Jember,
NU Online
Abd Mushawwir adalah nama kecil KH Muhammad Umar. Ia lahir di Jember, tepatnya di Suko pada tahun 1904 M. Suko adalah sebuah desa kecil di Kecamatan Jelbuk, Kabupaten Jember, Jawa Timur.
Kiai Umar, sapaan akrabnya, Pengasuh Pondok Pesantren Roudlatul Ulum, Desa Sumberwringin, Kecamatan Sukowono, Kabupaten Jember generasi kedua. Kiai Umar tak lain adalah ayah KH Khotib Umar, seorang ulama khos yang dekat dengan Gus Dur.
Kiai Umar juga dikenal sebagai pejuang. Pada zaman penjajahan, Pesantren yang diasuhnya dijadikan sebagai tempat pertahanan sekaligus persembunyian para pejuang kemerdekaan RI. Saat itu, di Pondok Pesantren Roudlatul Ulum terdapat Mayor Imam Sukarto (mantan Komandan Militer daerah Besuki), Mayor Magenda, Mayor Dersan Eruk, Kapten Sofyan, serta Letnan Sutaryo, dan sejumlah tokoh lainnya. Mereka bersembunyi sambil mengatur strategi bersama Kiai Umar.
Total di pesantren ini terdapat sekitar 250 pejuang dan tentara. Selama masa perjuangan, mereka berfungsi ganda. Siang hari, mereka menggunakan kopiah dan sarung layaknya santri. Tapi bila malam tiba, mereka berjuang tanpa henti, bergerilya.
Suatu ketika, markas bayangan para santri pejuang ini terendus Belanda. Dengan membawa tentara sebanyak 4 truk, Belanda menggrebek Pesantren Roudlatul Ulum. Dalam suasana kritis itu, Kiai Umar berdoa kepada Allah SWT, dan atas pertolongan-Nya, tentara Belanda hanya bisa berputar-putar mengelilingi pesantren, tanpa menemukan apa yang mereka cari.
“Apa yang dilakukan oleh Kiai Umar, adalah wujud dari tekadnya untuk memohonkan perlindungan dan keselamatan para pejuang agar negeri ini bersih dari penjajah. Para pejuang itu, selama di pesantren, mendapat fasilitas gratis serta gemblengan rohani. Sehingga mereka pun semakin mantap menantang maut di medan tempur,” terang salah seorang anggota keluarga Kiai Umar, Gus Ali Hasan kepada NU Online di Sumberwrignin, Sabtu (9/11).
Pernah suatu malam, pasukan pejuang kemerdekaan RI menyerang tentara Belanda di sebelah selatan Roudlatul Ulum, Sumberwringin. Lalu, keesokan harinya, Belanda menggeledah pesantren tersebut. Mereka mencari pasukan gerilyawan. Namun, mereka tidak menemukan apa yang dicari. Serdadu Belanda hanya mendapatkan seorang pemuda bernama Hasan. Karena dicurigai sebagai tentara, Hasan ditahan selama seminggu di markas Belanda. Sepanjang perjalanan menuju Arjasa, markas Belanda, Hasan juga mendapatkan siksaan yang luar biasa.
Dari Sukowono hingga Arjasa, Hasan membawa empat pikulan ayam yang diikatkan di lehernya. Karena tidak tahan dipukuli terus menerus, Hasan akhirnya mengaku sebagai santri Kiai Umar. Kebetulan, Belanda memang sejak lama ingin menangkap tokoh tersebut. Kiai Umarpun dipanggil Belanda ke maskasnya di Bataan, Arjasa, Jember.
“Tapi alhamdulillah, berhubung Belanda di Kalisat ingin menyerang tentara pejuang di Garahan Jati, Sempolan, maka serdadu yang ada di Bataan diperintahkan untuk ikut dalam penyerangan tersebut, sehingga tidak sempat menginterogasi Kiai Umar. Dan akhirnya, Kiai Umar dilepaskan. Beliau hanya ditahan selama sehari,” tambah Gus Ali, sapaan akrabnya.
Namun penggeledahan itu bukan yang terakhir. Pernah suatu ketika, pada masa agresi militer II, Belanda menggeledah Ponpes Roudlatul Ulum dan mengumpulkan semua santri di masjid. Memang, sejak lama Belanda mencurigai pesantren tersebut sebagai markas pejuang. Para serdadu kafir itu masuk ke masjid tanpa melepas sepatu. Selain itu, mereka juga membawa anjing. Tapi alhamdulillah, karena semuanya sudah berpakaian ala santri, tak satupun pejuang dan tentara yang mereka temukan. Demikian juga pula dengan senjata-senjata para pejuang yang disembunyikan di atap kamar yang ada di dalam pondok. Akhinya, karena tidak berhasil menemukan tentara gerilyawan maupun senjata, tentara Belanda tersebut pulang tanpa hasil
Tentu saja tidak hanya Hasan yang menjadi korban keganasan serdadu Belanda, yang kala itu bernama KNIL, tentara kerajaan Hindia-Belanda. Kiai Salim adalah salah satunya. Ketika itu, Kiai Salim mengadakan pengajian malam Jumat. Dan pasukan Belanda mengira Kiai Salim telah memberi makan pejuang. Akhirnya, ia juga ditangkap dan disiksa oleh Belanda.
Setelah kejadian itu, Belanda melancarkan agresi militer II. Untuk menghindari segala kemungkinan terburuk, Kiai Umar dan keluarga mengungsi ke Dusun Plalangan, Desa Mojogemi. Di sana ia tinggal di sebuah rumah milik masyarakat. Semua peralatan dapur dan sejumlah kitab, dipendam di dalam tanah.
Keputusan Kiai Umar tersebut sangat tepat. Sebab, Belanda makin brutal mengoyak-koyak Jember, termasuk Sukowono. Sejumlah kiai dan tokoh masyarakat terus diintai, bahkan banyak yang ditangkap tanpa alasan yang jelas.
“Kiai Umar mengungsi bukan karena ingin lari dari perjuangan. Kiai Umar pergi untuk menang. Memang, tidak semua konfrontasi dengan Belanda harus dilawan dengan cara berhadap-hadapan,” ungkap Gus Ali.
Menghadapi situasi yang serba sulit kala itu, keluarga Kiai Umar mengeluh. Sebab, persediaan makanan kian menipis, sementara untuk mencarinya susah lantaran khawatir persembunyian mereka terendus Belanda. Kendati demikian, setiap Jumat Kiai Umar masih memberanikan diri datang ke Sumberwringin untuk mengajar santri meskipun hanya tinggal sedikit. Memang, bagi Kiai Umar, mengajar santri sangat penting. Bahkan sama pentingnya dengan perjuangan melawan penjajah. Sebab, mengajar santri sama artinya dengan mendidik mereka agar kokoh berjuang di jalan Allah, termasuk mengusir penjajah dari bumi Indonesia.
Pewarta: Aryudi AR
Editor: Syamsul Arifin