Cerpen Cerpen Achmad Muhimmy

Wajah Berlapis

Ahad, 6 Januari 2013 | 10:01 WIB

—untuk abahku

Manan melirik jam. Pukul 09.55. Menurut temannya, tamu yang ia tunggu akan datang pukul 10.00-an. Ia menunggu di ruang tamu. Di sudut pojok, beberapa lusin pakaian buatannya tersusun di rak lemari. Ia pebisnis pakaian anak-anak.
<>
“Saya suka anak-anak,” begitu ia selalu bilang. Kesukaannya itu kemudian menjadi bisnis. Ada pakaian yang bergambar strawberry, Krisna kecil yang sedang meniup seruling, Teletubbies dan gambar-gambar lucu seperti di film kartun.

Selang sepuluh menit deru sepeda motor berhenti.

“Tok..tok..tok..”

Disusul pintu yang diketuk-ketuk. Lelaki berjaket hitam, bersepatu kulit dan tas yang mencantol di punggung berdiri di pintu rumahnya.

“Saya dapat info dari haji Somari kalau bisnis Bapak sedang berkembang,” kata lelaki itu setelah dipersilahkannya masuk. “Saya surveyor bank……”

“Benar. Kebetulan bulan-bulan ini bertambah ramai,” Manan mengangguk bangga.

Suara mesin jahit yang sibuk menyelingi percakapan mereka.


“Apa Bapak mau melihatnya? Tempat produksi di belakang rumah,” sambungnya.

“Tidak usah. Oke, besok pagi Bapak bisa mencairkannya di kantor,” jawab lelaki itu.

Manan mengangguk-angguk dan senang. Begitu lelaki itu pamitan, ia teringat Kyai Mui. Dalam hidupnya, jika ada hal penting Manan selalu sowan Kyai Mui. Ia sudah seperti orang tuanya. Ia guru ngajinya. Manan secepatnya pergi ke Kyai Mui. Sesampainya di rumahnya, ia lihat Kyai Mui baru selesai mengaji.

"Apa saya boleh kredit bank, Kyai?" tanyanya.

"Pebisnis sepertimu memang sulit tak berhubungan dengan bank, Nan," desah Kyai Mui dengan nafas yang berat, "Saya tahu, zaman telah berubah. Kondisi pasar semakin kompleks."

"Jadi, Kyai...."

Kyai Mui mengangguk.

"Tapi, ingat zakat dan shodaqohmu. Itu tulak balak."

Manan mencium tangan Kyai Mui bolak-balik. Ia pulang membawa restunya untuk kredit bank.

Bisnis saya bakal berkembang, pikirnya. Pasar-pasar baru bakal ia kembangkan di penjuru kota. Sepanjang matanya memandang, ia bakal melihat anak-anak memakai pakaian buatannya yang bagai dalam dongeng Tubbies yang penuh buah strawberry. Buah kesukaan anak-anak. Betapa lucu. Betapa menggemaskan. Dan tubuhnya serasa ringan seakan dari kedua bahunya mengepak sayap. Kepakan sayap itu menerbangkannya ke penjuru impiannya; beli mobil, punya rumah lagi, umroh. Dan naik haji berkali-kali. ”Tahun depan saya akan dipanggil pak haji,” ia tersenyum-senyum membayangkannya. Hmm...

Senyumnya terus mekar di antara deru sepeda motor yang berseliweran di depan rumahnya. Ia dengar sepeda motor berhenti.

“Tok..tok..tok..”

Disusul pintu yang diketuk-ketuk. Manan sibak korden jendela kamar. Lelaki berjaket hitam, bersepatu kulit dan tas yang mencantol di punggung berdiri di pintu.

"Saya petugas bank," lelaki itu mengenalkan diri. "Selamat ya, Bapak menang undian umroh. Ini bukti suratnya," ia mengulurkannya.

Awalnya, Manan ragu dan curiga. Ia membacanya. Tiga kali. Hingga yakin bahwa ia tak salah baca. Namun, keraguannya berganti puji-pujian kepada Allah ketika ia memencet nomor kantor dan mendengar customer service yang empuk di ujung telepon; “Betul. Bapak memenangkan program umroh bersama nasabah.”

Manan girang bukan kepalang. Lelaki itu segera pamitan. Surat itu ditimang-timangnya lama. Dan lalu sekonyong nongol wajah Kyai Mui di pikirannya. Ia secepatnya pergi ke Kyai Mui. Tergopoh-gopoh. Sesampainya di rumahnya, ia lihat Kyai Mui baru selesai mengaji.

"Segala puji bagi Allah, Kyai."

"Ada apa, Nan?"

"Segala puji bagi Allah, Kyai," puji-pujian melafal dari mulutnya berulang-ulang.

"Ya, ada apa?"

"Ini surat dari bank, Kyai. Saya dapat hadiah umroh," ia menyerahkannya.

"Dan saya ingin Kyai Mui yang naik umroh. Bagaimana, Kyai?"

Kyai Mui terpana. Matanya seperti binar-binar bintang di langit malam. Terharu sekali. Mulut Kyai Mui yang tipis dan tua komat-kamit, "Alhamdulillah." Berulang-ulang. Saking girangnya.

Manan pulang membawa binar-binar mata Kyai Mui. Ia belum pernah menjumpai mata Kyainya sebahagia itu. Di tanah suci, Kyai Mui pasti mendoakan bisnisnya. Ia jadi terharu sendiri menaikkannya umroh. Ia berharap Tuhannya kelak membalas ia dengan surga.

Aroma surga segera menguar ke bilik hati dan sudut-sudut rumahnya. Rumahku surgaku, begitu ia menyebutnya. Terletak di pinggir jalan perkampungan yang banyak motor-motor berseliweran melintas. Ia dengar sepeda motor berhenti dan pintu rumahnya yang diketuk-ketuk.

“Tok..tok..tok..”

“Siapa?” Manan sibak korden jendela kamar. Lelaki berjaket hitam, bersepatu kulit dan mencantol tas punggung berdiri di pintu rumahnya.

"Saya kagum. Bisnis bapak berkembang," lelaki itu basa-basi. Seorang marketing bank. "Ini ada brosur, Pak. Barangkali bapak tertarik," ia memasang senyum.

Sejak sebulan lalu, Manan memang berpikir untuk kredit bank. Jika tanpa suntikan modal bisnisnya bakal berkembang lambat.

"Bunga kreditnya kecil lho, Pak," lelaki itu terus memikatnya.

Manan terangguk-angguk dan terpikat. Lelaki itu pamitan.

Ia tercenung dan ingat Kyai Mui. Ia secepatnya pergi ke Kyai Mui. Sesampainya di rumahnya, ia lihat Kyai Mui baru selesai mengaji.

"Saya ingin kredit bank, Kyai," ucap Manan, tapi wajah Kyai Mui kecut.

"Ayat-ayat Allah mengutuk bunga riba," suara Kyai Mui ikut kecut.

"Tidakkah kau tahu Dia mengutuknya?" wajahnya kian kecut.

"Tahu, Kyai. Tapi…...”

“Kalau begitu, jauhkanlah dirimu dari riba yang terkutuk,” suara Kyai Mui semakin kecut.

“Kyai…”

"Manan,” suara Kyai Mui keras, “Tak ada suatu alasan pun dari manusia untuk menentang Tuhannya!"

Manan pulang menenteng wajah kecut Kyai Mui dan bayang-bayang kutukan Allah. Ia bergidik dan linglung. Segera cerita tentang malaikat-malaikat penjaga neraka yang bertombak api mengoyak batinnya. Tetapi, bagaimana dengan bisnisnya? Seluruh keluarga dan kolega-kolega sudah ia hubungi untuk meminjamkannya modal. Hasilnya nihil. "Tak ada pilihan kecuali bank," gerutunya.

Maka, tanggal 21 di bulan September Manan kredit bank. Tetapi, siapa yang tahu nasib? Nasib yang bengis pada akhirnya menghendaki kios pasar yang ia stok pakaian terbakar. Ludes. Manan bangkrut!

Dan apa yang bisa kau katakan tentang laki-laki yang bangkrut?

Bagi lelaki bangkrut, maka jaket hitam, tas punggung, sepatu kulit, lelaki yang tanpa senyum dan sepeda motor bahkan lebih menyeramkan dari iblis neraka. "Ini bukan rumahku surgaku," rutuknya. Tampangnya menyedihkan; "Ini rumah mirip neraka."

Manan tak lagi menyebut rumahnya surga, tapi neraka. Rumahnya yang terletak di pinggir jalan perkampungan setiap harinya berseliweran sepeda motor melintas. Dan deru motor-motor itu berubah teror yang abadi.

Manan dengar deru motor semakin jelas. Sebuah sepeda motor melintas.

"Hah...syukurlah bukan!" Gumamnya.

Jika ia bergumam begitu, artinya itu bukan motor dan lelaki juru tagih. Delapan bulan ini tagihannya macet. Itulah hari-hari laknat yang ia jalani sebagai lelaki bangkrut—setiap motor melintas di depan rumahnya. Kecuali Sabtu dan Minggu, semua hari adalah laknat yang mengapung dari pagi hingga petang.

Barangkali, di otaknya, kini hanya ada denyut kalender. Berdenyut-denyut dalam tanggal. Ini tanggal 18. Besok 19. 20. 21. Kurang tiga hari lagi tanggal 21. Ia terloncat. Didengarnya motor berhenti. Disusul pintu yang diketuk-ketuk. Juru tagih? Manan sibak korden jendela kamar. Lelaki tanpa senyum, berjaket hitam dan tas di punggung berdiri di pintu rumahnya. Ia merasa dadanya retak menjadi beberapa puing dan pisau-pisau belati beterbangan ke batok kepala. Sebelah kiri.

Manan menyelinap. Lewat pintu belakang dapur, ia lari. Terus berlari. Hingga sampailah di rumahnya Kyai Mui. Ia lihat Kyai Mui baru selesai mengaji.

"Kau pembangkang!" Desis Kyai Mui.

"Saya berdosa, Kyai."

"Hai, pemuja riba! Apakah kini hidupmu bagai di neraka?"

"Ya," ia merunduk.

"Maka, banjirilah waktu-waktumu dengan tangis sejadi-jadinya. Taubat. Kemudian bisikkan janji kepadaNya kau dan keturunanmu akan mengutuk riba selama langit belum ambruk."

Allah, cabutlah kutukanMu, batinnya menangis. Ia terseok pulang membongkok segepok dosa. Sementara otaknya sibuk menghitung kalender.

Ia merasa sangat lelah. Dan betapa lelahnya menghitung kalender. Manan ingin tidur. Namun, meski kelopaknya terkatup seringkali otaknya betah melek mengotak-atik tanggal 21. Tanggal jatuh tagihan. Ia berdoa, lelaki berjaket hitam yang tanpa senyum tak akan mengetuk-ketuk pintu. Setidaknya tidak di jam ia sedang tidur; pagi, siang atau sore. Hanya pada malamlah ia bisa tidur yang sebenarnya.

Disaat matanya mulai mengatup dalam hitungan detik ke-21—setelah diperjuangkannya berjam-jam—Manan terloncat oleh deru sepeda motor yang berhenti.

Tok..tok..tok..

Disusul pintu yang diketuk-ketuk. Juru tagih? Manan sibak korden jendela kamar. Lelaki tanpa senyum, berjaket hitam dan tas di punggung berdiri di depan pintu rumahnya. Dadanya menjadi puing-puing kesekian kali. Pisau belati beterbangan menghunjam migran.

Secepat kilat ia menyelinap. Lari. Lewat pintu belakang dapur, ia hendak berlari ke rumah Kyai Mui. Sekencang-kencangnya.

"Ada yang mencari Bapak," suara anaknya—Warso—membuatnya gemetaran. "Haji Sastro."

"Hah...syukurlah bukan!" gumamnya. Lega. Badai di dadanya sedikit mereda. Sepersekian %—yang bagai satu di antara pisau-pisau belati terlepas dari saraf migran.

"Tadi haji Sastro mampir. Dia habis menjenguk keponakannya yang sakit. Saya katakan kalau bapak tidak di rumah. Itu pesan bapak, kan? Kalau ada tamu siapa saja disuruh bilang bapak tidak di rumah. Begitu kan, pak? Dan haji Sastro langsung pulang. Dia titip salam."

Manan mengangguk lesu. Haji Sastro adalah temannya ngaji di Kyai Mui dulu. Hampir tiga tahun ini mereka tak ketemu.

Kepala Manan terasa berat dan sakit. Sungguh seperti digencet tembok. Ia ingin melanjutkan tidur. Meski sebentar. "Kamar ini sumpek," keluhnya sambil merebahkan badan. Tetapi, ia buru-buru terloncat lagi oleh deru beberapa sepeda motor yang berhenti.

Tok..tok..tok..

Tok..tok..tok..

Tok..tok..tok..

Suara pintu diketuk-ketuk keras. Makin lama makin keras. Ia sibak korden jendela kamar. Kali ini tiga orang lelaki berdiri di pintu rumahnya. Tanpa senyum, berjaket hitam dan tas yang mencantol di punggung. Ia kenal lelaki-lelaki itu. Juru tagih!

Manan cepat menyelinap. Lewat pintu belakang dapur, ia lari. Terus berlari kencang dengan lusinan pisau belati yang menancap di saraf migran. Hingga tibalah ia di rumah Kyai Mui. Tetapi, Kyai Mui tak ada. Kyai Mui sedang mengaji di luar kota.

Manan bingung. Jika kau melihatnya, kau akan saksikan ia seperti anak ayam yang kehilangan induknya. Ia kembali berlari menyumpal kuping yang nyeri oleh fatwa-fatwa Kyai Mui.

"Kredit bank? Silahkan, Nan!"

"Tak ada pilihan, Nan. Pasar semakin kompleks!”

“Manan, bunga riba dikutuk Allah. Itu dosa!”


Kudus, 21 September 2012


AHMAD MUHIMMYA, berkhidmat di Yayasan Janur Wahid Siasem Brebes.