R.H.M. Imam Abdillah
Kolomnis
Di kota Surabaya – Jawa Timur, Ahad 31 Januari 1926 M, bertepatan dengan 16 Rajab 1344 H tidak cukup hanya menjadi hari peringatan lahirnya Nahdlatul Ulama (NU) - organisasi keislaman terbesar di Indonesia, tetapi juga sebagai tonggak perlawanan secara sustainable terhadap dominasi asing yang mencengkram kedaulatan bangsa Indonesia, baik di ranah politik, ekonomi, maupun ideologi.
Saat itu, bangsa Indonesia menghadapi situasi yang penuh ancaman dan sangat mengkhawatirkan yang datang dari berbagai sisi. Selain berada dalam genggaman penjajahan kolonialisme Hindia-Belanda yang sudah memonopoli sumber daya alam Indonesia sejak abad ke-16 tepatnya tahun 1595 melalui perusahaan VOC, muncul pula arus pembaharuan Islam dari Timur Tengah yang dikenal sebagai Pan-Islamisme mengiringi keruntuhan imperialisme. Bersamaan dengan itu, gerakan nasionalisme global justru lebih condong pada sekularisme yang dapat mengancam identitas keagamaan.
Dalam masa transisi yang penuh tantangan tersebut, lahirnya NU menjadi respons strategis untuk mempertahankan wajah keislaman Ahlussunnah wal Jama’ah memastikan bentuk kedaulatan bangsa Indonesia di tengah gejolak perubahan dunia.
Lintasan sejarah peran NU dalam melawan, menolak, dan melakukan langkah-langkah preventif untuk menangkal dominasi asing ternyata tidak dimulai sejak lahirnya NU. Sebelum NU dibentuk oleh Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari sebagai Rais Akbar, KH Abdul Wahab Hasbullah sebagai Katib (sekretaris) dan KH Abdul Chalim Leuwimunding sebagai Katib Tsani (sekretaris kedua) dan para ulama dari kalangan pesantren tradisional, mereka telah berjuang dominasi asing dengan kemampuan masing-masing, meskipun belum terorganisir secara sistematis.
Kemudian setelah NU berdiri sampai memasuki usia di abad ke-2 nya NU tetap kokoh sebagai benteng persatuan dan kesatuan NKRI.
Pertama: pra-pendirian NU; jaringan pesantren sebagai benteng perlawanan kultural dan ideologis terhadap kolonial
Pesantren dan NU adalah dua sisi mata uang yang tidak mungkin dipisahkan dalam sejarah perjalanan bangsa Indonesia. Sebelum NU berdiri, pesantren telah menjadi madrasah yang mencetak generasi ulama dengan ilmu keislaman yang koheren dan mendalam berdasarkan sanad atau genealogi keilmuan yang terjaga serta komitmen terhadap nilai-nilai kebaikan, kemanusiaan, dan perjuangan kebangsaan.
Pesantren menjadi inkubator yang menanamkan nilai-nilai syariat Islam tidak sekadar sebagai ritual ibadah semata, tetapi juga sebagai panduan untuk membangun peradaban yang berkeadilan, memanusiakan manusia dan menghapus penjajahan di atas dunia.
Dari pesantren lahirlah figur-figur yang mengabdikan hidupnya untuk menyebarkan syiar kebaikan dan menjadi penjaga martabat bangsa di tengah cengkeraman penjajahan kolonial.
Beberapa figur yang memiliki peran besar dalam perlawanan terhadap kolonial adalah Syekh Abd al-Samad al-Palimbani, ulama besar Nusantara yang berjuang di Semenanjung Melayu pada abad ke-18.
Melalui karya-karyanya seperti Nasihat al-Muslimin, ia mengobarkan semangat jihad melawan penjajah dan memperkuat akidah umat. Kemudian lahir pula Syekh Nawawi al-Bantani yang mengarang kitab lebih dari 100 judul dan keilmuannya sangat diakui dunia Islam.
Pada abad ke-19 dan awal abad ke-20, pesantren-pesantren terus melahirkan ulama besar yang menjadi motor perjuangan bangsa.
Syaikhona Khalil Bangkalan adalah salah satu tokoh pesantren berpengaruh yang menjadi guru KH Hasyim Asy’ari. Selain beliau, terdapat, KH Wahab Hasbullah, KH Bisri Syansuri, dan KH Mas Mansur yang semuanya merupakan sosok penting yang lahir dari rahim pesantren.
Mereka tidak hanya menjaga Islam Ahlussunah wal Jama’ah yang rahmatan lil ‘alamin, tetapi juga memperjuangkan kemerdekaan serta martabat bangsa Indonesia.
Perlawanan terhadap kolonialisme juga diekspresikan dalam gubahan syair Shubbanul Wathan karya KH Abdul Wahab Hasbullah tahun 1916 yang bergema di setiap kegiatan pengajian di pesantren.
Beberapa bait syair tersebut jelas merupakan upaya akomodatif terhadap penduduk tanah air untuk bersatu dengan mencintai tanah air sebagai bagian dari keimanan, hubbul wathan minal iman dan secara implisit mengajak bangsa Indonesia untuk melakukan perlawanan terhadap kolonialisme yang selama ini telah merampas hak-hak bangsa Indonesia.
Kedua, pendirian NU 1926: menangkal paham Wahabisme dan Islam transnasional
Sejak jatuhnya dua kota suci Makkah dan Madinah pada Desember 1925 ke tangan Abdul Aziz bin Saud, berasal dari Najd, yang beraliansi dengan paham keagamaan Muhammad bin Abdul Wahab atau yang sekarang akrab dikenal dengan Wahabi, ulama-ulama Alussunnah wal Jama'ah dari kalangan pesantren di Indonesia segera mengambil sikap preventif untuk menangkal dampak destruktif yang dapat terjadi cepat atau lambat, mengingat paham yang dianutnya tersebut tidak lagi berkiblat pada empat mazhab yang selama ini dipelajari oleh kalangan Islam tradisionalis.
Alih-alih kembali pada Al-Qur’an dan sunnah, mereka justru menolak khazanah bermazhab dan berupaya untuk menghancurkan seluruh situs-situs bersejarah umat Islam termasuk rencana pembongkaran makam Nabi Muhammad Saw.
Untuk itu, KH Abdul Wahab Hasbullah membentuk Komite Hijaz untuk mengirim delegasi menemui raja Abdul Aziz guna menyampaikan aspirasi argumentatif, di antara isi aspirasi tersebut adalah meminta tetap diberlakukannya kebebasan bermazhab dan menolak pembongkaran makam Nabi Muhammad Saw.
Untuk lebih memperkuat posisi kekuatan umat Islam secara kelembagaan, kemudian disusul dengan pembentukan Nahdlatul Ulama. Kata nahdlah berdasarkan usulan KH Alwi. Dalam keterangan yang disampaikan Gus Dur, kata nahdlah diambil dari petikan kata dalam sebuah nasihat dari Syekh Ibn Athaillah dalam kitab al-HIkam la tanshab man la yunhidhuka wa la yadulluka ‘ala Allah maqaluh yang artinya Janganlah kamu bersahabat dengan seseorang yang prilakunya tidak membuatmu bangkit dan ucapannya tidak mengarahkanmu kepada Allah.
Berdirinya NU juga menjadi kelanjutan dari spirit Tashwirul Afkar (1914), Nahdlatul Wathan (1916), Nahdlatul Tujjar (1918) dan rumah besar bagi Syubban al-Watan (1924), dan berbagai gerakan-gerakan Islam nasionalis lainnya.
Gerakan nahdlah di Indonesia sepertinya beririsan dengan semangat kebangkitan era renaisans dalam format yang lebih humanis dan intelektualis.
Arus gerakan Islam Transnasional cukup masif pada saat itu, diimpor dari semangat Pan-Islamisme bentukan Jamaluddin al-Afghani yang berhaluan islam modernis. Sementara NU dinilai sebagai kelompok Islam yang tradisionalis. NU bertahan pada metodologi pembelajaran yang murattib, mengkaji teks sumber, memilah kajian yang bersanad, dan memperhatikan detail-detail instrumen dalam ilmu keislaman.
Ketiga, NU di masa Hindia-Belanda: menolak menjadi bagian dari pemerintahan
Jika ada yang beranggapan bahwa NU tidak pernah melakukan perlawanan terhadap pemerintah Hindia Belanda dalam arti perlawanan fisik, maka pernyataan tersebut benar. Namun bukan berarti NU didirikan untuk mendukung kolonial dan menghendaki agar kolonial terus menjajah Tanah Air. Diplomasi dan interaksi yang dibangun oleh NU semata untuk mempersiapkan langkah-langkah kemerdekaan yang lebih tersusun, terstruktur dan terukur.
Pada masa kolonial Hindia Belanda, Nahdlatul Ulama (NU) menunjukkan sikap tegas dengan menolak bergabung dalam pemerintahan kolonial yang mencoba merangkul elite keagamaan demi melanggengkan kekuasaan.
Pemerintah Hindia Belanda menawarkan kedudukan strategis kepada ulama NU dalam lembaga semacam Kantoor voor Inlandsche Zaken (Kantor Urusan Pribumi) yang menangani isu keagamaan dan pendidikan masyarakat Muslim. Upaya ini bertujuan untuk mendomestikasi peran ulama, sehingga mereka dapat digunakan sebagai alat legitimasi kekuasaan kolonial. Tawaran tersebut juga disertai janji kemudahan akses ekonomi bagi pesantren-pesantren yang bersedia berkolaborasi.
Namun, NU dengan tegas menolak tawaran tersebut. Sikap penolakan ini didorong oleh keyakinan bahwa bergabung dengan pemerintahan kolonial berarti mengkhianati perjuangan umat Islam dan rakyat Indonesia yang tengah berjuang untuk lepas dari penjajahan.
KH Hasyim Asy’ari dan para ulama pesantren berpendapat bahwa hubungan dengan pemerintah Belanda hanya akan merusak independensi pesantren serta melemahkan spirit perlawanan kultural terhadap kolonialisme.
Penolakan tersebut didokumentasikan dalam catatan sejarah pergerakan Islam yang dikuatkan oleh penelitian sejarawan seperti Greg Fealy dan Martin van Bruinessen, yang mencatat bagaimana pesantren-pesantren di bawah naungan NU tetap menjadi pusat perlawanan, baik secara ideologis maupun praktis, di tengah tekanan kolonialisme.
Keempat, NU di masa pendudukan Jepang: menolak Dewa Matahari dan berani mendirikan Hizbullah sebagai prototipe kekuatan militer Indonesia
Pada masa pendudukan Jepang (1942-1945), NU sempat mengalami tekanan dari ketegangan hubungan dengan pemerintah Jepang. KH Hasyim Asy’ari ditangkap dan dipenjara selama empat bulan karena menolak melakukan seikerei sebuah penghormatan terhadap Kaisar Hirohito dan ketaatan pada Dewa Matahari yang diwajibkan pada rakyat Indonesia kala itu.
Ketika Perang Pasifik memuncak, Jepang membutuhkan dukungan rakyat untuk menghadapi Sekutu, membuka ruang bagi organisasi Islam termasuk NU untuk berpartisipasi dalam pembentukan kekuatan militer pribumi.
Dalam konteks ini, NU bersama tokoh-tokoh pergerakan nasional melihat peluang untuk mempersiapkan santri dan pemuda Indonesia menjadi kekuatan pertahanan yang kelak berperan dalam merebut kemerdekaan.
Dengan dalih mendukung Jepang, NU berinisiatif mendirikan Laskar Hizbullah pada tahun 1944, yang berarti "Pasukan Allah." Pasukan ini terdiri dari santri-santri terlatih yang mendapat pendidikan militer langsung dari Jepang. Bersamaan dengan pembentukan Hizbullah, Jepang juga membentuk PETA (Pembela Tanah Air) sebagai milisi pribumi yang bertugas menjaga stabilitas wilayah.
Meski dibentuk di bawah pengawasan Jepang, kader Hizbullah justru menanamkan semangat jihad fisabilillah untuk membela tanah air dari segala bentuk penjajahan, termasuk Jepang sendiri jika momentum kemerdekaan tiba.
Selanjutnya, perlawanan NU terhadap Jepang dapat dilihat ketika NU dengan tegas mendukung Perjanjian San Francisco yang ditandatangani pada 8 September 1951, sebagai bagian dari strategi diplomatik dalam menjaga stabilitas kawasan Asia-Pasifik pasca Perang Dunia II.
Perjanjian ini secara resmi mengakhiri status perang antara Sekutu dan Jepang serta menetapkan Jepang sebagai negara yang bertanggung jawab atas reparasi dan pemulihan ekonomi di berbagai negara yang terdampak agresinya, termasuk Indonesia.
Dukungan NU terhadap perjanjian ini dilandasi oleh keyakinan bahwa rekonsiliasi internasional yang diupayakan oleh Perjanjian San Francisco akan membuka ruang bagi penguatan hubungan diplomatik serta pemulihan ekonomi Indonesia yang masih rapuh setelah perang dan revolusi kemerdekaan.
Kelima, NU dan kemerdekaan; Resolusi Jihad NU vis a vis Belanda
Resolusi Jihad pada 22 Oktober 1945, memicu semangat perlawanan rakyat Indonesia terhadap kembalinya penjajah Belanda yang ingin menguasai Indonesia kembali setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
Resolusi ini dikeluarkan oleh para ulama NU di bawah pimpinan KH Hasyim Asy'ari, pendiri NU, yang menegaskan bahwa mempertahankan kemerdekaan Indonesia adalah kewajiban bagi setiap Muslim.
Fatwa ini tidak hanya memiliki kekuatan spiritual, tetapi juga menjadi landasan moral dan hukum bagi umat Islam untuk berjuang melawan penjajah. Resolusi Jihad ini menjadi salah satu faktor pendorong utama dalam pertempuran heroik 10 November 1945 di Surabaya, yang kemudian diperingati sebagai Hari Pahlawan.
Dampak dari Resolusi Jihad NU tidak hanya dirasakan dalam konteks militer, tetapi juga dalam membangun kesadaran nasional dan persatuan umat Islam Indonesia. NU, sebagai organisasi berbasis pesantren, berhasil memadukan nilai-nilai keagamaan dengan semangat kebangsaan, menciptakan sinergi antara agama dan negara.
Resolusi ini juga menunjukkan keberanian NU untuk vis a vis melawan Belanda, meskipun pada saat itu Indonesia masih dalam kondisi yang sangat lemah secara militer dan ekonomi. Keberanian ini mencerminkan komitmen NU untuk mempertahankan kemerdekaan dan menolak segala bentuk dominasi asing.
Sejarawan seperti George McTurnan Kahin dalam bukunya Nationalism and Revolution in Indonesia (1952) mencatat bahwa Resolusi Jihad NU merupakan salah satu faktor kunci yang memicu perlawanan massal terhadap Belanda, yang pada akhirnya memperkuat posisi Indonesia dalam perjuangan diplomasi internasional.
Dengan demikian, NU tidak hanya berkontribusi dalam bidang keagamaan, tetapi juga dalam perjuangan fisik dan politik untuk mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Keenam, NU Orde Lama: perseteruan ideologi Asing; melawan sekularisme komunisme
Pada masa Orde Lama, setelah lembaga Konstituante dibubarkan dan terbit Dekrit Presiden 1959 yang bersamaan dibubarkannya partai Masyumi, suhu politik yang semakin memanas antara kelompok islam dan nasionalis yang didukung kelompok sosialis komunis.
Di tengah eskalasi tersebut NU menjaga keseimbangan politik Indonesia. NU, sebagai representasi kekuatan Islam tradisional, masuk dalam kabinet NASAKOM yang dipimpin oleh Presiden Soekarno. Meskipun berada dalam satu pemerintahan, NU konsisten menentang penyebaran paham komunisme yang diusung oleh Partai Komunis Indonesia (PKI).
Ketegangan antara NU dan PKI mencapai puncaknya pada pertengahan 1960-an, ketika PKI semakin agresif dalam upayanya untuk memperluas pengaruh, termasuk melalui program land reform yang seringkali menimbulkan konflik dengan para pemilik tanah, termasuk pesantren dan ulama NU. NU, yang memiliki basis kuat di pedesaan dan pesantren, menjadi salah satu target intimidasi dan kekerasan oleh kelompok-kelompok yang didukung PKI.
PKI dengan syair Genjer-Genjer semakin masif memobilisasi rakyat akar rumpun, NU tidak kalah juga menciptakan syair Shalawat Badar gubahan KH Ali Manshur Shiddiq yang juga sebelumnya merupakan salah satu anggota Konstituante dari Partai NU. Masing-masing NU dan PKI meningkatkan mobilisasi massa dengan syair tersebut.
Konflik ini memuncak pada peristiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S/PKI), yang menjadi titik balik dalam sejarah Indonesia. Setelah peristiwa tersebut, NU bersama dengan kekuatan militer dan organisasi Islam lainnya, turut serta dalam upaya menumpas PKI. Para kiai dan santri NU membentuk laskar-laskar perlawanan, seperti Ansor dan Banser, yang berperan aktif dalam menangkal dan membersihkan pengaruh PKI di berbagai daerah, terutama di Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Tragedi 1965 berakhir dengan dibubarkannya PKI dan pelarangan ideologi komunisme di Indonesia. NU, sebagai salah satu kekuatan utama yang melawan PKI, memperkuat posisinya dalam peta politik nasional.
Namun, konflik ini juga meninggalkan luka mendalam dalam sejarah bangsa, dengan ribuan korban jiwa dari kedua belah pihak.
Sejarawan seperti John Roosa dalam bukunya Pretext for Mass Murder: The September 30th Movement and Suharto's Coup d'État in Indonesia (2006) mencatat bahwa peran NU dalam melawan PKI tidak hanya bersifat fisik, tetapi juga ideologis, dengan menegaskan pentingnya mempertahankan nilai-nilai keislaman dan kebangsaan.
Ketujuh, NU Orde Baru: menolak neoliberalisme: merawat identitas kembali pada Khittah 1926
Di era Orde Baru yang penuh tekanan politik dan ekonomi, Nahdlatul Ulama (NU) menghadapi tantangan besar dalam menjaga kedaulatan bangsa dari dominasi asing.
Kebijakan ekonomi yang semakin membuka pintu lebar bagi neoliberalisme mengancam tatanan masyarakat lokal.
NU dengan tegas menolak arus liberalisasi yang berpotensi mengorbankan keadilan sosial dan meminggirkan nilai-nilai kearifan lokal.
Di bawah kepemimpinan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), NU memilih jalan yang berbeda dari banyak organisasi lain dengan tetap memegang teguh semangat kembali ke Khittah 1926—sebuah langkah penting yang menjadikan NU lebih independen secara politik sekaligus menjaga identitas keagamaannya yang inklusif dan berpihak pada rakyat kecil.
Gus Dur menjadi sosok kunci yang membawa NU keluar dari orbit politik praktis, menempatkannya sebagai penjaga moral dan spiritual bangsa di tengah arus globalisasi yang semakin deras. Beliau memahami bahwa keterlibatan terlalu dalam dalam politik formal hanya akan membuat NU kehilangan nilai perjuangannya yang murni. Dengan semangat back to basics, Gus Dur menegaskan bahwa NU harus menjadi penjaga nilai Islam yang rahmatan lil ‘alamin serta pelindung masyarakat dari dampak buruk dominasi asing, termasuk neoliberalisme yang datang dengan janji investasi besar namun sering kali memarginalkan kaum lemah.
Penolakan NU terhadap neoliberalisme tidak hanya bersifat retorika, tetapi diwujudkan dalam berbagai kebijakan sosial dan gerakan kultural. Gus Dur dan NU secara aktif memperjuangkan hak-hak buruh tani, mendukung ekonomi kerakyatan, serta mengkritik keras privatisasi aset negara yang hanya menguntungkan segelintir elite. Sikap ini menunjukkan bahwa meski NU tidak berada di arena politik formal, suara dan tindakannya tetap menggema sebagai kekuatan moral yang berdiri tegak melawan dominasi asing. Perjuangan ini adalah bukti nyata bahwa NU tidak hanya sekadar organisasi keagamaan, tetapi juga benteng terakhir dalam menjaga kedaulatan bangsa dan identitas budaya yang luhur.
Kedelapan, NU Era Reformasi: infiltrasi ideologi, ekonomi dan budaya transnasional yang berpotensi memecah belah persatuan bangsa
Sejak era Reformasi 1998, Nahdlatul Ulama (NU) menghadapi tantangan serius dari berbagai ideologi transnasional yang berupaya mengubah tatanan sosial dan keagamaan di Indonesia.
Salah satunya adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), yang mengusung agenda pendirian negara khilafah dan menolak konsep negara-bangsa. HTI secara aktif merekrut anggota, termasuk di kalangan mahasiswa dan profesional muda, dengan menawarkan ideologi yang tampak ideal namun bertentangan dengan prinsip kebangsaan yang dianut NU. NU menilai bahwa upaya HTI ini tidak hanya mengancam keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), tetapi juga berpotensi menghapus ijtihad-ijtihad sosial ulama NU yang telah berakar kuat dalam masyarakat. Sebagai respons, NU melalui berbagai tokohnya, seperti KH Said Aqil Siroj, secara tegas menolak ideologi khilafah yang diusung HTI dan menegaskan komitmen NU terhadap Pancasila dan NKRI.
Di sisi lain, infiltrasi ideologi Wahabi yang diimpor dari Arab Saudi juga menjadi tantangan bagi NU. Kelompok ini kerap mengkritik dan menyerang amaliyah ibadah warga NU, seperti tahlilan, yasinan, dan ziarah kubur, yang dianggap tidak sesuai dengan ajaran Islam versi mereka. Serangan-serangan ini tidak hanya terjadi di ranah wacana, tetapi juga melalui berbagai media dan ceramah-ceramah yang menyudutkan praktik keagamaan NU.
NU, melalui para ulama dan cendekiawannya, seperti KH. Ahmad Mustafa Bisri (Gus Mus), memberikan respons dengan menegaskan bahwa amaliyah tersebut memiliki landasan yang kuat dalam tradisi Islam Nusantara dan telah menjadi bagian integral dari kehidupan spiritual masyarakat Indonesia.
NU juga aktif melakukan edukasi kepada masyarakat untuk memahami perbedaan pandangan ini dengan bijak dan tidak terprovokasi.
Selain itu, muncul pula kelompok-kelompok Islam yang dipimpin oleh kalangan keturunan Yaman yang secara amaliyah serupa dengan NU, namun dalam aspek sosial dan politik menunjukkan resistensi terhadap institusi dan kepemimpinan NU.
Kelompok-kelompok ini, meskipun memiliki kesamaan dalam praktik ibadah, sering kali berbeda pandangan dalam hal strategi dakwah dan keterlibatan dalam isu-isu sosial-politik.
Beberapa di antaranya cenderung menghindari keterlibatan dalam politik praktis dan lebih fokus pada pengembangan pendidikan dan dakwah. NU menyikapi fenomena ini dengan pendekatan dialogis, mengedepankan musyawarah dan silaturahmi untuk mencari titik temu dan menghindari perpecahan di kalangan umat Islam.
Tokoh-tokoh NU, seperti KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur), sering kali menjadi jembatan dalam upaya meredakan ketegangan dan membangun kerja sama dengan berbagai kelompok Islam demi menjaga persatuan umat dan kedaulatan bangsa.
Kesembilan, NU abad kedua: menggugat dominasi coorporate yang mengancam kedaulatan bangsa dan negara
Pada abad kedua Nahdlatul Ulama (NU), tantangan dominasi asing berkembang seiring dengan perubahan global yang semakin mengarah pada dominasi korporasi multinasional.
NU menyadari bahwa ancaman terhadap kedaulatan bangsa tidak lagi sekadar berasal dari kolonialisme politik atau ideologi asing, tetapi juga dari kekuatan ekonomi yang didorong oleh kapitalisme global. Korporasi besar dalam sektor energi, pangan, dan teknologi menjadi aktor utama yang berpotensi mempengaruhi kebijakan nasional dan merugikan masyarakat kecil.
Dalam menghadapi situasi ini, NU menggugat praktik monopoli korporasi yang dianggap merugikan petani, buruh, dan pengusaha lokal. Tokoh-tokoh NU secara aktif mengangkat isu ekonomi yang berkaitan dengan kesejahteraan rakyat, termasuk desakan untuk menjaga ketahanan pangan dan menolak kebijakan impor berlebihan yang merugikan sektor pertanian dalam negeri. NU juga menyuarakan penolakan terhadap investasi asing yang tidak memperhatikan kesejahteraan lingkungan dan masyarakat lokal.
Baru-baru ini yang cukup menarik perhatian adanya pagar laut di kawasan PSN PIK 2 Kabupaten Tangerang sepanjang 30.16 km, dan juga relokasi masyarakat di kepulauan Rempang Provinsi Riau.
Saya sangat mengapresiasi gerak langkah salah satu kader NU di Kabinet Merah Putih sebagai Menteri ATR/BPN, Nusron Wahid, yang secara tegas memposisikan dirinya sebagai jembatan bagi kedaulatan rakyat dalam menghadapi arus investasi dari perusahaan-perusahaan besar yang tidak bisa dijangkau oleh masyarakat akar rumpun. Tentu saja PBNU lebih awal menyoroti hal tersebut dan telah mengambil sikap untuk menjaga kedaulatan bangsa dan marwah negara di atas kepentingan korporasi.
Sebagai penutup, NU dengan nilai dan moralitas integral yang terus dibangun dari satu generasi ke generasi berikutnya, bangsa dan umat sepenuhnya menyakini di abad ke-2 ini NU, akan tetap survive dan sustain sebagai lokomotif perdamaian peradaban umat manusia secara global.
R.H.M. Imam Abdillah, Ketua Lakpesdam PCNU Kota Serang
Terpopuler
1
Keutamaan Puasa Syaban Menurut Syekh Nawawi al-Bantani
2
Khutbah Jumat: Menumbuhkan Keikhlasan dalam Beramal dan Beribadah
3
Khutbah Jumat: Jagalah Lisan supaya Tidak Menyakiti Orang Lain
4
Khutbah Jumat: Jangan Salah Pilih Teman
5
Khutbah Jumat: Manusia sebagai Makhluk Sosial, dan Perintah untuk Saling Mengenal
6
Data Hilal Penentuan Awal Bulan Syaban 1446 H
Terkini
Lihat Semua