bupati—duet Abu Aswad-Iskandar. Dulu, Abu Aswad pernah meminta restu politik ke eyang yang ketika itu ditolak. Abu Aswad kecewa. Ia lantas melakukan serangkaian loby ke tokoh-tokoh partai di tingkat lokal, maupun pusat. Ada dua partai politik yang diloby. Tapi, Abu Aswad kalah bertarung atas kandidat dari kader kedua partai itu sendiri yang akhirnya ia ditawari sebagai wakil dalam pencalonan pilkada. Abu Aswad tak mau. Pokoknya bupati.

"Apakah sesat?" Sekonyong Udin menyentakku.

"Apakah sesat ada dengan sendirinya, atau sihir dari luar?"

Udin tak memberiku ruang sedikit pun untuk menjawab.

“Enam bulan berselang, ia mengumpan balik kekecewaan Abu Aswad kepada eyang. Ya, aku baru tahu maksudnya tentang pembunuhan karakter tempo hari. Memang sejak kedatangan eyang di desa Kauman, Abu Aswad menekuk muka secara sembunyi-sembunyi; sinis terhadap seseorang berpengaruh selainnya di kawasan Desa Kauman, yang lantas mengkompori kepala desa untuk sowan beberapa Kyai bahwa eyang sesat. Pengajiannya meresahkan. Begitulah, petir di siang bolong menyambar dari institusi otoritas agama di kota ini tentang fatwa sesatnya eyang, dan pengikutnya.”

Udin berguncang kencang. Aku memegang bahunya. Matanya mengkilat dalam liuk obor. Di kejauhan, lamat-lamat terlihat puluhan obor dan lampu senter yang tajam seperti kunang-kunang beterbangan, atau iringan malaikat yang menukik ke bumi diiringi rintihan menyayat dari neraka. Ia mulai beringsatan. Gelisah.

"Apakah sesat? Apakah sesat ada dengan sendirinya, atau sihir dari luar?"

Udin mengulang-ulang lirih serupa meracau dengan mata kosong.

"Kau sudah bosan mendengarnya?"

Aku menggeleng.

"Entah siapa biang keroknya, setelah fatwa itu, SMS-SMS berantai berbahasa Jawa menteror warga. Berisi ancaman bahwa pengikut-pengikut eyang akan menyerang siapa pun yang mengganggu pengajiannya."

"SMS-SMS itu secepat kilat membakar amarah. Para laskar Tuhan bersama ratusan warga mengamuk garang ke rumah eyang. Memekikkan 'Sesat! Sesat!' yang tanpa kutahu sekonyong-konyong ditemukan sehelai kertas syahadat.”

Sekali ini tubuh Udin bergetar lebih hebat. Nafasnya memburu. Kau tahu, mungkin syahadat yang telah dilencengkan itu yang dituduhkan atas maklumat eyang sebagai nabi palsu, dan digaungkan di berbagai media. Eyang diciduk polisi, diproses hukum—yang meski mentah bukti —didepak ke penjara. Dialihkan kasus pemalsuan KTP.

Sementara itu, iring-iringan nyala puluhan obor dan lampu senter merangsek hampir memasuki gerbang pekuburan. Mungkinkah obor dan nyala lampu dari para pelayat jenazah? Dugaku. Di sini lazim jenazah langsung di kuburkan malam-malam. Udin di puncak gelisah. Ia pedih. Kau tahu kenapa ia gelisah; ia sensitif oleh bau manusia. Itu membuatnya pedih. Puluhan obor menyerbu ke pekuburan disertai bebunyian kentongan. Ternyata dugaanku salah. Itu bukan iring-iringan pelayat. Dan sebelum batu-batu kerikil dan kentongan yang ditabuh gaduh memburunya dengan pekikan garang ‘Gila!’ ‘Sesat!’ ia lari kesurupan, dan tak mampu kucegah. Ia terus berlari hingga tersandung batu nisan. Kepalanya bergedebuk keras membentur nisan. Darah bercecer di kepala. Sesaat ia seperti babi hutan di ujung tombak para pemburu—babi yang dicincang—yang akhirnya menggelepar tertatih dengan sisa-sisa tenaga.

Malam celaka itu terjadi sangat cepat. Celaka, sebab aku sekedar mematung. Setelah malam itu, tak ada yang tahu kemana raibnya Udin. Tapi, di kepalaku, Udin—si lelaki gila dan sesat—dengan wajah bersih menapaki tangga tersusun dari kembang kamboja. Naik ke langit berpendaran cahaya perak. Barangkali berjumpa Tuhannya.


Kudus, Juni 2012