Daerah BANJIR SUMATRA

Tsunami Lumpur Pante Lhong: Dua Hari Bertahan di Atap dan Harapan yang Hidup dari Bantuan Perdana

NU Online  ·  Selasa, 16 Desember 2025 | 11:30 WIB

Tsunami Lumpur Pante Lhong: Dua Hari Bertahan di Atap dan Harapan yang Hidup dari Bantuan Perdana

Iskandar, warga setempat yang akrab disapa Pak Is beserta keluarganya saat menerima bantuan perdana. (Foto: NU Online/Helmi Abu Bakar)

Bireuen, NU Online

Pante Lhong, Kecamatan Peusangan, Kabupaten Bireuen, Aceh selama ini hidup dalam keyakinan yang tenang. Kampung yang bersentuhan langsung dengan Krueng Peusangan itu nyaris tak pernah mencatat banjir besar. Orang-orang tua, endatu, selalu meyakinkan generasi setelahnya, “Air di sini tidak pernah jahat.” Jika hujan turun berhari-hari, genangan paling tinggi hanya sebatas mata kaki, lalu menghilang tanpa cerita.


Keyakinan itu runtuh pada akhir November 2025. Hujan turun hampir tanpa jeda selama sepekan. Langit Aceh seolah runtuh. Hingga Selasa malam, 26 November 2025, air mulai merangsek masuk ke permukiman, perlahan, nyaris tanpa suara, namun membawa ancaman yang tak terbaca.


Iskandar, warga setempat yang akrab disapa Pak Is, masih mengingat jelas malam itu. Awalnya ia tak panik. Air hanya menggenang halaman rumah.


“Awalnya biasa saja. Tapi naluri bilang, ini tidak biasa,” ujar Pak Is kepada NU Online, Sabtu (13/12/2025).


Ia dan keluarga segera menaikkan dokumen penting, ijazah, serta barang berharga ke tempat lebih tinggi. Tetangga-tetangga melakukan hal serupa. Namun hujan tak berhenti, justru semakin deras.


Menjelang tengah malam, air berubah liar. Debitnya naik cepat. Teriakan warga terdengar dari rumah ke rumah. Tangga mulai terendam. Air masuk ke ruang tamu, lalu kamar-kamar. Pante Lhong yang biasanya sunyi berubah menjadi kampung dengan suara panik dan doa yang bersahut-sahutan.


Rumah Pak Is, yang relatif lebih tinggi, mendadak menjadi tempat perlindungan. Anak-anak, orang tua, dan tetangga berdatangan. “Semua masuk. Tak ada lagi hitung rumah siapa,” kenangnya.


Tak lama kemudian, air dari Krueng Peusangan menerobos dengan kekuatan tak terbendung. Arus deras membawa lumpur pekat, kayu gelondongan, dan puing bangunan. Ketinggian air mencapai dua meter. “Atap!” teriak seseorang dengan suara gemetar.


Tak ada pilihan lain. Anak-anak digendong, orang tua dituntun. Dalam hujan dan gelap, satu per satu warga naik ke atap rumah. Atap tanpa loteng itu berubah menjadi bahtera darurat.


Pak Is sempat terpeleset. Kakinya tergores saat membantu warga naik. Namun rasa sakit tak lagi berarti. Yang penting, semua selamat.


Selama hampir dua kali dua puluh empat jam, lebih dari dua puluh orang bertahan di atas kerangka atap baja. Kedinginan menggigit tulang. Logistik nyaris tak ada. Tak seorang pun benar-benar tidur. “Siapa yang bisa tidur,” ujar Pak Is lirih, “ketika lumpur dan kayu terus menghantam rumah.”


Ingatan tentang tsunami 2004 kembali menyeruak. “Dulu air laut. Sekarang lumpur. Tapi rasa takutnya sama,” katanya.


Ketika air mulai surut, warga perlahan turun dari atap. Dengan tubuh gemetar, mereka menerobos lumpur menuju meunasah, lalu berpencar ke berbagai titik pengungsian, hingga ke Keude Matang Glumpang Dua. Pante Lhong porak-poranda. Rumah-rumah tertimbun lumpur hampir dua meter. Jalan lenyap. Keyakinan tentang “kampung aman” runtuh total.


Dayah Sunyi, Tempat Bertahan

Dalam kondisi itu, Pak Is mengambil keputusan cepat. Bersama keluarga dan sekitar 20–30 warga, ia mengajak mereka mengungsi ke tempat yang lebih tinggi: Dayah Al Huda, Desa Dayah, Kecamatan Peusangan.


Dayah yang biasanya sunyi itu mendadak menjadi tempat bertahan hidup. Bangunan kayu bertingkat dengan dinding papan dan rongga udara menjadi pelindung dari dingin dan lapar.


Di antara para pengungsi ada seorang perempuan setengah baya yang akrab disapa Wak. Rambutnya mulai memutih. Wajahnya menyimpan kelelahan panjang.


“Seumur hidup saya, baru kali ini merasakan hidup seperti ini,” ujarnya dengan suara bergetar.


Hari-hari di pengungsian berjalan berat. Angin malam menusuk tulang. Anak-anak tidur beralas tikar tipis. Makan seadanya, kadang hanya nasi dan garam, kadang sekadar air hangat. “Kami bisa tahan lapar,” kata Wak, “tapi anak-anak tidak boleh.”


Para orang tua berpura-pura kenyang di depan anak-anak. Ketika malam tiba dan anak-anak tertidur, barulah tangis pecah perlahan. Hampir dua pekan berlalu, bantuan tak kunjung datang. Pengungsian di Dayah Al Huda seolah luput dari peta bantuan. “Kami hanya berdoa,” ujar Wak lirih, “jangan sampai mati pelan-pelan karena lapar.”


Bantuan Perdana dan Air Mata

Harapan itu akhirnya datang. NU Online berkunjung ke lokasi. Tak lama berselang, ponsel Pak Is berdering. Telepon dari sahabat lamanya, alumni Teknik Sipil Universitas Syiah Kuala (USK) Banda Aceh. “Mereka bilang, bantuan sedang di jalan,” ujar Pak Is.


Bantuan tersebut sejatinya dikirim atas nama Pak Is. Bahkan Keuchik sempat menegaskan, bantuan itu seharusnya lebih untuk Pak Is. Namun ia menolak. “Kalau saya kenyang tapi orang lain lapar, saya tidak sanggup makan,” katanya tegas.


Tak lama kemudian, sebuah mobil pickup menerobos sisa lumpur menuju dayah. Para relawan alumni Teknik Sipil USK turun dengan wajah letih. Mereka membawa beras, telur, dan kebutuhan pokok.


“Perjalanan berat. Lumpur masih tebal,” ujar salah seorang relawan. “Tapi melihat warga seperti ini, capek langsung hilang.”


Bagi Wak, momen itu terasa seperti mimpi. “Ini bantuan perdana,” katanya sambil tersenyum. “Sejak banjir, baru ini kami terima bantuan.”


Tangannya gemetar saat menerima telur. “Anak-anak bisa makan telur hari ini,” ucapnya pelan.


Anak-anak berlarian kecil. Orang-orang tua memaksakan senyum. Dayah yang sunyi mendadak hidup oleh rasa syukur. “Bukan karena banyaknya,” kata Wak, “tapi karena kami tidak dilupakan.”


Menjelang sore, para relawan pamit. NU Online melanjutkan perjalanan ke titik pengungsian lain, dengan bekal BBM cadangan dan air minum untuk menghindari antrean panjang di tengah krisis.


Pak Is berdiri di halaman dayah, memandangi warga yang masih bertahan. “Banjir ini seperti tsunami lumpur,” ujarnya. “Tapi selama masih ada orang yang peduli, kami akan bertahan.”


Di tengah lumpur, lapar, dan ketidakpastian, kemanusiaan menjadi jangkar. Dan di Dayah Al Huda yang sunyi, harapan itu kembali hidup, melalui bantuan perdana, keikhlasan Pak Is, air mata Wak, dan langkah para relawan yang tak ragu menerobos lumpur.

 

============

Para dermawan bisa donasi lewat NU Online Super App dengan mengklik banner "Darurat Bencana" yang ada di halaman Beranda atau via web filantropi di tautan berikut: filantropi.nu.or.id.

Gabung di WhatsApp Channel NU Online untuk info dan inspirasi terbaru!
Gabung Sekarang