Rembang, NU Online
Menjadi panitia pendamping tim sepakbola yang mengurusi segala macam kebutuhan administrasi maupun konsumsi dari setiap pemain, merupakan salah satu tugas yang membutuhkan tanggung jawab dan dedikasi yang tinggi.
Belum lagi jika kompetisi tersebut diadakan di luar kota asal serta memakan waktu berhari-hari. Tentu dibutuhkan perhitungan yang matang mengenai pemenuhan kebutuhan transportasi, administrasi, dan juga konsumsi.
Hal itu diperlukan demi mengefisiensi sehemat mungkin anggaran yang dikeluarkan, karena telah maklum bahwa pesantren adalah lembaga yang mandiri. Tidak ada sponsor maupun iklan yang mendanai. Sudah barang tentu, anggaran pribadi pesantren cukuplah terbatas.
Atas pertimbangan demikian, para santri senior dari Pesantren Sirojuth Tholibin Brabo, Grobogan yang menjadi staf official untuk tim kebanggannya Sirbin FC melakukan hal yang cukup langka untuk dilakoni para panitia pendamping klub sepakbola.
Para santri yang menjadi staf official, rela memasak makanan secara mandiri demi memenuhi kebutuhan konsumsi. Mereka pun juga membawa piranti memasak sendiri. Terlihat ada kompor gas, mesin penanak nasi (magic jar), dan seabrek alat memasak yang lainnya.
Saat ini mereka sedang mengikuti kompetisi Liga Santri Nusantara (LSN) Regional 1 Jawa Tengah Sub-region 2 Karesidenan Pati di Kabupaten Rembang. Terhitung mereka telah berada di gedung kantor PCNU Kabupaten Rembang sejak hari Ahadi (5/8) lalu, dengan membawa lebih dari 30 santri yang menjadi pemain maupun staf official. Mereka tetap tinggal di sana karena melaju di babak final pada hari Jumat (10/8) melawan Dafa FC Pati.
Asisten Manajer Tim Sirbin FC, M An’imbih menjelaskan bahwa hal tersebut dilakukan menyusul rapat evaluasi keikutsertaan Tim Sirbin FC tahun lalu di Kabupaten Blora yang cukup menguras anggaran. “Karena tahun lalu, tim kami menghabiskan dana lebih dari 10 juta,” tuturnya.
Begitulah santri ketika dihadapkan pada realita kehidupan. Pendidikan pesantren telah membentuk mereka menjadi insan yang mampu beradaptasi dalam setiap keadaan. Santri tidaklah hidup bermewaah-mewahan. Mereka dididik untuk selalu bersahaja dalam kesederhanaan. Bukannya tak mampu, namun memang demikianlah teladan rasul yang diajarkan. (Ulin Nuha Karim/Kendi Setiawan)