Diisukan Keluar dari NU, KH Hasyim Asy’ari Menjawab lewat Surat Pembaca di Majalah
Jumat, 7 Maret 2025 | 03:10 WIB
Abdullah Alawi
Kolomnis
Setahun setelah mendirikan Nahdlatul Ulama pada 1926, para kiai memandang perlunya komunikasi pemikiran melalui media massa. Maka mereka menerbitkan Swara Nahdlatoel Oelama. Majalah itu terbit sebulan sekali dengan menggunakan Bahasa Jawa beraksara Arab pegon.
Direktur pertama Swara Nahdlatoel Oelama adalah H Hasan Gipo yang juga menjabat sebagai presiden tanfidziyah Hofdbestuur Nahdlatoel Oelama (PBNU). Ia dibantu oleh Ahmad Dahlan bin Muhammad Ahid (mungkin maksudnya Ahyad) sebagai anggota. Baru pada Nomor 12 Tahun Ke-3, nama KH Abdul Wahab Chasbullah Tambakberas tercantum sebagai pemimpin redaksi.
Melalui Swara Nahdlatoel Oelama ini, para kiai seperti KH Hasyim Asy’ari, KH Wahab Chasbullah, KH Mas Alwi Abdul Aziz, KH Bisri Syansoeri, dan lain-lain menuliskan gagasan-gagasan mereka. Pada perkembangan selanjutnya, media itu menjadi ajang korespondensi antarkiai. Pada mulanya bagi mereka yang tinggal di Jawa Timur dan Jawa Tengah, lalu melebar ke Jawa Barat.
Dari perkembangan dan dinamika tersebut, apa yang dikatakan KH Wahab Chasbullah mendapatkan momentumnya. Perkumpulan tanpa koran samalah dengan buta tuli karena tidak punya pemandangan.
Dinamika para kiai menjadi teladan di daerah-daerah dan badan otonom NU. Pengurus Cabang NU Tasikmalaya menerbitkan majalah Al-Mawaidz berbahasa Sunda dengan huruf Latin, Ansor Nahdlatoel Oelama (GP Ansor) menerbitkan Trompet Ansor, NU Cabang Purwakarta (saat ini mencakup Karawang dan Subang) meskipun tidak memiliki media, tapi mendirikan Majelis Pers NO dengan wartawan andalan mereka, O. Djajawisastra, yang mengirimkan berita kegiatan ke koran Pemandangan dan Sipatahoenan.
Korespondensi
Kesadaran tentang arti penting dan peran pers tercermin pula dalam korespondensi lintas status. Artinya, korespondensi ini terjadi secara pribadi antara sesama kiai atau secara kelembagaan, misalnya pengurus cabang dengan pengurus besar atau pengurus cabang dengan seorang kiai.
Pengurus NU Cabang Tasikmalaya, misalnya, pernah mengirimkan surat kepada KH Hasyim Asy’ari untuk meminta fatwa tentang kasus yang terjadi di daerahnya, yaitu status rumah orang miskin yang dibangun pemerintah Tasikmalaya yang dibiayai dari zakat.
Dalam Al-Mawaidz, kebetulan tidak ditemukan teks surat secara utuh, hanya menyampaikan isi pokoknya yaitu status Rumah Miskin yang dibiayai dari zakat pada kategori gharimin atau pihak yang berutang. Hanya saja, gharimin ini statusnya belum terjadi karena Rumah Miskin itu belum dibangun. Jadi, Rumah Miskin itu diklaimkan sebagai pihak yang berutang terlebih dahulu sebelum memiliki utang. Dan utang yang belum terjadi itu rencananya akan dibayarkan dari uang zakat.
Untuk menjawab hal itu, KH Hasyim Asy’ari menyampaikan fatwanya melalui surat yang dimuat Al-Mawaidz pada 18 Agustus 1933 (No 4, tanpa tanggal, tanpa tahun, hlm. 49). Pada surat itu, KH Hasyim Asy’ari menyebut dirinya sebagai ayah, sementara PCNU Tasikmalaya sebagai ananda. Bisa dikatakan, KH Hasyim Asy’ari sebagai pemimpin yang benar-benar mengayomi warganya.
KH Hasyim Asy’ari juga membalas surat seorang Nahdliyin yang berisi permohonan klarifikasi terkait isu mundur dirinya dari kepemimpinan NU saat itu. Surat tersebut dimuat Berita Nahdlatoel Oelama Nomor 22 Tahun ke-7 (20 Rejeb 1357/15 September 1938, hlm. 8). Surat balasan dari KH Hasyim Asy’ari juga dimuat di edisi yang sama.
Surat yang dibalas KH Hasyim Asy’ari itu berasal dari H. Hasboellah, seorang Nahdliyin dari Jatiragas, Cikampek (sekarang masuk ke dalam wilayah kabupaten Karawang). Tentang Jatiragas perlu diterangkan selintas. Desa ini merupakan titik mula berdirinya NU di Purwakarta pada 1933 selepas Muktamar Ke-8 di Batavia pada tahun yang sama. Seluruh kepengurusan NU di Purwakarta saat itu, baik syuriyah maupun tanfidziyah, berasal dari Jatiragas. Tak heran, daerah ini memiliki orang seperti H. Hasboellah.
Dalam suratnya, H. Hasboellah menyatakan dirinya mendengar kabar bahwa KH Hasyim Asya’ri keluar dari perkumpulan Nahdlatul Ulama. Tak dijelaskan sumber kabar tersebut karena mungkin hanya cerita dari mulut ke mulut di warung kopi atau mushala yang bersifat kasak-kusuk.
Namun, bagi warga NU di Jatiragas, sosok KH Hasyim Asy’ari bukan sosok sembarangan. Jika betul ia keluar dari NU, maka wibawa organisasi akan runtuh di mata umatnya. Oleh karena itulah, H. Hasboellah merasa terpanggil untuk mengklarifikasi berita tersebut secara langsung.
H. Hasboellah kemudian berkirim surat kepada kiai yang disebutnya sebagai Tuan Guru yang sangat alim pada 11 Agustus 1938. Berikut ini surat lengkapnya:
“Assalamoe'alaikoem warahmatoellahi wabarakatoeh.
Kepada Toean Goeroe jang sangat alim jang terhormat di Teboeireng, Djombang
Hamba menjoerat ini tiada ada keperloean, melainkan salam ta'zim. Assalamoe'alaikoem warohmatoellahi wabarokatoeh kepada Toean Goeroe, dan hamba minta tolong kepada Toean Goeroe, jaitoe minta dikirim soerat, khabar dari Toean Goeroe, apakah betoel Toean Goeroe soedah keloear dari kepresidenan Nahdlatoel Oelama atau tidak. Hamba sangat menoenggoe khabar dari Toean Goeroe, sebab soedah ada beberapa orang mentjeritakan Toean Goeroe sudah keloear.
Hamba jang sangat menoenggoe khabar dari Toean Goeroe.
H Hasboellah, Djatiragas, Tjikampek.”
Mungkin bagi Berita Nahdlatoel Oelama, surat dari H. Hasboellah itu dinilai sangat penting karena menyangkut orang pertama di perkumpulan. Lagi pula, di edisi lain majalah itu, disebutkan ada desas-desus serupa yang terjadi di Bondowoso.
Oleh karena itu, surat H. Hasboellah dimuat secara utuh diiringi dengan balasan dari Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari pada halaman yang sama. Berikut ini surat balasannya:
“Wa'alaikoemoessalam warahmatoellahi wabarakatoeh.
Kepada Toean H. Hasboellah yang bertempat di Djatiragas, Tjikampek.
Membalas soerat jang tertoelis pada tanggal 11 Agustus 1938 bahwa khabar jang menerangkan keloear saja dari Djam'iyah Nahdlatoel Oelama itoe tiada betoel karena saja tiada pernah mentjeritakan hal sebagai khabar yang terdjadi itoe, maka dari itoe djangan ragoe-ragoe lagi bahwa diri saja masih tetap dalam kalangan Djam'iyah Nahdlatoel Oelama.
Dan agar soepaya mendjadi tahoe Toean adanja.
Wassalamoe’alaikoem warohmatoellahi wabarokatoeh.
Alfaqir ilaihi ta’ala.
Mochammad Hasjim Asj’ari.
Khadimoe Djam’ijati Nahdlatil Oelama wa thalabatil 'ilmy bi Teboeireng.”
Abdullah Alawi, peminat sejarah NU, penulis buku Pemuda Nahdoh: Sejarah Awal GP Ansor Jawa Barat 1934-1941 (2023) dan tengah menyiapkan buku Sejarah NU Jawa Barat, Jakarta, dan Banten 1926-1941.
========
Pada Ramadhan tahun ini, NU Online menyajikan edisi khusus bertajuk “Sejarah Kecil NU” tentang kisah orang-orang biasa dan kejadian-kejadian obskur yang sering tenggelam dalam narasi besar sejarah. Selama sebulan penuh, sejarawan partikelir sekaligus Redaktur Opini & Editorial NU Online, Abdullah Alawi, mengisi edisi khusus ini.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Menjadikan Ramadhan sebagai Madrasah Ketakwaan
2
Gus Yahya Jenguk dan Doakan Kesembuhan KH Said Aqil Siroj
3
Khutbah Jumat: Mengajak Semua Anggota Tubuh Berpuasa
4
Khutbah Jumat: Ikhlas Jadi Kunci Kesempurnaan Puasa
5
3 Alasan Nyai Sinta Pilih Gelar Sahur Keliling bersama Kaum Duafa
6
Khutbah Jumat: Pentingnya Pendidikan Keluarga di Bulan Ramadhan untuk Membangun Karakter Anak
Terkini
Lihat Semua