KH Hasyim Adnan: Orator Ulung dan Aktivis Dakwah di Jakarta (2)
Sabtu, 1 Februari 2020 | 08:15 WIB
Rakhmad Zailani Kiki
Kolomnis
Tidak perlu waktu lama bagi keduanya untuk menikah karena keduanya sama-sama saling mengagumi. Terlebih bagi Khairunnisa yang tentu sangat kagum karena sang guru yang mengajarnya adalah orang alim yang ternyata menyukai dirinya. Pernikahan pun dilangsungkan pada tahun 1969.
Rupanya, pasangan ini memiliki keyakinan bahwa banyak anak, banyak rezeki. Setiap anak memiliki rezekinya masing-masing. Karenanya, pernikahan mereka melahirkan sembilan orang anak, yaitu Rahmatun Nazilah (1969); Jalaluddin Akbar (1971); Aida Makbulah (1972); Jamaluddin Faisal Hasyim (1975); Sulaiman Haikal (1976); Ummu Habibah (1978); Ayatullah Muhammad Ali (1979); Robiatul Adawiyah (1981); dan Nida Najibah Hanum (1987).
Ketika anak keduanya lahir, yaitu Jalaluddin Akbar, mereka berpindah ke Jalan Pramuka, Jakarta Pusat. Di tempat tinggal yang baru ini dakwah Kiai Hasyim semakin berkibar.
Mendidik Anak dengan Tadabbur
Ia selalu berusaha meluangkan waktu berlibur untuk anak-anaknya untuk pergi bertamasya ke berbagai tempat, seperti ke pantai Sampur, Tanjung Priok, Jakarta Utara atau ke daerah pegunungan. Bukan hanya anak-anaknya yang diajak, tetapi beberapa murid di lembaga pendidikannya juga diajak.
Di tempat liburan inilah, ia mengajak anak-anaknya untuk tadabbur, melakukan perenungan yang menyeluruh untuk mengetahui maksud dan makna dari suatu ungkapan secara mendalam. Seperti yang ia lakukan kepada Aida Makbulah, anak ketiganya yang perempuan dan masih menempuh pendidikan di SD, ketika ia ajak berlibur ke pegunungan. Ia bertanya kepada putrinya ini,” Apa yang kamu lihat?”
Putrinya menjawab, ” Pemandangan.”
“Pemandangan apa?” tanya Kiai Hasyim Adnan.
“Gunung,” jawab putrinya dengan tangkas.
“Pelajaran apa yang kamu bisa ambil dari gunung?” tanya KH Hasyim Adnan kepada putrinya. Putrinya terdiam. Ia tidak mampu menjawab.
Begitu pula ketika berlibur ke pantai, seperti ke pantai Sampur, Tanjung Priok, Jakarta Utara. Ia menjelaskan kepada putrinya, Aida Makbulah, tentang makna perahu dan nelayannya yang semula terlihat utuh di pandangan mata, lama-lama terlihat mengecil karena terus menjauh ke lautan dan kemuian hilang tidak terlihat lagi. Maknanya bahwa jadi manusia jangan sombong atau takabur karena apa yang dimiliki dan disombongkan akan hilang juga. Ia juga menasihati putrinya ini yang masih duduk di bangku kelas 5 SD agar kelak ketika telah berumah tangga dapat menjadi istri sekaligus ibu, kakak dan adik kepada suami.
Ketika KH Hasyim Adnan mengajak anak pertamanya, Rahmatun Nazilah, ke stasiun kereta api. Ia mengatakan kepada putrinya bahwa orang-orang di stasiun kereta api ini tadinya bersama-sama dalam satu kereta api, tapi kemudian mereka berpisah ketika tiba di stasiun kereta api tujuan, ada yang turun di Karawang, Cirebon, dan lain-lain. Begitulah manusia hidup, tidak bisa selamanya bersama, tentu ada saatnya untuk berpisah.
KH Hasyim Adnan juga memberikan nasihat kepada putri sulungnya, Rahmatun Nazilah, untuk tidak menahan atau menyimpan rezeki atau uang yang ia dapat terlalu lama dan terlalu banyak. Segeralah untuk dikeluarkan karena jika terus disimpan, ibarat air yang mengalir di sungai, ketika air tersebut tertahan dengan bebatuan, maka akan meluap dan menimbulkan musibah berupa banjir. Begitu pula jika rezeki ditahan tidak dikeluarkan, maka ia akan meluap dan mengenai pemiliknya dengan berbagai musibah.
Menjadi PNS yang Kritis
Walau sebagai PNS, tetapi ia tetap seorang mubaligh, juru dakwah, yang tetap kritis terhadap pemerintah. Dalam aktivitas politiknya, ia juga konsisten untuk tetap berada di partai Islam, Partai NU dan kemuian PPP, walaupun ia kerap dibujuk untuk pindah ke Golkar. Akibat aktivitasnya di PPP dan ceramah-ceramahnya yang kritis, ia pernah masuk penjara ketika memberikan ceramah dan orasi sebagai juru kampanye nasional (Jurkamnas) PPP di Provinsi Aceh pada tahun 1977, walaupun tidak terlalu lama ia dipenjara, yaitu kurang dari sebulan, Ia ingat betul yang memenjarakannya ketika itu adalah Aang Kunaefi Kartawiria, Panglima Kodam I Iskandar Muda, Provinsi Aceh.
Bukan sekali dan di Aceh saja ia dipenjara, tetapi juga kerap ia ditahan dan dipenjara untuk alasan pemeriksaan. Karena pada waktu itu Rezim Soeharto tidak ingin partai pemilu di luar Golkar mendapatkan suara terbanyak yang mengalahkan Golkar. Karenanya semua cara, termasuk tindakan represif dan intimidatif, dilakukan oleh Rezim Soeharto kepada tokoh-tokoh yang kritis, seperti KH Hasyim Adnan.
Beberapa kritikan KH Hasyim Adnan terhadap kebijakan dan tindakan pemerintah, yaitu biaya pendidikan yang tinggi, penembakan misterius (petrus) dan unian berhadiah Porkas (Pekan Olah Raga dan Ketangkasan).
Petrus merupakan suatu operasi rahasia dari Pemerintahan Soeharto pada tahun 1980-an untuk menanggulangi tingkat kejahatan yang begitu tinggi pada saat itu. Operasi ini secara umum adalah operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang ianggap mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah "petrus" (penembak misterius).
Pada Maret tahun yang sama, di hadapan Rapim ABRI (Angkatan Bersenjata Republik Indonesia), Presiden Soeharto meminta polisi dan ABRI mengambil langkah pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16 Agustus 1982. Permintaannya ini disambut oleh Pangkopkamtib Laksamana Sudomo dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983.
Para korban Petrus sendiri saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan. Petrus pertama kali dilancarkan di Yogyakarta dan diakui terus terang oleh M Hasbi yang pada saat itu menjabat sebagai Komandan Kodim 0734 sebagai operasi pembersihan para gali (Kompas, 6 April 1983).
Panglima Kowilhan II Jawa-Madura Letjen TNI Yogie S. Memet punya rencana mengembangkannya. (Kompas, 30 April 1983). Akhirnya gebrakan itu dilanjutkan di berbagai kota lain, hanya saja dilaksanakan secara tertutup. Masalah Petrus waktu itu memang jadi berita hangat, ada yang pro dan kontra, baik dari kalangan hukum, politisi sampai pemegang kekuasaan.
Adapun Porkas adalah jenis unian berhadiah dan praktik perjudian dalam bidang olahraga, terutama sepak bola, yang sempat ada di Indonesia pada zaman Orde Baru. Sebelum direalisasikan, Presiden Soeharto mengirim Menteri Sosial Mintaredja untuk melakukan studi banding ke Inggris. Pemerintah mempelajari sistem undian berhadiah ini selama dua tahun. Mereka ingin menciptakan model undian tanpa menimbulkan ekses judi. Di Inggris sendiri jenis undian berhadiah menggunakan perhitungan-perhitungan sistematik.
Managing National Lottery Distribution Fund Balances, yang dikeluarkan oleh lembaga resmi Inggris, menjelaskan perhitungan lotre di negara itu bukan semata-mata tebakan, tetapi semacam permainan berhitung yang rumit. Pemerintah Indonesia mencoba melakukan hal yang sama. Setelah melalui serangkaian penelitian, Porkas akhirnya diresmikan pada 1985. Aturannya mengacu pada UU No. 2 Tahun 1954 tentang unian. Kemudian diperkuat dengan Surat Keputusan Menteri Sosial No. BSS-10-12/85 bertanggal 10 Desember 1985.
Pemerintah mengklaim porkas berbeda dengan undian hadiah berbau judi sebelumnya. Dalam porkas tidak ada tebakan angka, melainkan penebakan menang-seri-kalah. Peredarannya pun hanya sampai tingkat kabupaten, dan batasan usianya 17 tahun.
Kepedulian Sosial
Jika ada seseorang yang mengantre bersama anaknya, maka si anak juga dapat satu liter beras. Atau jika ada seseorang yang sudah mendapatkan jatah satu liter beras kemuian ia mengantri lagi untuk mendapatkan beras, KH Hasyim Adnan tidak memarahinya, ia biarkan saja.
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Isra Mi’raj, Momen yang Tepat Mengenalkan Shalat Kepada Anak
2
Khutbah Jumat: Kejujuran, Kunci Keselamatan Dunia dan Akhirat
3
Khutbah Jumat: Rasulullah sebagai Teladan dalam Pendidikan
4
Khutbah Jumat: Pentingnya Berpikir Logis dalam Islam
5
Khutbah Jumat: Peringatan Al-Qur'an, Cemas Jika Tidak Wujudkan Generasi Emas
6
Gus Baha Akan Hadiri Peringatan Isra Miraj di Masjid Istiqlal Jakarta pada 27 Januari 2025
Terkini
Lihat Semua