Daerah

Memahami Agama Tidak Cukup dari Terjemahan

Jumat, 27 Desember 2019 | 04:30 WIB

Memahami Agama Tidak Cukup dari Terjemahan

KH Ma'ruf Khozin, Ketua PW Aswaja NU Center Jawa Timur. (Foto: NU Online/istimewa)

Sidoarjo, NU Online
Untuk dapat menangkap makna dan pesan agama secara baik yang tertera dalam al-Qur’an maupun hadits, tidak bisa langsung dengan membaca teks yang ada. Ada banyak disiplin ilmu lain yang harus juga dikuasai agar mampu menyibak makna yang tersurat dan tersirat.
 
Pesan ini disampaikan KH Ma’ruf Khozin saat hadir pada kegiatan walimatul khitan dan walimatul aqiqah di kawasan Perumahan Grand Aloha Regency, Sidoarjo, Jawa Timur. Menurutnya, membaca terjemah al-Qur’an dan hadits tidaklah cukup.
 
“Banyak pesan dalam al-Qur’an dan hadits yang tidak bisa dipahami hanya dengan mengetahui terjemahnya semata,” katanya, Kamis (26/12) malam.
 
Ketua Pengurus Wilayah (PW) Aswaja NU Center Jawa Timur tersebut kemudian menyebutkan hadits kewajiban orang tua yang harus ditunaikan kepada buah hatinya.
Dalam hadits yang diriwayatkan An-Nasai disebutkan hendaknya anak dilatih berkuda, memanah dan mengajarkan berenang. 
 
“Hadits ini tidak dapat dimaknai secara tekstual, namun kontekstual dalam artian disesuaikan dengan tantangan yang ada,” kata alumnus Pesantren Ploso, Kediri tersebut.
 
Karena perang zaman sekarang tidak lagi dengan menggunakan panah. Senjata canggih teknologi terbaru telah ditemukakan, serta banyak digunakan sejumlah negara yang tentu saja memiliki daya jelajah yang lebih baik. Demikian pula dengan anjuiran untuk mengajari anak berenang lantaran lahan yang tersedia juga terbatas.
 
“Oleh sebab itu, kaum Muslimin hendaknya lebih hati-hati dalam memaknai pesan agama dan juga tidak beragama yang mengedepankan formalitas,” terangnya.
Bagi Kiai Ma’ruf Khozin pesan hadits yang memerintahkan agar mengajarkan buah hati berkuda, memanah dan berenang hendaknya dibaca bahwa orang tua harus memberikan bekal keahlian. 
 
“Didik dan fasilitasi anak kita sesuai tantangan yang akan dihadapi mereka kelak,” jelasnya.
 
Bila memang anak diproyeksikan menjadi arsitek, maja kuliahkan yang bersangkutan di kampus dengan spesifikasi tersebut. Demikian kalau hendak menjadi dokter, polisi, tentara dan seterusnya. 
 
“Kalau memang anak memiliki kegandrungan kepada kitab kuning dan diharapkan menjadi ulama dan kiai, maka kirim anak ke pesantren,” urainya.
 
Lebih lanjut, Kiai Ma’ruf Khozin mengingatkan bahwa ada juga pesan yang harus digenggam kendati zaman telah berubah. Terutama terkait memberikan nama bagi anak.
 
“Nama yang baik itu diawali dengan Abdullah, Ahmad atau Muhammad. Bahkan sejumlah habib mempertahankan nama nenek moyangnya,” ungkapnya. Hal tersebut lantaran setiap orang akan mendapat berkah dari nama yang disematkan, lanjutnya.
 
Memberikan nama sesuai tuntutan zaman milenial juga tidak salah. Akan tetapi yang harus dipahami oleh orang tua adalah bahwa setiap anak dengan nama yang ada akan turut memberikan manfaat.
 
“Setiap orang akan mendapat manfaat dari namanya,” tegasnya. 
 
Di luar itu semua, hal yang tidak dapat ditawar adalah hendaknya orang tua membekali anak dengan keimanan. Hal tersebut sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an, khususnya surat Lukman. 
 
“Di ayat tersebut diingatkan agar anak didik dengan akidah yang kuat karena ini adalah pondasi yang teramat penting,” katanya.
 
Dengan pondasi yang kuat berupa keimanan, tentu anak kelak akan tahan dengan aneka cobaan dan tidak akan berubah kendati berada dalam situasi apapaun.
 
“Mereka akan di dalam negeri, bahkan ke luar negeri sekalipun tentu keimanannya tidak akan berubah,” tegasnya. Tugas berikutnya adalah mengajari anak untuk berbakti kepada kedua orang tua, lanjutnya. 
 
Di akhir paparan, Kiai Ma’ruf Khozin mengingatkan pesan dalam surat at-Tur ayat 21. Bahwa orang yang beriman bersama pendahulu dan anak cucunya akan dikumpulkan di akhirat.
 
"Oleh sebab itu, mari jaga keimanan dan amal shaleh kita agar kelak kembali dipertemukan dengan leluhur dan anak cucu,” pungkasnya.
 
 
Pewarta: Ibnu Nawawi
Editor: Aryudi AR