Firdausi
Kontributor
Sumenep, NU Online
Subaidi, salah seorang petani tembakau asal Desa Bakeong, Kecamatan Guluk-Guluk, Sumenep, Jawa Timur menceritakan, sejak dulu kualitas tembakau di desanya memberikan keuntungan pada petani kendati warga masih berjihad di tengah hiruk pikuk harga yang terkadang mudah berubah.
Ia menjelaskan, jika dilihat dari dekat, bibit tembakau Bakeong sama dengan daerah lainnya. Hal yang membuat spesial adalah tekstur tanah yang subur, didukung dengan air yang cukup, adanya sumur bor di setiap rumah dan keuletan warga dalam penyortiran daun. Untuk mengetahui tanah itu subur, petani bisa menanam padi dan jagung di musim penghujan.
"Secara umum, untuk membedakan kualitas tembakau, dapat dilihat dari tanaman yang ditanam di daerah perbukitan dan di bawah perbukitan atau dataran rendah. Harga, rasa dan aromanya pun berbeda," ucapnya saat NU Online mewawancarainya, Rabu (24/05/2023).
Ia mengatakan, jenis tanaman tembakau sama. Yang menjadi tolok ukur adalah asal bibit yang petani beli di beberapa daerah. Yang lumrah adalah bibit asal Keppo Pamekasan yang memiliki karakter daun lebar, pohon tinggi dan lebih lama dipanen. Sedangkan bibit asal Cangkreng Lenteng, tingginya rendah, daunnya tidak lebar dan lebih cepat dipanen.
"Jika petani lebih awal menanam tembakau di musim kemarau, warga menggunakan jenis bibit yang lebih lama dipanen. Di akhir musim kemarau, petani akan menggunakan bibit yang cepat dipanen," terangnya.
Untuk mendapatkan keuntungan yang besar, tergantung dari proses penghalusan daun dan pengeringan. Jika kasar hasil pengirisannya atau keras saat digenggam, harganya di bawah 100 ribu sampai 50 ribu per kilogram. Sebaliknya, jika hasil pengirisan halus dan disortir, warga tidak menjual ke tengkulak di gudang, melainkan dijual eceran secara mandiri.
Ia menambahkan, tembakau sortiran dengan irisan halus dilakukan oleh tenaga profesional. Bagi irisannya yang kasar, berarti menggunakan tenaga mesin. Bila daun dibiarkan, maka akan membusuk. Itulah alasannya petani mempercepat penghalusan dan pengeringan di bawah terik matahari.
"Sampai detik ini tembakau Bakeong diburu oleh pabrik rokok ternama, seperti Gudang Garam, Djarum, dan lainnya. Ada pula yang diburu oleh pemborong rokok yang gudangnya berafiliasi dengan pabrik rokok yang berlabel besar serta laku pada pemilik pabrik rokok lokal yang memiliki surat izin resmi," curahnya.
Kampung Jambangan
Alumnus Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk ini menyatakan, tembakau Bakeong mengalami pemurnian sehingga muncul sebuah jenis atau kategori tembakau. Kampung yang terkenal di sana ada di kampung Jambangan.
Diberi nama Jambangan, karena tembakaunya mahal, hasil irisannya halus dan disortir rapi. Jenis tembakau itu diberi nama Campalok yang harga per kilogram mencapai jutaan rupiah. Bila dibeli tengkulak, harganya berubah. Ada pula kasta lainnya yang diberi nama Tarebung, Kapodhang, dan jenis lainnya.
"Khusus jenis Campalok, harganya beragam, mulai dari 1 juta sampai menembus 8 juta per kilogram. Agar tembakau itu laku, warga menjual per 1 ons dengan harga Rp400-800 ribu. Sementara tembakau sortiran non Jambangan yang dilabeli tembakau Bakeong, harganya Rp200-500 ribu per kilogram," ungkapnya.
Dilanjutkan, di kampung Jambangan sangat unik. Sebut saja kasta tertinggi yakni jenis Campalok yang tidak mungkin ditemui pada tembakau lain. Di samping rasanya enak dan aromanya harum. Ada pula ciri khas yang membuat warga memburu jenis ini.
"Saat kita mematikan rokok lintingan jenis tembakau Campalok, kemudian keesokan harinya ingin menyulut kembali pakai korek api, tidak beraroma puntung rokok. Meskipun pernah dimatikan, rasa dan aromanya tetap sama. Jenis ini langka, karena bibitnya ditanam di atas lahan yang sempit. Sekali panen kisaran 12-15 kilo saja, namun harganya melambung tinggi," tuturnya.
Keluhan petani
Subaidi mengutarakan, bertani tembakau tidak membutuhkan air yang banyak. Namun ada risiko besar yang akan dihadapi warga. Misalnya, jika cuaca bersahabat, maka mendapat keuntungan. Sebaliknya jika cuara buruk akan mengalami kerugian.
"Usai daun diiris rapi, tiba-tiba tidak kering dalam satu hari, maka kualitasnya jelek dan laku murah, yakni di bawah 10 juta. Jika cuaca mendukung, warga akan mendapatkan hasil 20 sampai 40 juta. Namun dalam tanda kutip, membutuhkan modal jutaan rupiah, dikerjakan oleh orang banyak, dan hasilnya tidak bisa dipastikan," sergahnya.
Bagi warga yang rugi, kata dia, akan menyisakan hutang. Karena notabene petani di sini berhutang terlebih dahulu sebagai modal awal bercocok tanam. Ada pula yang menjual hewan ternak, yakni sapi dan kambing. Namun semua kesulitan itu dilalui sebagai jihadnya petani tembakau Bakeong.
"Tidak semua petani menginvestasikan hasil panen untuk dikembangkan lebih lanjut. Selain menutupi hutang modal bertani, paling banter merehab rumah, membeli emas, kendaraan bermotor, hewan ternak. Intinya ketahanan modal masih labil," urainya.
Kendala lainnya yang dialami petani adalah kesulitan mendapatkan pupuk bersubsidi. Menurutnya, seakan-akan pendistribusian tidak tepat sasaran. Untuk pupuk non subsidi harganya dua kali lipat. Isu terkini yang beredar, sambungnya, beban listrik membengkak lantaran warga banyak menggunakan untuk pengairan ke sawah.
Selain itu, Subaidi menolak Rancangan Undang-Undang (RUU) Kesehatan tentang tembakau yang disamakan dengan Narkotika. Baginya adalah kabar buruk pada petani. Kecuali pemerintah punya solusi, yakni ada tanaman pengganti yang bisa menyamai tembakau secara ekonomi.
"Kami berharap petani bisa bersatu kendati sulit dilakukan. Bagi pemborong, harga tembakau tidak boleh dimainkan. Belilah tembakau sesuai dengan kualitasnya," pintanya.
Kontributor: Firdausi
Editor: Kendi Setiawan
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua