Mi Caluk, Kuliner Legendaris di Pidie Aceh yang Paling Diburu Warga saat Ramadhan
Jumat, 14 Maret 2025 | 14:00 WIB

Inilah mi caluk, kuliner khas Pidie Aceh yang sangat diburu warga untuk menu buka puasa Ramadhan. (Foto: dok. istimewa)
Helmi Abu Bakar
Kontributor
Pidie, NU Online
Saat Ramadhan tiba, Aceh berubah menjadi surganya kuliner tradisional. Salah satu hidangan yang paling diburu warga untuk menu berbuka adalah mi caluk.
Kuliner khas ini tidak hanya populer di Pidie, tetapi juga merambah ke berbagai wilayah lain di Aceh, bahkan hingga ke ibu kota provinsi, Banda Aceh.
Mi caluk yang sederhana tapi kaya rasa ini menjadi simbol kebersamaan yang mengakar kuat dalam tradisi masyarakat Aceh. Mi caluk sering disebut sebagai “spaghetti-nya orang Aceh”.
Kuliner khas Aceh ini terbuat dari mi lidi atau mi tepung yang direbus, lalu disiram dengan kuah kacang khas yang gurih dan sedikit pedas. Kemudian mi ini disajikan dengan pelengkap yakni kerupuk merah, timun segar, dan gorengan. Meski sederhana, tetapi mampu menggugah selera.
Setiap sore, sepanjang jalan di Pidie, khususnya di kawasan Grong-Grong dan sepanjang jalan nasional, jajaran gerobak mi caluk bermunculan sejak pukul 15.00 WIB. Warga berbondong-bondong antre untuk mendapatkan seporsi mi berkuah kacang yang gurih dan legit ini.
Harganya pun terjangkau, mulai dari Rp3.000 hingga Rp5.000 per bungkus, sehingga membuatnya makin digandrungi berbagai kalangan, termasuk kaum milenial.
Selama Ramadhan, produksi mi caluk melonjak signifikan. Para pedagang yang biasanya hanya mengolah 10-15 kg mi per hari, kini bisa menggandakan produksinya menjadi 30-40 kg demi memenuhi permintaan pasar.
Salah satu pedagang mi caluk di Grong-Grong mengaku kewalahan melayani pelanggan saat Ramadhan.
“Kalau hari biasa, paling buat 10 kg. Tapi pas puasa begini, saya bisa buat sampai 35 kg, dan tetap habis sebelum maghrib,” ujarnya sambil melayani pembeli yang mengantre panjang.
Baca Juga
Berwisata Kuliner di Pasar Ramadhan
Anggota DPR Aceh Tgk T Zulfadli, atau yang akrab disapa Waled Landeng, mengungkapkan bahwa mi caluk merupakan ikon kuliner yang melekat dengan masyarakat Pidie, terutama saat Ramadhan. Bahkan, ia mengaku sangat hobi mengonsumsi mi caluk, terutama saat masih nyantri di Dayah MUDI Masjid Raya Samalanga.
Waled yang pernah memimpin PCNU Aceh Utara itu menyatakan bahwa mi caluk bukan sekadar makanan, tetapi bagian dari identitas kuliner Aceh yang menghubungkan masyarakat dengan warisan leluhur mereka.
“Setiap Ramadhan, permintaan mi caluk naik drastis. Di Grong-Grong saja, penjual bisa menghabiskan puluhan kilogram mi dalam sehari. Ini bukan hanya soal rasa, tapi ada nilai historis dan kebersamaan yang melekat kuat,” jelas Waled Landeng kepada NU Online, Ahad (9/3/2025).
Tokoh muda alumni MUDI Samalanga itu berharap, pemerintah daerah lebih serius mengembangkan dan mempromosikan mi caluk sebagai warisan kuliner Aceh.
“Kita perlu inovasi dalam pengemasan, promosi, hingga perlindungan hak paten agar kuliner seperti mi caluk bisa lebih dikenal luas. Ini bisa menjadi potensi besar untuk mengangkat ekonomi rakyat,” tegasnya.
Meski lahir dan besar di Pasee (Aceh Utara), Waled Landeng menegaskan bahwa memajukan kuliner Aceh, termasuk mi caluk dari Pidie, adalah tanggung jawab bersama.
“Kita tidak boleh jenggoisme (mengagungkan daerah sendiri secara berlebihan). Meski mi caluk identik dengan Pidie, kini mi ini telah menyebar ke berbagai wilayah di Aceh, bahkan sampai Banda Aceh dan daerah lainnya,” ujar Waled Landeng.
Namun, ia khawatir modernisasi bisa menggerus keaslian resep mi caluk. Ia meminta para penjual mi caluk agar tak memodifikasi bahan, misalnya mengganti mi lidi dengan mi instan atau mengubah komposisi kuah kacang agar lebih praktis.
“Generasi muda harus menjaga keaslian resep mi caluk. Jangan sampai hanya karena ingin cepat saji, kita kehilangan cita rasa asli yang menjadi warisan turun-temurun (endatu), pertahankan warisan endatu dan orisinalitas mi caluk meskipun zaman berubah, pastikan tetap legendaris,” pesan Waled Landeng
Mi caluk ajarkan bersyukur
Ketua PW GP Ansor Aceh H Azwar A Gani (Baginda) mengungkapkan bahwa mi caluk adalah kuliner yang mengajarkan masyarakat untuk bersyukur.
“Mi caluk ini lahir dari keterbatasan. Dulu, masyarakat mengolah bahan seadanya, tapi justru dari situ lahir cita rasa yang khas. Ini pelajaran berharga bahwa kenikmatan hidup sering kali muncul dari hal-hal yang sederhana,” tuturnya
Baginda menjelaskan bahwa nama “caluk” berasal dari bahasa Aceh yang berarti dicolek atau diambil dengan tangan. Hal ini merujuk pada cara makan tradisional yang menciptakan keakraban antarpenikmatnya. Filosofi ini mengingatkan pentingnya silaturahmi dan kebersamaan, terutama pada bulan Ramadhan yang penuh berkah.
“Meluasnya mi caluk ke berbagai daerah adalah bukti kuatnya daya tarik kuliner tradisional ini. Dari Pidie, sekarang bisa dinikmati di hampir seluruh Aceh. Ini mempererat ikatan kultural masyarakat,” ungkap Baginda.
Mi caluk merupakan bukti nyata bahwa kuliner tidak hanya soal rasa, tetapi juga sejarah, tradisi, dan kebersamaan. Di tengah kemeriahan Ramadhan, sepiring mi caluk menjadi pengingat akan nilai-nilai sederhana yang sering terlupakan: syukur, kebersamaan, dan cinta pada budaya sendiri.
“Dengan harga yang merakyat, rasa yang menggugah selera, dan filosofi yang menghangatkan hati, tidak heran jika mi caluk terus menjadi buruan utama warga Aceh saat Ramadan. Bagi masyarakat Aceh, Ramadhan tanpa mi caluk terasa belum benar-benar sempurna. Indahnya Ramadhan dalam nuansa kesederhanaan,” pungkasnya.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Ini Amal dengan Pahala Terbaik bagi Orang Puasa Ramadhan
2
Khutbah Jumat: Nuzulul Qur’an dan Perintah Membaca
3
Presiden Prabowo Tanda Tangani PP Nomor 11 2025 tentang Pencairan THR dan Gaji Ke-13 ASN
4
Khutbah Jumat: Nuzulul Qur’an dan Anjuran Memperbanyak Tadarus
5
Khutbah Jumat: Ramadhan, Bulan Turunnya Kitab Suci
6
Khutbah Jumat: Melihat Tabiat Buruk Manusia dalam Al-Quran
Terkini
Lihat Semua