Daerah Kiai Baqir Tutup Usia

Besok, Dimakamkan di Desa Kranji

Senin, 15 Mei 2006 | 10:19 WIB

Lamongan, NU Online
Inna Lillahi Wainna Ilaihi Roji'un
. NU kembali kehilangan salah satu tokoh besarnya. Pengasuh Pondok Pondok (Ponpes) Pesantren Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran Lamongan, KH Muhammad Baqir Adelan (Kiai Baqir), Senin (15/5) dipaanggil Sang Khalik. Kiai kharismatik itu wafat sekitar pukul 12.00 WIB di kediamannya di komplek Ponpes Tarbiyatut Tholabah Kranji Paciran Lamongan. Rencananya, jenazah Kiai Baqir akan dimakamkan di pemakaman keluarga di Desa Kranji, besok (16/5) pukul 12.00 WIB.

H Agus Khosyi’Rofiqi, putra almarhum mengatakan, sebelum wafat, Kiai Baqir, tidak merasakan sakit apa-apa. Bahkan, sekitar pukul 09.30 almarhum masih menjalankan rutinitas ibadah sunah, yaitu menjalankan salat dluha. ”Sebelumnya hanya sesak nafas saja,” katanya.

<>

Kepergian Kiai Baqir meninggalkan duka mendalam bagi keluarga, para santri, alumni dan masyarakat, terutama warga Lamongan. Maklum, Kiai Baqir selama ini dikenal sangat dekat dengan masyarakat.

Mendengar kabar wafatnya Kiai yang pernah menjabat sebagai pengurus Syuriah PWNU Jawa Timur itu, ribuan masyarakat langsung datang berbondong-bondong ke Ponpes Tarbiyatut Tholabah.

Ribuan masyarakat dan santri pun langsung membacakan ayat suci Al-Qur’an dengan harapan arwah Kiai Baqir diterima di sisi Allah, diampuni semua kekhilafannya, serta diterima semua amal ibadahnya. ”Mewakili keluarga, saya memohonkan maaf untuk abi (ayah) saya kepada masyarakat yang pernah bergaul,” ungkap Gus Khosyi’—sapaan akrab H Agus Khosyi’Rofiqi.

Kiai Baqir lahir pada tanggal 30 Agustus 1934 M, yang bertepatan dengan tanggal 18 Jumadil Ula 1354 H di desa Kranji kecamatan Paciran Lamongan. Kiai Baqir adalah putera keenam dari dua belas bersaudara. Ibunya bernama Nyai Hj Shofiyah (putri KH Musthofa dengan Nyai Aminah Sholeh). Sedangkan ayahnya bernama KH Adelan Abdul Qodir (santri KH Musthofa dari Kranji).

Sejak kecil, Kiai Baqir dikenal sebagai pribadi yang mempunyai banyak kelebihan yang tidak dimiliki oleh orang-orang seumurnya, yaitu, kecerdasan intelegensi, keberanian, kemandirian dan kemampuan dalam ilmu perdagangan. Kelebihan-kelebihan itulah yang membuat kiai dengan sembilan putra ini dipercaya memangku pondok pesantren Tarbiyatut Tholabah, sepeninggal kakeknya, KH Musthofa Abdul Karim dan ayahnya KH Adelan Abdul Qodir.

Kiai Baqir mengawali pendidikannya di Ponpes Tarbiyatut Tholabah yang saat itu masih diasuh oleh kakeknya, KH Musthofa Abdul Karim. Pada saat bersamaan, Kiai Baqir juga belajar ilmu agama dari kedua pamannya, yaitu KH Abdul Karim Musthofa (Pendiri dan Ketua Jam’iyatul Qurra Wal Huffadz NU), dan KH. Muhammad Amin Musthofa. Tidak puas dengan apa yang telah dibelajari, pada tahun 1952- 1954, Kiai Baqir melanjutkan pendidikannya di Ponpes Tambak Beras, Jombang.

Setelah kurang lebih selama dua tahun berada di Tambak Beras, Kiai Baqir kemudian melanjutkan pendidikannya di Ponpes Denanyar Jombang yang pada saat itu masih diasuh oleh KH Bisri Syamsuri (1954-1958). Di Ponpes ini, Kiai Baqir tidak hanya menjadi santri, tatapi sudah mulai dipercaya oleh Kiai Bisri—panggilan KH Bisri Syamsuri—menjadi pengajar. Bahkan, Kiai Baqir turut membesarkan pesantren tersebut dengan turut mendirikan Madrasah Tsanawiyah (MTs). ”Dulu masih jarang sekolah Tsanawiyah (setingkat SLTP). Di Denanyar saja saat itu saya yang mbubak (memulai),” kata Kiai Baqir belum lama ini.

Saat masih tinggal di Denanyar, Kiai Baqir turut mengasuh KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang pada saat itu tinggal di komplek Ponpes Denanyar bersama kakeknya, Kiai Bisri. Hubungan Kiai Baqir dengan Gus Dur tidak hanya sebatas kenal. “Saya dulu panggilnya Kang Baqir. Beliau itu yang nyewo’i (nyeboki) saya, saat saya masih di Denanyar, yaitu, saat ikut Mbah Bisyri,” kata Gus Dur dalam suatu kesempatan. (amh)