Daerah

Kembang Endhog, Tradisi Masyarakat Banyuwangi Peringati Maulid Nabi

Jumat, 8 Desember 2017 | 15:26 WIB

Banyuwangi, NU Online
Setiap bulan Rabiul Awwal, umat muslim memperingati hari lahirnya Nabi Muhammad SAW atau biasa dikenal dengan tradisi Maulid Nabi. Tradisi tersebut diperingati di berbagai belahan dunia. Lebih-lebih di Indonesia. 

Di Indonesia, peringatan Maulid Nabi terdiri dari aneka ragam tradisi. Seperti halnya di Banyuwangi. Di daerah ujung Timur Pulau Jawa ini, ada tradisi Kembang Endhog untuk memperingatinya. 

"Kembang Endhog ini berupa belahan bambu yang dihias dengan kertas yang menyerupai bunga atau kembang. Kemudian ditambah dengan endhog atau telur sebagai buahnya," papar founder Komunitas Pegon Ayung Notonegoro saat ditemui NU Online, Kamis (7/12).

Kembang Endhog tersebut, tak sekadar tradisi. Namun, lanjut Ayung, memiliki makna simbolik dan filosofis. 

"Tradisi ini memiliki makna simbolis tentang kelahiran Nabi Muhammad, yakni kelahiran Rasulullah ini, menjadi rahmat bagi semesta alam. Rahmat inilah yang disimbolkan Kembang Endhog. Bambu yang tak pernah berbuah dan berbunga, bisa berbuah dan berbunga karena adanya rahmat kelahiran Nabi Muhammad," jelentreh pegiat sejarah pesantren di Banyuwangi itu. 

Telur sengaja dipilih menjadi simbol buah, imbuh Ayung, juga memiliki makna filosofis tersendiri. Telur rebus yang terdiri dari tiga lapis, yakni kulit luar, putih telur dan kuningnya, merupakan simbolisasi beragama. 

"Tiga lapis ini simbol beragama, yaitu harus iman, islam dan ihsan," terangnya. 

Sedangkan secara historis, tradisi Kembang Endhog ini, berkembang pada dekade kedua abad 20. Salah seorang ulama Banyuwangi yang berasal dari Desa Cemoro, Songgon yang mempopulerkannya. 

"Dalam beberapa keterangan yang kami dapatkan, yang mempopulerkannya adalah Kiai Abdullah Faqih Cemoro," jelasnya. 

Kiai Faqih sendiri merupakan salah seorang santri Syaikhona Khalil Bangkalan. Pada 1911 ia kembali ke kampung halamannya dan memulai merintis pesantren. Hidup di lingkungan masyarakat Osing, suku asli Banyuwangi, yang kental dengan budaya, Kiai Faqih mencoba berdakwah dengan menggunakan medium budaya. 

"Kiai Faqih memilih kembang endhog yang ditaruh di pohon pisang dan diarak. Berkat hal ini, akhirnya banyak masyarakat yang tertarik dan mulai memondokkan anaknya ke pesantrennya," papar Ayung. 

Kini, tradisi kembang endhog telah menjadi budaya yang mengakar. Hampur semua masyarakat Banyuwangi, bahkan yang di perantauan sekalipun, ikut melestarikan tradisi maulud tersebut. Dalam beberapa tahun terakhir, Pemda Banyuwangi juga rutin menggelar festival kembang endhog setiap bulan Rabiul Awal. (M. Sholeh Kurniawan/Abdullah Alawi)