Fragmen

Pramoedya Ananta Toer, Ayahnya, dan NU Blora

Sabtu, 8 Februari 2025 | 11:00 WIB

Pramoedya Ananta Toer, Ayahnya, dan NU Blora

Pram dan Gus Dur di acara bertajuk Pram dan Kita, di Yogyakarta tahun 2003 (Foto: repro dari buku Gus Dur Sang Kosmopolit, 2020)

“Dan Gedung PTT yang jadi kebanggaan penduduk kota Blora yang kecil itu kini tinggal beton-beton tiangnya yang bersusun-tindih seperti bantal dan guling. Aku menarik nafas panjang. Tugu ingatan empat puluh tahun pemerintahan Wilhelmina masih berdiri. Tapi keindahannya yang dahulu lenyap. Dan tugu itu kini dicat merah muda. Dan aku tak mengerti mengapa. Mungkin pasukan merah yang mengecatnya waktu mereka menduduki kota kami.”


Demikian Pramoedya Ananta Toer mengenang kota kelahirannya setelah 25 tahun pergi. Kutipan dari romannya yang berjudul Bukan Pasar Malam itu, mengisahkan kepulangan Pram kembali ke kampung halamannya guna menjenguk sang ayah, M. Toer, yang terbaring sakit TBC di rumah sakit.


Pram dengan sang ayah memiliki hubungan yang kurang harmonis. Akan tetapi, ada banyak hal yang terwariskan dari sang ayah ke anak pertamanya tersebut seperti kegigihan, intelektualitas, dan nilai-nilai perjuangannya.


M. Toer, ayahnya Pram, adalah sosok pejuang yang gigih. Ia guru yang antifeodal dan terlibat aktif dalam pergerakan, di antaranya melalui organisasi Boedi Oetomo (BO). Sebagaimana diungkapkan dalam Bersama Mas Pram: Memoar Dua Adik Pramoedya Ananta Toer (2009), M. Toer merupakan seorang guru yang mengajar di HIS (HollandschInlandsche School) Rembang. 


Namun, pada 1922 Bupati Blora R.M. Said Tirtonegoro mengeluarkan sayembara untuk menangani sekolah Institute Boedi Oetomo (IBO) Rembang yang hampir mati setelah kepergian Dokter Soetomo dari Blora. Sayembara tersebut, disambut dengan senang hati oleh Toer. Walaupun di kemudian hari sang bupati yang menjanjikan segala kebutuhan operasional sekolah itu, meninggal terlebih dahulu pada 1926.


Aktivisme sang ayahanda ternyata tak semata mengajar di Institute Boedi Oetomo. Akan tetapi, menurut anaknya yang lain, Soesilo Toer, sebagaimana dikutip oleh Muhammad Muhibbuddin dalam Pramoedya Ananta Toer: Catatan dari Balik Penjara (2019: 37), menyebutkan bahwa sang ayah pernah aktif dalam Nahdlatul Ulama (NU) di Blora. 


Mastoer, nama asli ayahnya Pram, ikut terlibat dalam aktivisme NU di masa awal (1926). Konon, ia turut mendirikan NU Blora sebelum kemudian beralih sebagai aktivis PNI Bung Karno pada 1933.


Tentu saja, klaim dari Soesilo Toer ini menarik untuk ditelisik lebih dalam. Mengingat Mastoer berasal dari keluarga di Kediri yang berlatar belakang santri. Begitu pula di mertuanya di Rembang yang merupakan seorang naib penghulu yang kental dengan kultur kesantrian. Keterlibatan di Nahdlatul Ulama menjadi suatu keniscayaan. Akan tetapi, terlepas dari akurasi klaim Soesilo Toer tersebut, keterlibatan M. Toer dalam pendirian NU Blora ini menjadi pintu masuk untuk menelusuri sejarah NU di tempat itu.


Nahdlatul Ulama di Kabupaten Blora ini, memang cukup lama aktif. Dalam majalah Berita LINO (Lailatoel Idjtima’ Nahdlatoel Oelama) Nomor 2, Awal Mei 1971, terdapat sebuah artikel yang ditulis oleh Munhalis LS berjudul “Desa Djepon jang Bersedjarah”. Tanpa menyebut sumber, penulis menguraikan jika NU Cabang Blora didirikan pada 1927. Ketuanya dijabat oleh Kiai Maksum, sedangkan sekretarisnya adalah pensiunan komandan polisi bernama Sudjak. Lalu, bendaharanya bernama Tjipto dan dibantu oleh Chasan Hardjo. Sedangkan dalam jajaran Syuriyah terdiri dari Kiai Muntaha, Kiai Muzayin, H. Zaenuri dan Kiai Tamyiz.


Pada 1930, Cabang NU yang berada di Desa Kidangan, Jepun itu dipindahkan ke Blora. Pada saat perpindahan tersebut, terdapat pergantian kepengurusan. Ketuanya masih dijabat oleh Kiai Maksum dengan wakilnya bernama H. Asy’ari. Sedangkan sekretarisnya tidak diketahui. Adapun bendaharanya bernama H. Busyro dan H. Suyuti.


Sayangnya, klaim dari Munhalis tersebut tak bisa dijadikan acuan. Sejumlah sumber yang lebih tua dan resmi mengkonfirmasi jika kepengurusan NU di tingkat cabang baru diinisiasi pada 14 Dzulhijah 1346 H atau sekitar sekitar 4 Mei 1928 oleh Hadratusyekh KH Hasyim Asy’ari di Jombang (Swara Nahdlatoel Oelama (SNO), Nomor 9, Tahun I, Ramadan 1346 H). Dalam artikel tersebut tertulis demikian:


"Ing sak lebete sasi Dzulqaidah hadihis sanah, panjenenganipun Kiai Hasyim Tebuireng sanget hanggenipun haringka daya kados pundi wagedipun jam'iyah Nahdlatul Ulama hanggadai cabang nang pundi-pundi panggenan.”


[Di dalam bulan Dzulqaidah tahun ini, Kiai Hasyim Tebuireng mengupayakan segala tenaga agar bagaimana jam'iyah Nahdlatul Ulama memiliki cabang di berbagai tempat].


Dalam penelusuran, NU Cabang Jepun (Blora) baru muncul kepengurusannya pada tahun 1929. Hal ini sebagaimana tertuang dalam Swara Nahdlatoel Oelama (SNO) Nomor 5, Tahun II, Jumadil Awal 1347 H. Dalam pemberitaan tersebut, disebutkan jika sejumlah tokoh di Jepun, Blora melakukan pertemuan yang menyepakati untuk mendirikan Cabang NU yang kemudian mengirimkan struktur kepengurusannya ke Hoofdbestuur Nahdlatoel Oelama (HBNO) di Surabaya. Sayangnya, dalam berita itu tak disebutkan titi mangsa yang jelas kapan pertemuan itu berlangsung. Demikian redaksinya:


Nahdlatul Ulama Cabang Anjepun (Blora)
Semanten hugi ing Jepun, Blora buru mangkin sampun dipun wontenaken musyawarah perlu ngerembuk bade hanjenengaken perkempalan Cabang saking Nahdlatul Ulama. Salajeng musyawarah ba’da sampun ngarembak bab paedah-paedahipun jam’iyah kaliyan sempurna, Lajeng hamutus mufakati ngawontenaken cabang hing ngerika. Saha nerusaken pemilihan bestuur wah dipun tetepaken kadus hing ngandap punika.

 

Terjemah:


Nahdlatul Ulama Cabang Jepun (Blora)

Begitu pula di Jepun, Blora, baru sekarang telah diadakan musyawarah untuk membahas upaya mendirikan organisasi cabang dari Nahdlatul Ulama. Setelah dilakukan musyawarah yang membahas tentang manfaat-manfaat dari organisasi tersebut dengan sempurna, kemudian diputuskan untuk mendirikan cabang [NU] di sana [Blora]. Kemudian, diteruskan musyawarah tersebut untuk melakukan pemilihan bestuur [pengurus] dan kemudian ditetapkan sebagai berikut.


Dari pertemuan tersebut secara gamblang bahwa NU Cabang Blora baru dimusyawarahkan. Adapun pengurus yang dipilih adalah sebagai berikut:


Jajaran Syuriyah: Kiai Maksum, Jepun (Rais), Kiai Muhammad Tamyiz, Bogorejo (Wakil Rais), Kiai Ahmad Sholih, Malahar (Katib), Kiai Muntaha (Tempelan). Sedangkan A’wan antara lain: Kiai. Muhammad Zirawi (Bacem), Kiai Muzain (Lokbang?), Kiai Abdul Mu’thi (Bogorejo), Kiai Aryat (Bogorejo), Kiai Ismail (Bogorejo), Kiai Abdullah Hasan (Kemiri) dan Kiai Abdullah Hadi (Karangwulung?).


Jajaran Tanfidziyah: Haji Sholih, Belun, Cepu (ketua/ presiden), As’adi, Kemiri (Sekretaris), Martapandi (bendahara/ kassier), dan jajaran komisarisnya adalah Subari (Cangkrahan?) dan Abdullah (Karangwulung?).


Dari jajaran pengurus awal NU Cabang Blora tersebut tak tercantum nama M. Toer atau Mastoer, ayahanda dari Pram. Meskipun demikian, tak berarti selain nama di atas, tak ada sosok lain yang ikut terlibat dalam aktivitas ke-NU-an.


Meski belum ditemukan data yang valid tentang keterlibatannya, tapi ada cita-cita yang sama antara Toer dan NU Blora, yakni memajukan dunia pendidikan. Sebagaimana dijelaskan di atas, kehadiran M. Toer di Blora tak lain guna menghidupkan kembali sekolah Boedi Oetomo yang vakum. Keinginan untuk menghadirkan pendidikan bagi anak-anak Blora juga menjadi program untuk Nahdlatul Ulama di sana.


Sebagaimana dikabarkan dalam Swara Nahdlatoel Oelama (SNO), Nomor 8, Tahun II, Syaban 1347 H, pada 12 Juli 1929 telah diumumkan berdirinya Madrasah Tarbiyatul Athfal di Jetis, Blora. Satu kampung halaman dengan tempat tinggal M. Toer. Sekolah yang akan dibuka secara resmi pada 7 Agustus 1929 itu, didirikan atas Prakarsa 13 orang.


Para pendiri madrasah tersebut adalah KH Abdul Hadi (khatib lied Rad Agama), KH Muhammad Idris (khatib imam), Mas Isnadi (khatib Jajar), Mas Tamsiruddin (khatib Jajar), Mas Isman (Katib Raad Agama), Mas Abdul Kaunain (pansiunan mantri bauswisen?), Tuan Haji Sastra Hudaya (NKPM), Tuan Haji Mawardi, Tuan Haji Azhari, Tuan Haji Suyuthi, Tuan Haji Bisyri, Mas Harjadijaya, dan Mas Martharejo.


Upaya merintis madrasah tersebut, tak lain berkat adanya pergerakan Nahdlatul Ulama di Blora. Dengan semangat berjam’iyah, akhirnya banyak orang yang tergerak untuk melakukan amal bakti bagi umat Islam, seperti halnya mendirikan madrasah.


Hal tersebut, selaras dengan apa yang dikatakan M. Toer dalam Bukan Pasar Malam sebagaimana dikutip dari seorang guru yang pernah menjadi muridnya: sekalipun di masa perang, sekolah harus dibuka!


Ayung Notonegoro, sejarawan muda NU, founder Komunitas Pegon