Waktu kafir menduduki negeri
Semua kita wajib berperang
Jangan diam bersunyi diri
Di dalam negeri bersenang-senang
Di waktu itu hukum fardhu ain
Harus yakin seperti sembahyang
Wajib kerjakan setiap waktu
Kalau tak begitu dosa hal abang
Tak sempurna sembahyang puasa
Jika tak mara ke medan perang
Fakir miskin, kecil dan besar
Tua, muda, pria dan wanita
Yang sanggup melawan kafir
Walaupun dia budaknya orang
Hukum fardhu ain di pundak kita
Meski tak sempat lunaskan hutang
Wajib harta disumbangkan
Kepada siapa yang mau berperang
Berpuasa adalah satu hal. Sementara berperang adalah hal lain. Namun, umat Islam pernah melakukan keduanya secara bersamaan. Dalam catatan sejarah, umat Islam pernah berperang melawan musuh secara fisik saat berpuasa di bulan Ramadhan. Dan itu dicontohkan langsung Rasulullah Muhammad SAW.
Pada tahun kedua Hijriah, tepatnya pada 17 Ramadhan tahun kedua atau tahun 624 Masehi, terjadi Perang Badar antara umat Islam dan kalangan yang memusuhinya dari Mekah. Perang terjadi di sebuah lembah yang terletak di antara Makkah dan Madinah.
Pertempuran ini tidak seimbang karena pasukan Islam yang berjumlah 314 orang melawan pasukan Mekah berjumlah 1000 orang. Bahkan dalam catatan lain disebutkan 1.300 orang. Namun, umat Islam berhasil memenangkan peperangan besar pertama bagi mereka.
Umat Islam Indonesia adalah bangsa yang kenyang akan pahit getirnya perang sehingga syair Hikayat Perang Sabil (hikayat dari Aceh yang dikutip dari buku Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987) ada kalimat: tak sempurna sembahyang puasa, jika tak mara ke medan perang, fakir miskin, kecil dan besar. Kalimat tersebut mendudukan perang melawan kafir adalah kewajiban bagi tiap orang. Bahkan tak sempurna puasa dan sembahyang jika tidak melakukannya.
Sebagaimana terjadi di zaman Rasulullah, umat Islam Indonesia pernah pula mengalami saat-saat berperang di bulan Ramadhan. Paling terkenal adalah melawan penyerangan mendadak yang dilakukan oleh Belanda atau dikenal dengan Agresi Militer I Belanda. Mereka melancarkan agresinya pada awal puasa Ramadhan 1366 Hijriah atau bertepatan dengan 21 Juli 1947.
Menurut sejarawan NU, KH Abdul Mun’im DZ, Belanda kemungkinan melakukan agresinya pada Ramadhan karena orang Indonesia yang mayoritas Muslim sedang berpuasa sehingga dalam keadaan lemah.
Sebetulnya, aksi itu tidak mendadak karena agresi itu sudah diduga jauh hari oleh tokoh-tokoh Indonesia. “Apa yang diduga ternyata menjadi kenyataan,” tulis KH Saifuddin Zuhri pada Berangkat dari Pesantren (LKiS, 2013).
Menurut Kiai Saifuddin Belanda menggunakan 3 divisi lengkap untuk menggempur Jawa dan 3 brigade untuk menghantam Sumatera. Mereka mengerahkan kekuatan angkatan darat, laut, dan udara.
“Agresi militer Belanda I di daerah Sumatera Selatan tepat pada bulan puasa hari ketiga. Aksinya itu dimulai pada pagi hari sesudah umat Islam di daerah Sumatera Selatan selesai melakukan sahur,” tulis Sejarah Perang Kemerdekaan di Sumatera, 1945-1950 sebagaimana dikutip Historia.
Digempur dengan cara demikian, saat Indonesia baru saja dua tahun merdeka, tentu saja TNI, laskar-laskar rakyat seperti Hizbullah dan Sabilillah, tak mampu mengimbanginya. Serangan Belanda yang bersenjata lengkap itu tidak mungkin dihadapi tentara dan laskar rakyat dengan cara berhadap-hadapan, melainkan dengan cara gerilya.
“Agresi itu Belanda berhasil merebut Magelang. Karenanya sepanjang garis Surabaya-Malang dikuasai Belanda bukan saja dalam arti militer, tetapi juga ekonomi politik (untuk sementara). Setelah Surabaya jatuh, kaum republik memusatkan perhatian militernya ke Malang,” kata Kiai Saifuddin.
Menurut Mun’im, waktu itu tentara (TNI) kan belum siap. Dan itu sudah dihitung Belanda. Makanya mereka menyerbu basis-basis laskar rakyat seperti Hizbullah dan Sabilillah. Markasnya tiada lain adalah pesantren. (Abdullah Alawi)