Fragmen

KH Idham Chalid, Pendidikan, dan Petualangannya

Jumat, 11 Mei 2018 | 13:30 WIB

KH Idham menghabiskan masa kecilnya di Amuntai Kalimantan Selatan. Di samping belajar agama kepada bapaknya, H Muhammad Chalid, secara informal, Idham kecil juga menuntut ilmu di di Sekolah Rakyat (SR). Karena kecerdasan dan bakatnya, Idham kecil langsung ditempatkan di kelas dua ketika mendaftar masuk di SR. 

Setelah menamatkan sekolah dasarnya pada 1935, Idham remaja melanjutkan pendidikannya di Madrasah Al-Rasyidiyyah. Di madrasah ini, Idham bukan hanya belajar tentang ilmu-ilmu keislaman, tetapi juga belajar ilmu pengetahuan umum, bahasa Arab, dan Inggris. 

Pada 1938, Idham dikirim orang tuanya untuk meneruskan pendidikannya di Pondok Modern Gontor Ponorogo. Ia belajar di Gontor selama lima tahun: tiga tahun di Kulliyatul Mu’allimin al Islamiyyah (pendidikan guru agama Islam) dan dua tahun tingkat Kweekschool Islam Bovenbouw. Umumnya, santri-santri lain menyelesaikan pendidikan di Gontor selama tujuh hingga delapan tahun, tetapi Idham hanya menuntaskannya dalam waktu lima tahun. Hal ini menunjukkan bahwa kecerdasan Idham di atas rata-rata.

Idham remaja memiliki semangat yang tinggi untuk menimba ilmu. Usai belajar di Gontor, dia melanjutkan pendidikannya di Jakarta pada 1943. Satu tahun berselang, ia kembali ke Gontor untuk mengajar dan menjabat sebagai wakil direktur di almamaternya itu. Selain itu, Idham juga mendalami bahasa-bahasa asing. Tercatat, dia sanggup menguasai enam bahasa asing yaitu Arab, Inggris, Jepang, Belanda, Perancis, dan Jerman. Dua bahasa terakhir ia kuasai secara pasif. 

Ada berkah tersendiri bagi Idham muda karena mampu menguasai bahasa-bahasa asing. Misalnya karena kepiawaiannya dalam bahasa Jepang, Idham diundang untuk mengunjungi negeri sakura tersebut. Idham juga ditunjuk menjadi penerjemah pihak Jepang ketika mereka berkomunikasi dengan para alim ulama Nusantara.  

Kiprah dan peran Idham di Gontor tidak bisa diremehkan. Bahkan, dia sempat menjabat sebagai Ketua Umum Badan Wakaf Pondok Modern Gontor sebelum akhirnya memilih pulang ke kampung halamannya.

Pulang kampung

Idham muda memutuskan kembali ke Amuntai tahun 1945. Ia diminta untuk menjadi kepala sekolah di madrasahnya dulu, Madrasah Al-Rasyidiyyah. Berbagai macam pembaharuan pun dilakukan seperti mengubah nama madrasah menjadi Normal Islam Amuntai, menyesuaikan sistem pengajaran dan pendidikan seperti Gontor, menularkan semangat kebangsaan kepada anak didiknya, dan menambah mata pelajaran terutama  ilmu eksakta dan ilmu umum disamping ilmu agama. Bahasa Arab digunakan sebagai bahasa pengantar. 

Merujuk buku Idham Chalid: Guru Politik Orang NU, Idham membentuk ikatan sekolah Islam (Ittihad Al-Ma’ahid Al Islamiyyah) untuk melawan Jepang dan membangun kerja sama antar sekolah Islam. Ada tujuh sekolah Islam yang tergabung dalam jaringan pesantren bentukan Idham ini: Normal Islam (Amuntai), Al-Fatah (Paliwara Hilir), Zakhratun Nisaa (Paliwara Hulu), Al-Hidayah (Sungai Durian), At-Tadlhiyyah (Pekapuran), Al-Fajar (Paringin), As-Sullamun Najah (Telaga Selaba), dan Asy-Syafi’iyyah (Lok Bangkai).

Semenjak itu, Kiai Idham lebih banyak berikiprah di dunia politik dan pemerintahan. Namun demikian, ia tidak meninggalkan sama sekali hal-hal yang berkaitan dengan dunia pendidikan. Bahkan pada 1959, Kiai Idham mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari Universitas Al-Azhar Mesir dalam bidang pengetahuan Islam dan perjuangan Islam.

Yayasan Darul Quran Idham Chalid dan Darul Maarif yang berada di Jakarta Selatan menjadi ‘penanda akhir’ dari perjuangan dan petualangan Kiai Idham Chalid dalam dunia pendidikan. Iya, Kiai Idham telah mewariskan dua yayasan pendidikan pesantren tersebut kepada generasi setelahnya. (A Muchlishon Rochmat)