Jakarta, NU Online
Saya kurang suka mengajukan berkas proposal kepada pihak mana pun. Sebaliknya, tak layak juga diserahi proposal dalam bentuk apa pun, resmi maupun sembarang. Kecuali proposal untuk ngopi bareng. Tak masalah itu. Sukanya bukan main, bahkan oleh pihak sembarang sekalipun.
Kantor redaksi NU Online, Sabtu siang, (9/12), didatangi sekelompok anak muda. Mereka santri-santri yang terhubung melalui medsos. Apa pun latar belakang mereka, ketika mengajukan proposal, saya jadi malas menemui. Namun, tak ada lagi jalan menghindar, kecuali menghadapinya. Paling tidak sekadar mempersilakan ngopi yang selalu tersedia di kantor redaksi sepanjang tahun.
Saya pun membaca proposal itu. Tidak selesai memang. Mana ada yang selesai membaca sebuah proposal, bukan? Dari judul proposal itu, saya kaget bukan main. Ternyata mereka mengajukan permintaan buku untuk perpustakaan di daerah-daerah.
Buku!
Saya lalu mengubah mimik muka, lebih bersahabat dari sebelumnya. Orang yang berkaitan dengan buku harus disahabati dalam segala musim dan tempat. Kecuali yang berbakat mencoleng buku.
Saya tak menerruskan membaca proposal. Lebih baik ngobrol saja, apa dan bagaimana. Dari A sampai Z saya kuliti perihal maksudnya itu.
Rupanya mereka hendak memfasilitasi anak-anak di kampung untuk membaca. Tak hanya di satu tempat, tapi mulai Banyuwangi, Gresik, Semarang, Brebes, hingga Tulang Bawang (Lampung), dan Cileungsi. Permintaan dari tempat-tempat itu setelah mendapat kabar tentang perpustakaan Pojok Baca Nahdliyin melalui halaman Facebook. Di situ
Saat ini di Brebes saja telah ada empat tempat. Biasanya perpustakaan itu di rumah atau di mushala. Bahkan di Brebes, salah seorang Rais Syuriyah tingkat Ranting akan membangunkan saung untuk perpustakaan.
“Ini adalah upaya supaya warga NU membaca,” kata Arif Budiman Mahdi, inisiator perpustakaan itu.
Pria kelahiran Banyuwangi yang tinggal di Jembrana (Bali) ini berharap, jika anak-anak NU membaca, terutama amaliyah yang selama ini dilakukan warga NU, mereka akan mampu menjawab kaum yang membid’ahsesatkan.
Tiba-tiba saya ingat KH Ali Yafie, anregurutta sepuh kita yang alim. Dikenal faqih dalam bidang agama. Tahun ini tiba di usia 90 tahun dia. Lipat tiga dari usia saya.
Tidak penting sebetulnya soal usia berapa pun jumlahnya. Namun, menjadi penting ketika dikaitkan dengan membaca buku. Ya, kiai asal Sulawesi Selatan itu tiap hari masih membaca selama satu jam dua. Dia selalu mendapat bacaan baru dari anak-anaknya yang gemar membaca juga.
Mengingat dia pernah Ketua Umum MUI Pusat dan Rais ‘Aam PBNU, apakah bacaannya hanya kitab kuning dan Al-Qur’an? Itu jelas masih dibaca rutin.
Tidak, kawan. Dia membaca buku apa saja. Termasuk novel dan cerita silat Kho Ping Hoo. (Abdullah Alawi)