Daerah

Potret Kerukunan Warga Kolong Bojonegoro, Pemuda Katolik Ikut Bangun Masjid

Selasa, 5 November 2024 | 19:00 WIB

Potret Kerukunan Warga Kolong Bojonegoro, Pemuda Katolik Ikut Bangun Masjid

Salah satu kegiatan warga Desa Kolong lintas agama merayakan sedekah bumi. (Foto: dok. istimewa/Husnul Khotimah)

Indonesia sangat terkenal akan keragamannya, mulai dari suku, ras, bahasa, budaya, hingga agama. Sehingga, masyarakat Indonesia pun harus terbiasa berinteraksi sosial dengan penuh toleran. Meski mereka memiliki latar belakang yang berbeda.


Praktik baik toleransi tersebut salah satunya dapat dijumpai di Desa Kolong, Kecamatan Ngasem, Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur. Desa tersebut bisa ditempuh selama kurang lebih 40 menit dengan menaiki sepeda motor dari pusat kota Bojonegoro.


Masyarakat di desa yang terkenal multireligi-nya tersebut hidup berdampingan sejak puluhan tahun yang lalu. Di sana terdapat masyarakat Islam, Kristen Katolik, dan Kristen Protestan serta berbagai organisasi masyarakat (ormas) yang berbeda-beda. 


"Terkait moderasi dan kerukunan umat beragama ini sudah terjalin sejak lama, sejak saya masih kecil sekitar 1985 sudah begini," ujar Hariyono, Ketua Ranting NU Kolong, saat ditemui NU Online pada Ahad (3/11/2024).


Hariyono menuturkan, bahwa tidak pernah sekalipun ada gesekan antar umat beragama maupun antar ormas di desa Kolong, baik sebab perbedaan pendapat maupun berselisih paham. Semua elemen masyarakat hidup dengan kerukunan. 


Kerukunan ini ternyata telah diwariskan secara turun temurun sejak lama, sehingga warga Kolong nyaris tak mengenal perbedaan di antara diri mereka.


"Anak-anak kecil dengan latar agama berbeda biasa bermain bersama, mereka bahkan tak ada yang mengerti adanya perbedaan. Ini karena dari awal memang dilatih dan dididik jangan sampai merasa ada perbedaan, dari orang tua kita hingga turun temurun saat ini. Tidak ada perbedaan-perbedaan agama atau apapun," kata Ri, sapaan Hariyono.


Dalam berinteraksi, masyarakat desa Kolong sama sekali tidak memandang keyakinan. Mereka benar-benar melebur menjadi satu. Hal tersebut kerap dibuktikan dengan adanya kegiatan-kegiatan desa yang diikuti oleh semua elemen masyarakat dengan berbagai latar belakang. Seperti jalan sehat, malam Agustusan, malam doa bersama, sedekah bumi dan sebagainya. 


"Lantai dua di masjid di samping ini, sepuluh pemuda Katolik ikut membantu ngecor sampai selesai," ujar Hariyono.


Suasana guyub dan gotong royong di antara warga kolong sangat terasa. Hariyono juga menceritakan keterlibatan umat Katolik dan Protestan saat ada gebyar shalawat. Mereka bahkan menyumbang jajanan, memakai atribut muslim dan ikut menghadiri majelis shalawat.


"Saudara-saudara non-muslim itu kalau ada kegiatan besar dan tidak dilibatkan mereka justru akan protes ke sini, kenapa kok gak diajak," cerita Hariyono.

 
Momen doa bersama yang melibatkan seluruh warga Kolong dengan berbagai umat beragama. (Foto: dok. istimewa/Husnul Khotimah)
 

Hal senada turut diungkapkan oleh Harto, Kepala Desa Kolong, bahwa ketika umat muslim mempunyai agenda besar seperti hari raya Idulfitri, warga yang non-muslim pun turut antusias merayakannya, seperti membuat opor, menyediakan jajan di meja bahkan ikut berbagi angpau Idulfitri. 


"Umat Katolik itu selalu semangat, mereka bahkan ikut bagi-bagi angpau untuk anak-anak saat Idulfitri," ujar Harto, Kepala Desa Kolong, saat ditemui NU Online pada Ahad (3/11/2024).


Begitu pula saat umat Kristiani merayakan hari Paskah dan Natal, Harto menceritakan bahwa umat muslim pun turut terlibat menjadi panitia dalam acara mereka. Saat ada yang meninggal, tanpa memandang latar belakang agama, semua ikut membantu prosesi pemakaman dan berbela sungkawa. Begitu pula saat musim hajatan, seluruh warga saling membantu.


Selain interaksi sosial, potret kerukunan di sana juga dapat dilihat dari komplek pemakaman. Pemakaman di desa Kolong yang bercampur menjadi satu dan hanya dibedakan batu nisannya saja itu telah menjadi bukti kerekatan antar warga.


Meski seiring berjalannya waktu, atas usul tokoh agama, pemerintah memberi kebijakan agar makam antar-agama diberi sekat atau batas. Namun meski sudah dibedakan dan diberi sekat, letak makam umat muslim dan umat kristiani masih tetap dekat dan berdampingan. 


Bukti toleransi lainnya juga dapat ditilik dari letak gereja dan masjid yang berdekatan. Di samping Gereja Stasi Santa Maria, hanya berjak 70 meter, terdapat Masjid Al-Ihsan yang notabene menjadi tempat ibadah umat Islam Desa Kolong.

 

Tetapi, hal tersebut tidak pernah menimbulkan kegaduhan dan perpecahan antar umat beragama di Desa Kolong, justru masyarakat yang beragama Islam dan beragama Katolik saling bahu-membahu untuk membantu kebutuhan agama bersama-sama.


Awal Mula Toleransi

Dalam Jurnal berjudul The Little Vatican: Optimalisisasi DWIPA (Desa Wisata Pancasila) sebagai Upaya Meningkatkan Harmonisasi Sosial dan Toleransi, praktik toleransi beragama yang dilakukan oleh masyarakat desa Kolong bermula ketika di desa tersebut didirikan Gereja Stasi Santa Maria.

 

Gereja tersebut merupakan stasi tertua di Paroki Bojonegoro. Perintisnya adalah Fransiskus Xaverius (FX) Sukimin atau yang lebih dikenal dengan 'Mbah Danun'. Pada tahun 1941, FX Sukimin mulai mengajar agama dan mendirikan sebuah kapel kecil di kampung halamannya yang diberi nama "Brono Kaswargaan". 


Pada tahun 1951, Paroki Santo Wilibrordus Cepu menetapkannya sebagai stasi, dan menugaskan Hartono sebagai katekis di sana. Umat yang mengikuti pelajaran pada waktu itu belum begitu banyak, kira-kira hanya sembilan orang. Pada akhirnya, perkembangan umat di Stasi Santa Maria Kolong mendapat perhatian dari Romo Ernesto, sehingga pada tahun 1987 di atas tanah pemberian Mbah Danun didirikan sebuah gereja baru dengan pelindung Santa Maria.


Sejak saat itulah praktik toleransi selalu digaungkan oleh warga desa Kolong. Tidak ada yang dilakukan oleh sesama warga masyarakat Desa Kolong terkait pembatasan atau pengucilan. Terdapat kebebasan dasar dalam kehidupan baik individual maupun kolektif dalam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi, budaya dan aspek kehidupan lainnya. Untuk itulah, pada tahun 2022 desa Kolong ditetapkan sebagai Kampung Kerukunan.


Dari jumlah 3.377 penduduk Desa Kolong, kini hanya tersisa sekitar 100 lebih non-muslim. Karena yang tua telah meninggal dunia dan yang muda keluar daerah hingga menjadi mualaf. Namun, ini sama sekali tidak mengubah kerukunan dan sikap toleran warga Kolong.


*) Liputan ini terbit atas kerja sama NU Online dengan LTN PBNU dan Direktorat Pendidikan Tinggi Agama Islam (PTKI) Kementerian Agama RI