Cerpen CERPEN SLAMET TUHARI

Wanita Senja

Sabtu, 24 November 2012 | 22:26 WIB

Mentari pagi memancarkan teriknya ke belahan bumi. Menyuguhkan energi bagi seluruh penghuninya. Embun di deaunan pun sedikit demi sedikit menguap oleh cahaya matahari. Menyibakkan suasana dingin yang sedari malam menguasai desa Wonokerto, Batang. 
<>
Pagi itu, para lelaki nampak memikul keranjang di pundaknya, mencari rerumputan yang tumbuh subur di sekitar Gunung Kemulan. Rumput itu digunakan sebagai makanan utama binatang ternak seperti sapi dan kambing yang mereka pelihara. Bagi warga desa Wonokerto, binatang-binatang itu adalah harta yang sangat berharga.

Ialah Mbah Nuri, salah seorang warga yang sangat disegani di desa tersebut. Wanita yang bekerja sebagai pencari dahan kering itu dikenal sebagai  sosok perempuan yang sangat ulet, pekerja keras, dan sabar, padahal usianya hampir menginjak kepala tujuh. Meski rumahnya berada di paling ujung, tak membuatnya sungkan untuk berkumpul dengan masyarakat yang lain, bahkan hampir setiap acara kumpul ibu-ibu, pastilah ada sosok wanita senja itu di sana. Mungkin karena ia sudah tak punya siapa-siapa lagi. Anaknya tak ada satupun yang diberikan umur panjang. Pun dengan suaminya yang telah meninggal 25 tahun yang lalu. Kini, tetangganyalah yang menjadi bagian terdekatnya. 

Sosoknya yang dikenal baik, membuat masyarakat menaruh segan padanya. Lebih-lebih karena sikapnya yang tak pernah mau menerima pemberian orang lain yang ingin menaruh kasihan padanya. Bahkan tak jarang, dirinyalah yang justru membantu tetangganya ketika mereka dirundung susah. Kang Dirman Salah satunya, tetangga terdekat Mbah Nuri sekaligus orang paling miskin di desa Wonokerto. Ia menuturkan, suatu hari tak ada bahan makanan sedikit pun di rumahnya. Istrinya pun bingung karena tak tahu harus meminjam kepada siapa. Hutang kepada tetangga yang sudah terlalu banyak membuat mereka malu untuk menambah lagi, takut kalau-kalau tak sanggup melunasinya. 

Namun, tak lama berselang, Mbah Nuri pun datang menenteng plastik berisi beras dan menyerahkan ke rumah mereka. Ia dan  istrinya pun bingung dari mana Mbah Nuri mengetahui masalah keluarga mereka, padahal tak ada seorang pun yang memberitahunya.

Lain cerita dengan Yu Darsini, seorang janda yang setiap harinya bekerja menjadi pencari dahan kering seperti Mbah Nuri. 

Menurut cerita darinya, suatu ketika Yu Darsini didatangi oleh beberapa orang untuk menagih hutangnya yang berjumlah satu juta kurang sedikit. Namun karena ia tak punya cukup uang untuk melunasinya, penagih-penagih itu harus pulang dengan tangan kosong. Hanya dengan membawa janji yang keluar dari mulutnya tanpa ada kepastian. Tapi satu minggu kemudian, orang yang menagihnya datang lagi ke rumah dan mengatakan bahwa hutangnya sudah dilunasi oleh Mbah Nuri. Ia pun bingung dengan hal itu, dari mana Mbah Nuri tahu masalah hutangnya dan dari mana pula Mbah Nuri memiliki uang sebanyak itu.

Pun dengan tetangga lain yang juga punya cerita tersendiri tentang kebaikan Mbah Nuri. 

“Jangan-jangan Mbah Nuri itu punya kesaktian ya Kang. Buktinya, meski tak ada yang memberitahu tentang masalah yang dihadapi kita, ia bisa tahu, Kang,” ucap Istri Kang Dirman.

“Kayaknya begitu Bu. Tapi aku harus cari tahu,” ujar Kang Dirman.

Atas dasar rasa penasaran itu, Kang Dirman pun berniat memberanikan diri bertanya langsung kepada Mbah Nuri malam nanti. Ia ingin rasa penasaran itu hilang, karena ia ingin tahu sebenarnya kesaktian apa yang dimiliki oleh Mbah Nuri. 

Malam yang dinanti pun tiba. Ia pun bergegas menuju rumah Mbah Nuri yang berada tak jauh dari rumahnya. Namun sebelum ia mengutarakan maksud kedatangannya, Mbah Nuri malah bercerita tentang rencananya yang akan segera menunaikan ibadah haji. Ia pun jadi lupa untuk bertanya tentang masalah yang seharusnya ditanyakan. Ia asyik mendengarkan cerita Mbah Nuri yang ternyata tinggal satu bulan lagi akan berangkat ke Tanah Suci. 

Rasa penasaran pun bertambah. Dari mana Mbah Nuri punya uang sebanyak itu, kapan mengumpulkannya, dan bagaimana caranya. Seribu pertanyaan memenuhi pikiran Kang Dirman yang sangat takjub dengan sosok Mbah Nuri yang ada di depannya kini.

“Mbah, kok bisa tetangga tidak ada yang tahu kalau Mbah Nuri mau berangkat haji?” 
“Ya bisa, wong saya tidak ngasih tahu.” 
“Terus Mbah daftarnya sama siapa?”
“Ada orang yang membantu saya mengurus itu semua, dan bapak-bapak itu saya larang untuk bercerita kepada siapa pun.” 

Setelah mendegar banyak cerita dari Mbah Nuri, Kang Dirman pamit dari rumah, membawa seribu pertanyaan belum terjawab dan rasa kagum yang amat dalam. 

 

**** 


Hari demi hari silih berganti. Kabar rencana keberangkatan Mbah Nuri ke Tanah Suci sudah mulai tersebar luas di seantero desa Wonokerto. Tak hanya Kang Dirman, pun para tetangga lain tak pernah menyangka jika sosok seperti Mbah Nuri itu bisa menunaikan haji. Mengalahkan orang-orang yang ekonominya jauh lebih baik dari dirinya. 

Waktu keberangkatan sudah mendekat. Para tetangga datang ke rumahnya. Mereka memberikan doa, atau bahkan titip doa. Mereka yang datang membawa serta beras, sayur, telur, gula, teh, kayu bakar, dan lain-lain untuk acara walimatus safar yang rencanya akan dilakukan esok hari. 

Sudah menjadi kebiasaan di Desa Wonokerto, ketika ada tetangga yang memiliki hajat, maka tetangga yang lain memberikan beras, sayur, dan lainnya. Mereka biasa menyebutnya dengan istilah nyumbang. Sumbangan itu sebagai wujud solidaritas antar warga.

Sore itu, tatkala matahari hampir singgah di ufuk barat. Rumah Mbah Nuri begitu ramai. Tamu silih berganti berdatangan, mengucapkan selamat jalan dan doa keselamatan. Para tetangga dengan sukarela membantu mempersipakan acara walimah yang akan digelar esok hari. Undangan pun sudah disebar oleh Kang Dirman dibantu beberapa tetangga yang lain seperti Kang Santoso dan Kang Yasin.

Tepat pukul lima sore, seorang petugas kantor pos datang membawa sebuah amplop berisi surat dari biro haji yang menangani keberangkatan Mbah Nuri. Mbah Nuri menerimanya langsung. Tapi karena ia tak bisa membaca maka surat itu diserahkan kepada Kang Dirman. Orang-orang pun ikut penasaran dengan isi surat itu.

Namun, ternyata isi surat itu sangat mencengangkan. Intinya, Mbah Nuri tidak bisa berangkat haji tahun ini karena visanya tidak keluar. Pernyataan itu sontak membuat Mbah Nuri seperti tersayat kialatan petir. Pun para tetangga yang tak kuat ketika membayangkan kerja keras Mbah Nuri, mengumpulkan receh demi receh dari dahan-dahan kering untuk mewujudkan impiannya. Kang Dirman pun tak kuasa menahan tangis. Suasana yang tadinya begitu bahagia, tiba-tiba berubah menjadi banjir air mata karena berita itu. 

Kabar itu dengan cepat menyebar pada warga desa, hingga pak lurah akhirnya datang untuk memastikan kebenaran kabar itu. Ternyata benar, Mbah Nuri tak bisa berangkat haji tahun ini. Pak Lurah sangat menyesalkan hal itu, terlebih ketika membaca kop suratnya yang ia tahu kalau biro itu bukanlah biro haji sungguhan, melainkan penipu.

Sungguh Mbah Nuri begitu terpukul. Wajahnya benar-benar pucat pasi. Kini tak ada harapan lagi. Ia tak menyangka, kerja kerasnya tak berbuah manis seperti impiannya. Ia pun tergolek lemah dan beberapa orang kemudian digotonglah ia ke kamar. 

Kang Dirman pun segera menuju kamar Mbah Nuri, dan betapa terkejutnya ia tatkala memegang nadi Mbah Nuri yang tak lagi berdenyut, tubuhnya dingin, dan matanya terpejam. Para tetangga kemudian menangis dengan histeris. Mereka tak percaya, orang sebaik Mbah Nuri itu harus meninggalkan mereka untuk selama-lamanya. Suasana berubah menjadi duka. Air mata tumpah dimana-mana, membanjiri rumah Sang Wanita Senja. Desa Wonokerto pun berkabung. Kehilangan sosok yang sangat baik. 

Kini Mbah Nuri telah kembali ke sisi-Nya dengan diiringi doa seluruh warga. Kesedihan yang amat mendalam benar-benar dirasakan para tetangga. Bagi mereka, meskipun Mbah Nuri tak jadi berangkat ke Tanah Suci, ia sudah lebih dari sekadar haji. Namun sayangnya, misteri tentang Mbah Nuri yang tahu akan masalah para tetangga meski tak ada yang memberitahunya belum terjawab hingga kini.