Daerah

Dari Alfiyah hingga Menulis Syarah: Cara Santri Memuliakan Ulama dan Kiai

NU Online  ·  Ahad, 26 Oktober 2025 | 08:30 WIB

Dari Alfiyah hingga Menulis Syarah: Cara Santri Memuliakan Ulama dan Kiai

Kitab kuning diajarkan di pesantren (Foto: Risky)

Jakarta, NU Online
Di dalam tradisi pesantren, kitab kuning tak hanya menjadi bahan pembelajaran. Kitab kuning menjadi sumber pemikiran ulama dan kiai yang dapat dikembangkan para santri. Semangat inilah mendorong santri tamatan Alfalah, Ploso, KH Ma'ruf Khozin menulis syarah karya ulama pendahulunya.


Ia menyayangkan para santri yang telah mendapatkan bekal cukup ilmu kebahasaan, tetapi tidak dimanfaatkan untuk keperluan dakwah maupun pendidikan. Padahal, lanjutnya, ilmu mampu jadi jembatan menuju keabadian amal.


"Kita di pesantren itu diajarkan kitab Jurumiyah dan Imriti itu untuk membaca, sementara Alfiyah itu sudah tingkatan pengarang. Jadi eman-eman jika kitab itu (Alfiyah) hanya kita pelajari dan tidak kita terapkan," katanya saat dihubungi NU Online, Jumat (23/10/2025) malam.

 

Kiai Khozin bercerita mengenai pergumulannya di dalam dunia penulisan syarah. Pada mulanya, ia menulis pemikiran keagamaan dengan bahasa Indonesia. Ia mengaku, inspirasi ini didapatkannya dari santri alumnus Sidogiri, KH Idrus Romli.

 

Namun, aktivitas kepenulisannya dengan bahasa nasional tersebut terhenti ketika ia bertemu dengan KH Afifuddin Dimyati (Gus Awis), alumnus Pondok Pesantren Daru Ulum, Rejoso dan Ponpes Pandanaran, Yogyakarta. Pertemuan ini mengalihkan perhatiannya untuk menulis pemikiran ulama dengan gaya dan tata bahasa Arab.


"Beliau bilang, kalau tulisan bahasa Indonesia itu nggak bisa dikaji, hanya dibaca individu, tapi kalau Arab bisa dikaji bersama. Khataman-khataman di pondok itu kan bukan bahasa Indonesia tapi bahasa Arab," kenang Kiai asal Surabaya itu.


Selain itu, ia menambahkan bahwa karya berbahasa arab juga memicu seseorang untuk melatih daya fokus akan suatu bacaan.


"Terus orang kalau menghadap di tulisan Arab itu konsentrasinya penuh. Sejak saat itu berubah pikiran saya. Akhirnya sejak saat itu saya tidak menulis (kitab) dengan bahasa Indonesia," tambahnya.


Lingkungan yang Mendukung
Ia mengisyaratkan bahwa selain motivasi internal, dalam pengembangan keilmuan pesantren juga diperlukan lingkungan yang mendukung. Ia mengatakan, perjalanan menulisnya didukung oleh forum Nahdlatut Turats yang berkonsentrasi pada kitab hingga catatan para ulama klasik.


Gerakan ini disebut telah banyak dijalankan di sejumlah pesantren dengan pelatihan digitalisasi manuskrip.


"Jadi satu kiai ke kiai yang lain, surat-surat itu sekarang dijaga betul. Ini yang kemudian memotivasi saya untuk menulis (bahasa) Arab," ungkapnya. 

 

Kendati demikian, lanjutnya, medan perjuangan santri tidak sebatas pada dunia kepenulisan. Ia berpandanga bahwa khazanah keilmuan pesantren menjadi fondasi santri untuk berkarya di berbagai bidang.

 

"Intinya jangan sampai tidak berkarya," tandasnya.


Karya-karya
Kitab Hujjah Ahlussunanh Wal Jamaah karya KH Ali Maksum, Krapyak dan as-Syarhun Nadhif karya Syaikh Kholil, Bangkalan merupakan dua karya ulama Indonesia yang menjadi sasaran pensyarahannya. Hal ini ia lakukan adanya perkembangan konteks keislaman di Indonesia.


"Dulu di masa beliau (KH Ali Maksum) ada 8 tema itu. Nah sementara di zaman kita tidak hanya delapan tema saja, tetapi hampir semua tema dipermasalahkan," ungkapnya sambil tertawa ringan.


Ia menambahkan, setiap bab dikembangkan dengan argumentasi hadis. Pengembangan ini ia niatkan untuk memuliakan ulama dengan mendompleng lewat karya.


"Misalnya Kiai Ali Maksum menjelaskan tentang seputar shalat Jumat itu saya tambahkan penjelasan mengenai penggunaan tongkat dan mimbar dan lain semacamnya. Nah yang saya maksud mendompleng itu di situ," tandasnya.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang