Mimika, NU Online
Makluk hanya bisa berencana dan berusaha, Allah lah yang menentukan hasilnya. Harapan nahdliyin atau warga Nahdlatul Ulama Mimika, Papua bisa berkomunikasi dengan intensfif untuk menginformasikan kegiatan yang direncanakan, ternyata tidak bisa dilakukan dengan masih berlangsungnya pembatasan akses internet.
Akibat keterbatasan akses tersebut, berkirim surat elektronik baru bisa dilakukan beberapa hari ini. Berikut catatan kontributor NU Online di Mimika Papua yang diterima redaksi, Jumat (13/9).
Aneka Kegiatan Warga
Yang juga terkena imbas adalah kegiatan haul ke-28 KH Abdul Fattah, Siman, Lamongan. Acara ini adalah agenda rutinan berupa pengajian kitab kuning Ahad Legi Pagi yang disingkat menjadi AHLI. Kegiatan dipusatkan di Pondok Pesantren Darussalam Mimika, namun digelar dalam suasana yang masih belum kondusif.
Kegiatan haul ini merupakan yang pertama digelar di Mimika oleh para alumni Pondok Pesantren Al-Fattah, Siman, Lamogan, Jawa Timur.
Rangkaian kegiatan diawali dengan penguatan ghirah berNU untuk kalangan remaja, Sabtu (7/9) di Pesantren Darussalam Mimika. Keterbatasan akses informasi dan kondisi yang memaksa siswa SMAN 1 Mimika dan SMKN 1 Mimika tidak jadi mengikuti kegiatan ini. Peserta kegiatan ini diikuti oleh IPNU IPPNU SP2 dan Remaja Kampung Mwuare.
“Silahkan lihat gambar apa ini,” tantang Sugiarso ketika membuka perihal pemahaman dan persepsi atas sesuatu. Yang bersangkutan memperlihatkan sebuah gambar dan dimaknai beragam oleh peserta. Mereka ada yang menjawab gambar kodok, hiu, jerapah, kuda dan lainnya.
“Contoh lain sekarang dalam bentuk kalimat, bukan gambar. Istri ustadz baru pergi ke pasar baru. Ini kalimat Bahasa Indonesia. Pertanyaan saya, yang baru siapa atau apa, silahkan dijawab,” urai Wakil Ketua Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Mimika ini saat memberikan materi ke-NU-an. Kalimat itu menurutnya bisa bermakna ganda, bergantung siapa yang memahaminya.
“Nah itulah pentingnya kita mengikuti pemahaman yang benar, yakni pemahaannya orang yang ahli di bidangnya dan memiliki ketersambungan pemahaman ini hingga sumbernya,” jelasnya.
Al-Qur’an dan hadits jika dipahami oleh orang bodoh, bisa menghancurkan agama. “Untuk itu kita ikut para ulama yang ahli dan pemahamannya yang memiliki sanad keilmuan hingga Rasulullah,” ungkapnya.
Acara haul dilanjutkan pada malam harinya dengan menggelar tahlil kubra, manakib dan tausiyah. Pembacaan mahallul qiyam dipimpin Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (IPNU) dan Ikatan Pelajar Putri Nahdlatul Ulama (IPPNU) Ranting Wanagon sebagai pembuka acara.
Kegiatan diteruskan dengan tahlil kubra yang dipimpin Ustadz Hasyim. Pembacaan manakib KH Abdul Fattah dibacakan oleh Ustadz H Fadlan selaku alumi dari Pesantren Al-Fattah Lamongan.
“Tahun 1939 hingga tahun 1941 beliau tabarukan keberbagai pondok pesantren yaitu Pondok Pesantren Tebuireng Jombang di bawah asuhan KHM Hasyim Asy’ari, pendiri NU kemudian kepada KH Khozin Siwalan Panji Sidoarjo. Selanjutnya ketika beliau berangkat haji tahun 1952/1953 di Makkah juga tabarrukan kepada Sayyid Alawi Al-Maliki. Selama tabarukan beliau tidak pernah terlepas dari izin romo KH Abd Hadi Langitan.”
Demikian kata H Fadlan saat membaca manakib KH Abdul Fattah. Selanjunya dibacakan bahwa pada awal pendirian Pesantren Al-Fattah bernama Pesantren Salafiyah, lokasi pondok ini hanyalah berupa langgar kecil berukuran 4 x 5 meter dan sebuah bangunan yang terdiri dari 4 kamar serta 1 rumah kiai.
“Yang bersangkutan mendapatkan bibit santri dari Pesantren Langitan yang bernama Masrin dan Waras guna menjadi santri pada Kiai Abdul Fattah,” katanya.
Sementara itu ceramah disampaikan Ustadz Choirul Anam, Pengasuh Pesantren Al-Istiqomah, Cukir, Diwek, Jombang, Jawa Timur.
“Kalau kiai dulu itu mengajarnya tidak jelas. Malah kadang santri hanya disuruh ke sawah, bukan mengaji, tetapi mereka malah menjadi menjadi orang jelas, jadi kiai besar hingga tokoh masyarakat,” urainya.
Dirinya kemudian memberikan catatan terkait metode yang dilaukan zaman kekinian. Bahwa para guru mengajarnya jelas, mewnggunakan kurikulum, pembelajaran aktif dan sebagainya.
“Namun santrinya malah tidak jelas, tidak seperti yang diharapkan dan bahkan malah menjadi urusan,” urai Ustadz Anam.
Menurut Ketua Lembaga Falakiyah Nahdlatul Ulama Mimika ini, semua harus bisa meniru perjuangan para kiai. Karena kiai dulu rela meninggalkan kesenangan atau kekayaan demi untuk menyerbarkan Islam di tempat terpencil.
“Kisah Mbah Fattah melukiskan dalam kondisi bagaimanapun ngaji dan khidmah tetap harus berjalan, baik dalam keadaan lapang atau sempit. Dulu orang mondok itu sambil sekolah, kalau sekarang sekolah sambil mondok. Pondok tidak ada sekolahnya itu tidak laku. Nah inilah perubahan pola pikir dan pandangan para kiai dulu dengan sekarang. Semoga kita bisa meniru perjuangan beliau,” harapnya.
Selanjutnya acara ditutup dengan potong tumpeng dari Ustadz H Fadlan kepada Ustadz Anam diiringi shalawat oleh IPNU dan IPPNU Wanagon.
Kegiatan Berlanjut
Pada pagi harinya diadakan rutinan pengajian Kitab Kuning Ahad Legi Pagi. Kembali remaja IPNU IPPNU Wanagon mengisi dengan shalawat dipimpin Hj Asmawati.
Pembacaan Manakih KHM Hasyim Asyari (Mbah Hasyim) mengisi acara selanjutnya.
“Mari kita lanjutkan kembali manakib Mbah Hasyim yang disusun oleh ahlul bait Rasulluh, yakni Sayyid Muhammad Asad Syihab yang terbit di Timur Tengah dalam Bahasa Arab. Dan ini merupakan biografi pertama Mbah Hasyim,” urai Sugiarso yang membacakan manakib Mbah Hasyim.
“Buku ini aslinya Bahasa Arab dan diterjemahkan oleh Gus Mus atau KH Mustofa Bisri denan judul Hadlratussyaikh Muhammad Hasyim Asy’ari: Perintis Kemerdekaan,” sambungnya.
Dalam kata pengantar, Gus Mus mengatakan bahwa risalah kecil Sayyid Muhammad Syihab ini baginya mungkin meneguhkan atau melengkapi gambaran tentang Hadlratussyaikh.
“Yakni seorang maha kiai dalam arti yang sebenarnya sekaligus pejuang bangsa. Tidak hanya memiliki kedalaman ilmu dan tanggungjawab pengamalan serta penyebarannya, namun juga keluasan wawasan dan pandangan yang hampir tidak dimiliki oleh sembarang kiai,” kata Gus Mus yang dibacakan Sugiarso.
Jadi wajar apabila para kiai di Indonesia menghormati Mbah Hasyim sebagai rais akbar satu-satunya. Hampir semua kiai, terutama di kalangan jamiyah Nahdlatul Ulama, kesawaban ilmu atau ajarannya.
“Maka jika orang mengitlakkan sebutan Hadlratussyeikh, yang dimaksud tidak lain adalah Mbah Hasyim,” katanya.
Acara selanjutnya adalah pembacaan istighatsah dan permohonan doa dari para jamaah lewat program BIO (botol infak operasional) dipimpin Ustadz Hasyim. Selama sebulan jamaah mengumpulkan infak di botol dan di awal bulan berikutnya dihitung dan disampaikan hajatnya di acara istighatsah. Hasil perhitungan BIO dilaporkan jumlahnya menjadi 1,9 juta rupiah lebih.
Acara puncak pengajian kitab Taklimul Muta’alim diisi oleh Ustadz Abdul Aziz. Dalam paparan awal sebelum mengaji, ia menyampaikan bahwa kitab ini ditujukan kepada orang yang belajar, yakni santri.
“Makna santri bukan hanya yang kecil yang sedang belajar di pondok, namun siapapun yang belajar adalah santri. Kiai itu juga santri sebab kiai itu punya guru, berarti kiai itu santri dari gurunya. Santri itu ada 3 macam, santri asli, mambu santri, dan santri mambu,” ungkapnya yang disambut tawa jamaah.
“Santri asli artinya santri yang belajar di pondok dan mendapatkan ilmu dari pondok dan setelah pulang dia mengamalkan apa yang didapatnya itu,” katanya.
Mambu santri maknanya, yang bersangkutan tidak mondok tapi mendapatkan amalan dan ilmu seperti santri dan mengamalkan apa yang diperolehnya.
“Sedagkan santri mambu adalah santri yang belajar di pondok dan mendapatkan ilmu, namun setelah pulang tidak diamalkan malah memusuhi kiai,” jelasnya.
Menurut Ustadz Aziz, orang sekarang ini banyak yang aneh. Hal tersebut tertlihat kalau menanyakan santri mondok kelak mau jadi apa. “Itu pertanyaan tidak bermutu, santri itu bisa jadi apa saja. Bisa jadi gubernur, contoh Bu Khofifah. Bisa jadi wakil presiden, contohnya KH Makruf Amin. Bahkan juga bisa jadi presiden, contohnya Gus Dur,” tegasnya. Yakinlah jika anak mondok makan akan bisa sukses dunia akhirat, lanjutnya.
Acara AHLI ditutup dengan pembagian santunan dari Komunitas Mas Wali (Mafia Shalawat dan Warga Peduli) untuk para mualaf, yatim, dan dhuafa dengan paket beras, minyak, sabun, gula, air.
“Acara ini memiliki moto sebulan untuk sehari, artinya mengumpulkan infak selama sebulan dan disalurkan dalam sehari,” kata Imam Mawardi.
Anggota perkumpulan sebenarnya bukan dari kalangan berpunya. Mereka ada tukang ojek, buruh, bahkan non-Muslim. Namun semua memiliki kesadaran bersama untuk memabantu kalangan yang tidak berpunya.
“Jika kita peduli kepada sesama, maka di Timika ini orang miskin tidak akan ada lagi,” ungkap Ketua Mas Wali tersebut.
Haul dan Ahli dihadiri ulama dan sesepuh. Di antaranya Ustadz H Ghazali dari SMAN 1 Mimika, Peltu Monab dari Kodim. Mbah Nasir, sesepuh NU Kampung Mwuare, H Fadlan dan Hj Asmawati alumni Pesantren Fattah dan sesepuh NU Wanagon, juga sejumlah ustadz maupun ustadzah lainnya.
Pewarta: Sugiarso
Editor: Ibnu Nawawi