Cerpen

Warta Cinta

Ahad, 25 November 2018 | 16:36 WIB

Warta Cinta

Ilustrasi: pixabay.com

Oleh Muchamad Aly Reza

Aku tersentak ketika seorang bocah laki-laki bertubuh gempal berlari sambil berseru haru-kegirangan dari bibir pantai. Kabar apakah kiranya yang dia bawa dari negeri seberang sana? bisikku dalam hati. Betapa dari raut bocah berkulit sawo langsat itu terpancar rona bahagia. Sekejap saja dan bocah laki-laki itu dikerumuni nelayan, pedagang, dan para saudagar. 

“Aku membawa kabar dari salah seorang saudagar Arab,” ucapnya mantap dengan mengangkat tingggi-tinggi selembar kertas berwarna cokelat kekuningan. Kecuali aku, semua yang hari itu berada di dermaga termangu dan menyimak seksama. Sementara aku masih sibuk mendempul perahu. 

Persis setelah bocah laki-laki itu membacakan warta di tangannya, lamat-lamat terdengar puji-pujian dalam tradisi Hindu, Budha, dan seruan syukur dalam bahasa kepercayaan orang-orang Nusantara. Aku terhenyak—tiba-tiba aku teringat pada suatu kali ketika kakekku mengajakku melaut, pada sebuah purnama ketika usiaku baru terhitung belasan. Dia bercerita, bahwa akan tiba hari di mana akan terbit cahaya terang dari Arab. Cahaya kedamaian, cahaya yang dirindukan kaum miskin, cahaya yang akan menghapus jejak-jejak kelaliman dari muka bumi. Malam itu aku tidak banyak bertanya, aku tidak pernah tertarik dengan rahasia-rahasia langit. Namun hari ini, dari sinar di wajah bocah laki-laki itu, sungguh aku ingin tahu, kira-kira ada pesan apa dari langit?

Aku berdiri, mencoba mendekati kerumunan yang masih hanyut dalam doa dan puji-pujian. “Dia telah dilahirkan, oh sungguh ini adalah saat yang aku tunggu seumur hidupku,” teriak salah seorang nelayan tua. Semakin aku mendekati kerumunan, semakin aku yakin tentang ramalan itu. Dari kakekku aku sering mendengarnya—sebuah kabar baik ketika di negeri Arab diliputi kegelapan, ketika dunia dipenuhi awan kelabu. 

“Hei anak muda, tidakkah kau turut bahagia? Penutup para nabi itu telah dilahirkan, hari ini, menjelang fajar.” 

Kali ini aku tidak kuasa menopang tubuhku sendiri. Aku terduduk, tubuhku bergetar hebat, aliran darahku mengalir deras, detak jantungku berpacu dua kali lebih kencang dari batas normalnya. Kemudian aku mendengar bocah laki-laki tadi kembali membcakan warta di tangannya. Sepersekian detik sebelum aku jatuh tidak sadarkan diri, sempat aku tangkap dari suaranya yang berat, bahwa ada sepasukan gajah yang mencoba merobohkan bangunan suci di Mekah, namun batal-digagalkan oleh sekawanan burung-burung. Aku tidak sanggup membayangkan, betapa dimuliakan manusia itu? Penutup para nabi, manusia suci yang lahir yatim, yang kelak akan membangun dunia dengan kasih sayangnya, yang kelak akan menyelamatkan manuisa dari petaka kebodohan. Sementara pikiran-pikiran berkelebat di kepalaku—aku pingsan.

***

Aku terbangun di atas padang rumput yang dipenuhi domba-domba gembala. Di mana aku?. “Warta cinta sudah sampai di negeri kita, Nak, pesisir yang jauh ini.” 

“Siapa itu?” sergahku. 

Kemudian yang ku dengar justru suara tawa. 

“Bersabarlah, Nak, ketika semua ramalan itu terpenuhi, akan ada banyak guncangan di muka bumi. Dia akan datang dengan kejujuran.” Aku berdiri, mencari-cari dari mana sumber suara itu. 

Kakek? Itukah kau? 

Kemudian kulihat cahaya besar merekah dari langit. Sekejap dan kemudian aku terbangun dari ketidaksadaranku. Aku terbangun ketika hari sudah petang, dermaga sudah sepi. Tinggal aku dan bocah laki-laki yang memeluk erat warta di tangannya. 

“Kau pingsan cukup lama,” ucap bocah laki-laki di sebelahku. Tatapannya tajam ke sudut laut. “Kita akan menjadi saksi bagi terwujudnya sebuah ramalan agung,” ucapnya lagi dengan nada dramatis. Aku bangkit tertatih, rasanya masih gemetar seluruh tubuhku. Tiba-tiba ada kerinduan luar biasa yang muskil kumaknai. 

***

Sementara di belahan bumi lain, di sebuah negeri bernama Mekah, seorang bayi laki-laki yatim menjemput takdrinya. Bersiap memenuhi ramalan besar, menjadi penutup para Nabi, menjadi juru perdamaian, pembawa lentera dalam kegelapan. Sementara bayi itu menunggu masanya tiba, sementara itu aku berdoa, semoga aku mati setelah risalahnya sampai ke telingaku. 


Surabaya, 2018, 12 Maulid

biasa dipanggil Kang Aly.
Kelahiran Rembang, Jawa Tengah. Merupakan mahasiswa aktif Prodi Sejarah
Peradaban Islam Fakultas Adab dan Humaniora UIN Sunan Ampel Surabaya.
Aktif sebagai kader Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Rayon
Adab UINSA sekaligus menduduki Divisi Intelektual di Himpunan Mahasiswa
Jurusan Sejarah Peradaban Islam UINSA. Sebelumnya, pengirim adalah
alumnus dari Pondok Pesantren An-Nur, Lasem, Rembang, asuhan KH. Abdul
Qoyyum Manshur (Gus Qoyyum).