Persahabatan Pramoedya Ananta Toer dengan Mahbub Djunaidi
Sabtu, 8 Februari 2025 | 17:00 WIB
Malik Ibnu Zaman
Kolomnis
Meskipun memiliki pandangan ideologi dan politik yang berbeda, Mahbub Djunaidi dan Pramoedya Ananta Toer tetap saling menghormati satu sama lain.
Mahbub dikenal sebagai wartawan, esais, sastrawan, dan politisi NU yang populer di zamannya. Ia dijuluki "pendekar pena" berkat gaya tulisannya yang tajam dan kreatif, yang menggabungkan unsur politik, sastra, dan jurnalistik.
Di sisi lain, Pramoedya Ananta Toer adalah salah satu novelis paling berpengaruh di Indonesia. Pada era Orde Lama, ia bergabung dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) dan menjadi salah satu pemimpinnya. Bersama Lekra, Pram aktif dalam perang kebudayaan melawan kelompok yang memiliki pandangan berbeda.
Penghormatan Mahbub terhadap Pram terlihat dalam pernyataan Yusuf Isak (Joesoef Isak/wartawan), yang menyebut bahwa semasa hidupnya, Mahbub sangat menghargai dua orang, yaitu Pramoedya Ananta Toer dan Soekarno.
Hal itu disampaikannya dalam sambutan peluncuran buku Sketsa Kehidupan dan Surat-Surat Pribadi Sang Pendekar Pena Mahbub Djunaidi pada 12 Mei 1996.
Ketika tetralogi Pramoedya Ananta Toer—Bumi Manusia, Anak Semua Bangsa, Jejak Langkah, dan Rumah Kaca—dilarang peredarannya oleh Kejaksaan Agung, Mahbub Djunaidi meminta satu set lagi kepada Yusuf Iskak.
Terkejut dengan permintaan itu, Yusuf sempat protes. Ia merasa sudah memberikan entah delapan atau sembilan set sebelumnya.
"Ke mana saja semua itu?" tanyanya heran.
Namun, Mahbub hanya menjawab singkat, "Sudahlah. Ini perlu."
Belakangan, Yusuf baru mengetahui bahwa Mahbub mengusahakan buku-buku tersebut untuk Menteri Pendidikan dan Kebudayaan saat itu, Fuad Hasan. Ironisnya, sang menteri sendiri memilih bungkam ketika karya-karya Pram dibredel.
Mahbub Djunaidi juga pernah mengungkapkan kekecewaannya terhadap situasi politik dan pers yang, menurutnya, semakin kehilangan greget. Ia menyesalkan bagaimana sosok seperti Pramoedya Ananta Toer terus-menerus dimusuhi, padahal melalui bahasanya, Pram telah banyak mendidik masyarakat.
Mahbub bahkan menegaskan bahwa tidak ada seorang pun yang memiliki kemampuan berbahasa sekuat Pram. Pandangannya itu ia sampaikan dalam sebuah wawancara dengan M. Said Budairy.
Ia pernah bercerita kepada Ridwan Saidi bahwa tulisannya pernah ditolak oleh koran, bahkan hingga dua kali. Menariknya, kedua tulisan yang ditolak itu membahas tentang Pramoedya Ananta Toer.
Sebagai penulis, ia mengaku merasa kesal dan jengkel karyanya tak dimuat. Ia juga menyoroti bagaimana pengawasan internal pers terkadang justru lebih ketat dan keras dibandingkan kebijakan pemerintah itu sendiri.
Cerita lainnya datang dari Koesalah Soebagyo Toer pada buku Pramoedya Ananta Toer dari Dekat Sekali: Catatan Pribadi Koesalah Soebagyo Toer (2006). Buku itu mengenang momen ketika ia diajak Pramoedya Ananta Toer ke Bandung untuk beberapa keperluan. Salah satu keperluan itu ternyata mengunjungi Mahbub Djunaidi. Mereka sempat berputar-putar mencari alamatnya sebelum akhirnya menemukan rumah Mahbub.
Saat bertemu, Koesalah melihat bagaimana kedua sahabat itu saling berpelukan dalam diam, seolah hanya hati mereka yang berbicara. Mahbub saat itu tampak lesu dan mengeluhkan kondisi jantungnya.
Melihat hal itu, Pram dengan yakin memberikan saran sederhana. Ia mengatakan bahwa makan bawang putih bisa menormalkan jantung, bahkan menambahkan bahwa orang Arab jarang terkena penyakit jantung karena kebiasaan mereka mengonsumsi bawang putih.
Baca Juga
Ketika Mahbub Djunaidi Membela Subhan ZE
Mahbub mendengar saran tersebut dengan penuh perhatian, meskipun tidak langsung menerimanya. Ia justru menyinggung tentang adanya obat berbahan bawang putih yang dijual di apotek. Namun, Pram menanggapinya dengan santai dan tetap menyarankan untuk mengonsumsi bawang putih secara langsung seperti yang sudah ia rekomendasikan kepada beberapa orang sebelumnya.
Percakapan mereka berlangsung cukup lama hingga akhirnya nyonya rumah menghidangkan makanan dan minuman. Hal ini cukup mengejutkan Koesalah karena Pram dikenal tidak pernah betah duduk lama di rumah orang lain. Biasanya, baginya, kursi tamu seperti bara panas yang membuatnya ingin segera pergi. Namun, kali ini berbeda.
Saat berpamitan, Mahbub dan Pram kembali berpelukan erat, seakan menyadari bahwa pertemuan itu mungkin yang terakhir bagi mereka. Setelah keluar dari rumah Mahbub, Pram tiba-tiba memutuskan untuk langsung kembali ke Jakarta, membatalkan semua rencana kunjungannya yang lain. Keputusan itu terasa aneh bagi Koesalah, mengingat sebelumnya mereka sudah memiliki niat untuk singgah di tempat-tempat lain.
Nah, dalam peluncuran buku Sketsa Kehidupan dan Surat-Surat Pribadi Sang Pendekar Pena Mahbub Djunaidi, Pram juga diminta untuk memberikan sambutan. Ia mengatakan bahwa di saat dirinya diserang dari berbagai penjuru, hanya satu orang yang membelanya, yaitu Mahbub Djunaidi. Atas dukungan itu, Pram menyampaikan rasa terima kasihnya kepada istri Mahbub dan keluarganya.
Malik Ibnu Zaman, penulis kelahiran Tegal Jawa Tengah. Ia menulis sejumlah cerpen, puisi, resensi, dan esai yang tersebar di beberapa media online
Terpopuler
1
Pramoedya Ananta Toer, Ayahnya, dan NU Blora
2
Gus Baha: Jangan Berkecil Hati Jadi Umat Islam Indonesia
3
Munas NU 2025: Hukum Kekerasan di Lembaga Pendidikan adalah Haram
4
Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang Kembali Gelar Festival Ilmiah Santri
5
Konbes NU 2025 Rumuskan Masa Jabatan Ketua Umum PBNU: Diusulkan Maksimal 2 Periode
6
Lembaga Dakwah PBNU Kirim Dai Internasional ke Lima Negara
Terkini
Lihat Semua