Pengasuh Pondok Pesantren Al Ihya Kaduronyok, Cisata, Pandeglang, Banten, KH Fuad Halimi Salim telah meninggal dunia pada usia 70 tahun, Ahad (11/2) pagi.
(Baca: Abuya Fuad Halimi Salim Meninggal Dunia)
Eko Supriatno menuliskan catatannya di Kabar Banten, Abuya KH Fuad Halimi Salim dikenal sebagai kiai khos atau kiai utama. Eko menyebut Aki Gunung, panggilan untuk Abuya KH Fuad Halimi Salim, dianggap mempunyai wawasan dan kemampuan ilmu agama yang luas, memiliki laku atau daya spiritual yang tinggi, mampu mengeluarkan kalimat hikmah atau anjuran moral yang dipatuhi, dan jauh dari keinginan-keinginan duniawi. Aki Gunung kerap jadi rujukan utama di kalangan Nahdliyin, terutama menyangkut kepentingan publik.
Masih tercetak dalam ingatan, ketika saya, beberapa tahun silam bersilaturahim ke Pondok Pesantren Al-Ihya Kaduronyok, Cisata, Pandeglang, Banten. Jika selama ini kaum santri lebih dikenal dengan kepandaiannya mengaji dan ilmu agama, berbeda halnya dengan santri dari Pesantren Al-Ihya yang pandai bermain angklung dalam sebuah orkes yang bernama Angklung Ronyoka Symphonie.
Dalam orkes tersebut, para santriawan dan santriwati tak hanya pandai bermain angklung, namun juga pandai bermain alat musik lainnya seperti gitar, drum, hingga piano. Santriawan dan santriwati yang termasuk ke dalam Pesantren salafi tersebut terlihat sangat bangga bisa memberikan warna tersendiri dalam musik nasional. Inilah uniknya pesantren, tak hanya mengajarkan ilmu agama seperti nahwu, shorof atau pelajaran fikih atau mencetak qori dan qoriah, namun di Pesantren Al Ihya Kaduronyok pimpinan KH Fuad Halimi Salim juga diajarkan bagaimana santri belajar musik dan bernyanyi.
Penulis setuju, ada sebuah pembelajaran kesenian di pesantren. Ini sebenarnya untuk mengubah paradigma kalau pesantren bukan hanya mengajar ngaji dan belajar fikih. Namun, manusia juga butuh hiburan karena otak harus juga diisi dengan persoalan yang ringan dan menghibur. Karenanya di Pesantren Al-Ihya Kaduronyok ini semua santri bisa ikut belajar memainkan alat musik dan belajar bernyanyi. Mereka pun bisa ikut pentas bila ada yang mengundang, sekaligus memupuk mental para santri untuk tampil di depan publik.
Al-Ihya Kaduronyok
Pondok Pesantren Lingkungan Hidup Al Ihya yang berada di Kampung Kaduronyok, Desa Kaduronyok, Kecamatan Cisata, Kabupaten Pandeglang, Banten berada di atas Gunung Pulosari. Daerah ini memang dikenal memiliki hawa yang sejuk dan pemandangan hijau nan asri khas pegunungan.
Pesantren Al Ihya Kaduronyok merupakan satu satunya pesantren yang berbasis Lingkungan Hidup. Konsep ini dikembangkan mulai pada tahun 1993. Sistem pendidikan yang dikembangkan di Yayasan Lingkungan Hidup Al Ihya menggunakan sistem pendidikan salaf-modern. Yaitu, sistem pendidikan yang dikembangkan dengan memadukan sistem pendidikan salaf dengan sistem pendidikan modern (formal).
Sistem pendidikan salaf yang masih kental diterapkan di pondok pesantren, dan sistem pendidikan modern yang dikembangkan di sekolah formal dengan mengacu pada kurikulum dari Departemen Agama Republik Indonesia dari tingkat Taman-kanak-kanak (TK) sampai Madrasah Aliyah (MA). Sementara sistem pendidikan modern yang dikembangkan di sekolah formal PAUD dan SMK (Sekolah Menengah Kejuruan) dengan mengacu pada kurikulum dari Departemen Pendidikan Nasional.
Dengan perpaduan sistem pendidikan salaf-khalaf (modern) yang dikembangkan oleh Yayasan Lingkungan Hidup Al-Ihya para santri dan siswa siswi diharapkan mampu menjadi generasi Islam yang berkepribadian luhur (berakhlak mulia), cerdas, kreatif, terampil dan berwawasan luas serta mampu mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta siap menghadapi kemajuan global dunia usaha.
Aki Gunung
Mungkin ini terlalu sederhana untuk menggambarkan sosok KH Fuad Halimi Salim atau penulis menyebutnya Aki Gunung yang hangat dan ramah ini. Tapi, kesan pribadi saya saat berbincang dan dekat dengan beliau, bisa saya gambarkan. KH Fuad Halimi Salim Kaduronyok, yang lebih akrab biasa santri memanggilnya Aki Gunung, merupakan putra asli Kaduronyok Pandeglang Banten.
Beliau adalah pribadi yang jernih. Misal, saat ditanya mengenai suatu masalah, Aki Gunung akan memberikan solusi yang jernih dan praktis (sesuai syar’i tentunya). Langsung saja tercap di benak saya, Aki Gunung ini adalah salah satu ulama jernih, cerdas, juga progresif dari kalangan NU tanpa kehilangan jatidirinya sebagai warga Nahdliyin.
Penampilannya sederhana dan apa adanya. Beliau tidak pernah neko-neko. Karena begitu sederhananya, kadang orang tidak mengira bahwa beliau adalah seorang kiai. Di balik kesederhanaan beliau tersimpan lautan ilmu yang begitu luas. Kiprah beliau di masyarakat sudah tidak diragukan lagi. Gaya bicara beliau yang tegas dan lugas menjadi salah satu ciri khas beliau.
Di mata para santrinya, Aki Gunung adalah sosok yang istikomah dan alim. Ia tak hanya pandai mengajar, melainkan menjadi teladan seluruh santri. Dalam shalat lima waktu misalnya, ia selalu memimpin berjamaah. Demikian pula dalam hal kebersihan yang membuat para santrinya betah dan bangga. Makanya, penulis selalu bersasumsi ada 2 hal yang membuat para santri betah dan bangga, yaitu ikhlas dan ngalap berkah. Mendapatkan kebaikan karena berdekatan dan menimba ilmu dari para ulama dan orang-orang sholeh.
Di kalangan Nahdlatul Ulama (NU), Aki Gunung dikenal sebagai kiai khos atau kiai utama. Aki Gunung dianggap mempunyai wawasan dan kemampuan ilmu agama yang luas, memiliki laku atau daya spiritual yang tinggi, mampu mengeluarkan kalimat hikmah atau anjuran moral yang dipatuhi, dan jauh dari keinginan-keinginan duniawi. Aki Gunung kerap jadi rujukan utama di kalangan Nahdliyin, terutama menyangkut kepentingan publik.
Tasawuf yang dipahami Aki Gunung, bukanlah kebanyakan tasawuf yang cenderung mengabaikan syariah karena mengutamakan dzauq (rasa) yang artinya bahwa sufi dan pengamal tarekat tidak boleh meninggalkan ilmu syari’ah atau ilmu fikih. Bahkan, menurut tasawuf yang dipahami Aki Gunung, ilmu syariah adalah jalan menuju marifat.
Kendati demikian, Aki Gunung bukanlah sosok sufi yang lari ke hutan-hutan dan gunung-gunung, seperti legenda sufi yang sering mampir ke telinga kita. Yang hidup untuk dirinya sendiri, dan menuding masyarakat sebagai musuh yang menghalangi dirinya dari Allah SWT. Ia akrab dengan berbagai community college, medan kehidupan, mulai dari pertanian sampai kesejahteraan sosial.
Menurut penulis, Aki Gunung adalah sosok ulama yang yatafaqqahu-nya kenceng dan yundziru qaumahum-nya juga kenceng. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan ulama nusantara tulen ini dalam mengintegrasikan semangat Islam dan kebangsaan. Aki gunung telah berhasil merumuskan tiga ukhuwah, yaitu ukhuwah Islamiyah (persaudaraan sesama muslim), ukhuwah wathaniyah (persaudaraan kebangsaan), dan ukhuwah insaniyah (persaudaraan kemanusiaan).
Aki Gunung juga ditunjang oleh pemahaman dalam menggunakan fiqhud dakwah (fiqih berdakwah), yang dibedakan dengan fiqul ahkam (fiqih hukum) dan fiqhul hikmah (fiqih kebijaksanaan). Jadi penulis tersadar bahwa pemahaman dalam menggunakan agama tidak cukup hanya dengan jenggot, tidak cukup dengan jidat hitam, tidak cukup dengan celana setengah kaki. Di samping melestarikan dan menyebarkan ajaran agama Islam melalui metode thariqah. Aki Gunung juga sangat konsisten terhadap perkembangan dan kebutuhan masyarakat.
Berdirinya Pesantren Al Ihya Kaduronyok membawa hikmah, di antaranya menjadi jembatan emas untuk menarik masyarakat luas, para pakar ilmu kesehatan, pendidikan, sosiologi, dan psikologi, bahkan pakar ilmu agama mulai yakin bahwa agama Islam dengan berbagai disiplin ilmunya termasuk tasawuf dan tarekat mampu merehabilitasi kerusakan mental dan membentuk daya tangkal yang kuat melalui pemantapan keimanan dan ketakwaan dengan pengamalan thariqah. Para santrinya bercerita tentang harapan beliau selanjutnya, bahwa ilmu yang sudah didapat, tidak hanya disebarkan melalui ceramah oral, tapi hendaknya juga dituliskan untuk jangkauan dan manfaat yang lebih luas.
Ini artinya, beliau menyerukan tentang gerakan literasi pesantren. Beliau juga mengingatkan para kiai dan santri untuk memanfaatkan teknologi sosial media dan kebebasan pers sebagai momentum untuk mendakwahkan Islam ramah dan tradisi keberagamaan rahmatan lil alamin yang diajarkan di pesantren. Padahal sejatinya, literasi di dunia pesantren sudah terbangun dalam tradisi kajian yang diajarkan sejak berabad lampau. Para ulama Indonesia seperti Syekh Nawawi, Syekh Ahmad Khatib Sambas, hingga ulama kekinian, banyak memiliki karya yang menjadi bahan kajian di Pesanten.
Pesantren saat ini seyogianya harus mengkader santri-santrinya untuk melek media dan memanfaatkannya sebagai wahana berdakwah. Di samping mengajarkan kajian-kajian fiqih, tauhid, tasawuf dan kajian khas pesantren. Pukul 06.10 WIB, Ahad (11/02/2018), Aki Gunung telah dipanggil ke hadhirat-Nya dengan jiwa yang tenang, setelah beberapa lama dalam perawatan. Beliau diberikan usia yang panjang dan berkah.
Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Selamat jalan Aki Gunung, Guru abadi kami.
Dzikir dan pikir, tonggak pesantren Indonesia
Penelusuran NU Online lainya berhasil menemukan salah satu berita yang dimuat Tebuireng Online yang memberitakan KH Fuad Halimi Salim turut menghadiri dan memberikan sambutan pada peletakan batu pertama Pesantren Tebuireng 8 Cabang Banten pada Selasa, 18 April 2017.
Dituliskan, sesepuh alumni Pesantren Tebuireng wilayah Banten, KH Fuad Halimi Salim mengapresiasi berdirinya cabang ke-8 di Kampung Pabuaran, Desa Sanding, Kecamatan Petir, Kabupaten Serang, Banten. Menurut Kiai Fuad, berdirinya pesantren ini diharapkan menjadi lokomotif penggerak semangat keindonesiaan di kalangan santri.
“Dengan masinis yang bijak, pesantren ini diharapkan dapat menarik masyarakat ke stasiun ridha Allah dengan trayek keindonesiaan. Sehingga melahirkan santri-santri yang cinta Indonesia dan sanggup mengantarkan Indonesia kepada cita-citanya, dengan cara yang Indonesiawi,” ujar Kiai Fuad Halimi.
Cara Indonesiawi yang dimaksud adalah mengantarkan Indonesia tidak dengan cara Amerika, Timur Tengah, Eropa atau China.
“Kalaupun terselip cara dari luar, menurut saya tidak apa-apa, sejauh tidak merusak pakem keindonesiaan,” tegasnya.
Ditambahkannya, tonggak keberlangsungan pesantren di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, adalah keseimbangan antara fikir dan dzikir. Nilai itulah yang diajarkan oleh Hadlratus Syaikh KH M. Hasyim Asy’ari.
KH Hasyim Ayari disebut Abuya Fuad tidak pernah hanya mengandalkan dinding fikir, tapi juga dilengkapi dengan taqarrub dan dzikir.
Disebutkan pula, Pesantren Tebuireng sejak masa Kiai Hasyim Asy’ari telah melahirkan tokoh-tokoh lokal maupun regional, nasional, bahkan internasional. Juga mencetak ilmuwan dan cendekiawan yang tidak hanya mumpuni dalam bidang keagamaan dan kemasyarakatan saja. (Red: Kendi Setiawan)