Daerah

Sekolah Butuh Kepedulian

Sabtu, 22 Oktober 2005 | 04:16 WIB

Garut, NU Online
Ada sekitar 180 anak usia 15 tahun ke bawah yang tidak bisa baca tulis dan hitung (calistung) di kampung Dano, desa Dano kecamatan Leles, Garut, Jawa Barat. Angka ini hanya untuk lingkup satu dusun dengan 150 kepala keluarga. Belum lagi tingkat desa, atau lebih luas lagi kecamatan, kabupaten, atau propinsi, bukti yang menegaskan angka buta huruf di Indonesia masih sangat tinggi.

Sebenarnya tidak bisa dikatakan bahwa anak-anak di kampung ini buta huruf. Sebab, mereka bisa baca tulis Arab, lancar membaca al-Qur’an, dan punya bekal ilmu agama yang cukup untuk usia anak. Seperti di perkampungan santri di daerah lain, sudah pasti pendidikan keagamaan punya akar yang kuat di masyarakatnya. Tapi anak-anak itu tidak punya kemampuan baca-tulis latin dan berhitung.

<>

Bukan berarti pula di kampung tersebut tidak ada sekolah reguler. Ada dua SD di sana, tapi hanya satu yang masih bisa bertahan, itu pun bangunannya sudah tidak layak, dinding-dindingnya sudah hancur, dan atap-atapnya tidak utuh. Praktis, tinggal 16 anak yang masih tersisa di sekolah ini hingga sekarang. Hanya ada dua guru bantu yang menanganinya, satu sebagai pengajar tetap dan satunya lagi kepala sekolah yang hanya satu dua kali hadir dalam satu bulannya. 

Fenomena ini merupakan salah satu cermin tidak adanya kemauan pemerintah untuk menangani masalah pendidikan secara serius. Sebagai penyelenggara pendidikan, soal pengelolaan sekolah tidak pernah diperhatikan pemerintah. Banyak sekolah didirikan di masa lalu, tapi banyak juga yang dibiarkan runtuh, prasarana penunjangnya tidak pernah diurus.

Akibatnya, anak didik tidak betah di kelas, dan akhirnya putus sekolah. Pendidikan menjadi dunia yang suram bagi anak kecil, dan tidak memberikan kebanggaan dan harapan bagi orang tua untuk menyekolahkan anaknya. “Banyak anak tidak mau sekolah di sini karena sekolah tidak membuat mereka betah,” tutur Saefullah, sesepuh dusun Dano.

Kondisi itu berlangsung bertahun-tahun hingga memupuskan harapan penduduk. Tak heran jika sekarang kesadaran masyarakat untuk menyekolahkan anaknya sangat rendah. Mereka sudah terlajur mempercayakan dunia di luar sekolah bagi anaknya yang masih kecil itu untuk membantu kerja di rumah, atau ikut saudaranya yang lebih dewasa kerja ke kota, jadi buruh upahan.

Banyak, bahkan bisa dikatakan semua anak muda di dusun Dano bekerja di Jakarta sebagai buruh konveksi. Sebagian di daerah Kampung Melayu, sebagian lain di daerah Tangerang. Biasanya mereka sesekali pulang kampung tiap kali ada peringatan hari besar agama, atau perayaan di desa, untuk bertemu satu sama lain.

Mereka memanfaatkan upah kerja di kotanya untuk modal mengelola pertanian. Jika diukur dari adanya penghasilan penduduk dengan menyalurkan tenaga mereka di kota, ditunjang dengan adanya penghasilan dari hasil mengelola pertanian, masyarakat Dano relatif sejahtera. Karena itu, tingginya angka putus sekolah di dusun ini bukan karena faktor tidak terjangkaunya biaya pendidikan oleh masyarakat.

Berlangsungnya proses pendidikan, apalagi di sekolah formal, memang sangat tergantung pada kepedulian dari semua pihak. Pemerintah harus memiliki kemauan untuk menyediakan prasarana seperti gedung dan menanggung biaya operasional belajar mengajar hingga memberikan gaji yang layak kepada guru.

Selain itu, masyarakat juga harus menciptakan lingkungan yang kondusif dan menggairahkan guna menunang belajar anak-anaknya. Bagaimanapun, mendidik anak merupakan tanggung jawab keluarga, terutama orang tua. Sementara, bagi pemuda di kampung, bisa menciptakan beragam aktivitas yang memilik makna pendikan dan membangkitkan etos kerja.

Seperti dikatakan Faisal, ketua pemuda kampung Dano, pemuda di kampung ini sebenarnya tidak perlu pergi ke kota. Pasalnya, banyak lapangan kerja yang bisa diciptakan di kampung. Usaha konveksi pun bisa dilakukan di desa. “Mungkin mereka tinggal membekali diri dengan keterampilan yang bisa dipelajari antar mereka,” ungkapnya.

Bahkan, dengan sumber daya pemuda yang ada saat ini bisa diorientasikan untuk menghidupkan lagi sekolah yang sudah mati. Pemuda Dano sekarang, tambah Faisal, merasakan efek dari gagalnya pendidikan di dusunnya. Selain tidak punya kemampuan baca-tulis, dalam pergaulan dengan lingkungan luar mereka tidak percaya diri. Karena gagal sekolah, mereka juga tidak punya kemampuan berkomunikasi secara baik.

Mungkin pengalaman ini tidak perlu terjadi jika sejak dini mereka belajar bahasa dan komunikasi selama usia sekolah dasarnya. “Karena tidak punya kemampuan berhitung dengan baik, mereka juga susah berkembang secara ekonomi, seperti dalam berdagang atau usaha yang lain,” tambahnya. 

Sekarang, pemuda desa ini sadar akan pentingnya mengembalikan gairah penduduk untuk menyekolahkan anaknya. Mereka kini sedang bahu-membahu untuk