Surabaya, NU Online
Tidak banyak orang yang memiliki kebulatan tekad untuk berderma. Apalagi menyerahkan tanah yang harganya terus berkembang dari waktu ke waktu. Godaan untuk menjual aset kian terasa saat kebutuhan keluarga semakin mendesak.
Namun hal tersebut dapat dilalui dengan ujung yang indah oleh pasangan H Suratmo dan Sri Pratesti. Keduanya menyerahkan tanah yang telah lama dimiliki kepada Yayasaan Rumah Sakit Islam Surabaya atau Yarsis.
H Suratmo (68) didampingi istrinya, Sri Pratesti (58), resmi menyerahkan tanah wakaf seluas 3.769 meter persegi kepada Yayasan Rumah Sakit Islam Surabaya (Yarsis).
Sertifikat tanah wakaf diterima langsung Ketua Yarsis yang juga Ketua Badan Wakaf Indonesia Muhammad Nuh, di Auditorium lantai 9, Tower Kampus B, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya (Unusa), Jemursari, Surabaya, Sabtu (28/9) siang.
Raut syukur dan lega tampak jelas di wajah pria kurus yang kini duduk di kursi roda itu. Pensiunan ASN (Aparatur Sipil Negara) di Dinas Pertanian Bojonegoro ini sangat berharap, tanah wakaf di Desa Brangkal, Kecamatan Kepokbaru, Kabupaten Bojonegoro, bisa dikelola dan bermanfaat bagi umat.
"Alhamdulillah, niat bapak mewakafkan tanah miliknya bisa terlaksana. Perlu 40 tahun bagi kami untuk mewujudkan hal itu. Kami berterimakasih kepada Yarsis dan Unusa yang mau membantu melaksanakannya," kata Sri Pratesti dengan mata berkaca-kaca menahan haru.
Guru Bahasa Indonesia SMPN 5 Bojonegoro itu kemudian berkisah bagaimana keteguhan dan ketulusan sang suami untuk menjaga niatnya berwakaf.
Suratmo membeli tanah tersebut pada tahun 1980 seharga Rp950.000. Saat itu, harga tersebut sudah sangat besar bagi gaji ASN. Namun, pria kelahiran Klaten 21 April 1951 itu, sudah berniat mewakafkan tanah yang dibeli dari hasil tabungannya selama lima tahun bekerja.
Dua tahun kemudian, yakni pada 1982, Suratmo menikah dengan tetanggnya, Sri Patesti. Dari pernikahan itu, mereka dikaruniai empat putra. Keinginan terus menyekolahkan keempat putra ke jenjang perguruan tinggi, tentu bukan perkara gampang sementara gaji Suratmo pas-pasan.
"Kami sebagai orang tua hanya bisa membekali anak-anak dengan ilmu. Karenanya kami selalu berusaha agar mereka tak putus di tengah jalan," kata Sri.
Sri mengaku, tak jarang tingginya tuntutan biaya sekolah anak-anak hampir menghilangkan niat berwakaf. Godaan begitu besar untuk menjual tanah. Terutama saat mereka selesai membenahi rumah tinggal yang menguras tabungan.
"Saya masih ingat, sekitar tahun 1992, waktu itu anak-anak masih kecil dan semua perlu biaya sekolah," kenangnya.
"Untunglah bapak selalu sabar dan mengingatkan kembali akan niat berwakaf. Dan alhamdulillah, kami masih diberi jalan," ungkapnya.
Sri mengatakan, selama ini tanah tersebut digarap oleh tetangga mereka yang biasa dipanggil Pak Di. Tanah tersebut ditanami padi atau tembakau secara bergantian. Namun, Suratmo tidak pernah meminta bagi hasil kepada Pak Di karena sudah diikhlaskan untuk digarap.
"Pak Di orangnya amanah. Meski bapak (Suratmo-red) tidak pernah meminta, namun Pak Di selalu membagi hasil jual panen kepada kami. Pak Di mengaku sudah sangat berterimakasih diberi kepercayaan untuk menggarap tanah bapak," papar Sri tentang Pak Di yang sudah meninggal dua tahun lalu.
Sekarang, keempat anak mereka yakni Teddy Prasetya Kurniawan, Reza Budi Firmansyah, Taufik Ardiansyah dan Muhamad Arief Rahmansyah sudah mapan. Mereka masing-masing bekerja di PLN Singosari, Universitas Brawijaya, Pertamina Cilacap, dan BPPOM Jakarta.
Melihat anak-anaknya sudah mapan, Suratmo kembali meneguhkan niatnya untuk berwakaf tanah yang kini nilainya mencapai sekitar Rp1,2 miliar. Jalan semakin terbuka, tatkala Suratmo yang aktif pengajian di Islamic Center Bojonegoro bertemu Ustadz Aslan.
"Ustadz Aslan inilah yang membantu kami mempermudah proses wakaf dan mempertemukan dengan Unusa dan Yarsis. Anak-anak juga mendukung keinginan bapak untuk segera mewujudkan niatnya berwakaf. Bapak berharap tanah wakaf itu bermanfaat bagi umat, seperti masjid, rumah sakit, atau fasiltas pendidikan," pungkasnya.
Pewarta: Ibnu Nawawi
Editor: Kendi Setiawan