Fragmen

Majelis 24, Perumus Khittah NU 1926

Sabtu, 21 Maret 2015 | 07:01 WIB

Muktamar NU 1984 di Situbondo merupakan muktamar terpenting pascakemerdekaan RI. Di forum tertinggi warga Nahdliyin itu dibahas soal penerimaan Pancasila sebagai Asas Tunggal. Hal tak kalah penting adalah isu “Kembali ke Khittah NU 1926”. <>

Setahun sebelum muktamar digelar, persisnya pada pertengahan Mei 1983, 24 kader NU menghelat sebuah pertemuan bersejarah di Jakarta. Mereka hendak mengawali perumusan Khittah NU 1926 yang ingin diajukan dalam Munas Alim Ulama NU yang akan digelar di Situbondo Jawa Timur.

Kumpulan 24 kader NU yang kemudian sering disebut “Majelis 24” itu pada 12 Mei 1983 menetapkan “Kembali ke Khittah NU 1926” sebagai payung bersama untuk gerakan menata kembali Jam’iyyah Nahdlatul Ulama.

Ke-24 kader NU itu adalah: 1) KH MA Sahal Mahfudh, 2) H Abdurrahman Wahid (Gus Dur), 3) H Musthofa Bisri (Gus Mus), 4) Dr Asip Hadipranata, 5) H Mahbub Djunaidi, 6) Drs HM Tolchah Hasan, 7) Drs HM Zamroni, 8) dr HM Thohir, 9) dr H Fahmi Dja’far Saifuddin, 10) HM Said Budairy, 11) Abdullah Syarwani SH, 12) HM Munasir.

Kemudian, 13) KH Muchit Muzadi, 14) HM Saiful Mudjab, 15) Drs H Umar Basalim, 16) Drs H Cholil Musaddad, 17) Gaffar Rahman SH, 18) Drs H Slamet, 19) Drs HM Ichwan Syam, 20) Drs H Musa Abdillah, 21) Musthofa Zuhad, 22) HM Danial Tandjung, 23) Ahmad Bagdja, dan 24) Drs Masdar Farid Mas’udi.

Untuk menindaklanjuti kesepakatan, Majelis 24 membentuk Tim 7. Sebuah tim kerja yang terdiri dari tujuh orang: 1) Gus Dur (ketua), 2) Zamroni (wakil ketua), 3) Said Budairi (sekretaris), dengan anggota 4) Mahbub Djunaidi, 5) Fahmi D Saifuddin, 6) Danial Tandjung, dan 7) Ahmad Bagdja.

Tim ini kemudian bertugas merumuskan aneka usulan “Pemulihan Khittah” dalam bentuk tulisan. Selama kurang lebih tujuh bulan bekerja, Tim 7 berhasil memformulasikan lebih konkrit gagasan pemulihan khittah NU 1926.

Bersama Fahmi Saifuddin, Said Budairi menggerakkan dan memfasilitasi Tim 7 melakukan banyak pertemuan yang digelar secara masif, terstruktur, dan sistematis. Pertemuan tersebut dalam rangka sosialisasi sekaligus meminta masukan demi penyempurnaan konsep khittah NU.

Dalam suatu pertemuan, Said Budairi mengusulkan pentingnya perluasan makna ibadah dan dinamisasi pemahaman fiqh. Bagi dia, gagasan tersebut bukan hanya terkait dengan kepemimpinan NU, namun juga konskuensi logis dari pemulihan khittah NU sebagai jam’iyyah diniyah (organisasi keagamaan). Legitimasi fiqh diperlukan untuk pelbagai kegiatan sosial yang dianjurkan.

Dalam pertemuan tersebut, wartawan NU ini menunjukkan fakta yang ditemukan di lapangan bahwa pengembangan Khittah NU di bidang sosial tidak mendapat apresiasi hanya karena tidak memiliki pijakan metodologis secara fiqh.

Dengan tegas Said mengatakan, “Gejala yang kita lihat sekarang tentang perluasan arti ibadah sudah banyak yang bisa memahami. Tetapi yang terlahir dari sikap konsekuen pada tradisi Sunni masih amat jarang.”

Pendapat Said Budairy menyangkut kerangka pengembangan fiqh menjadi bagian penting dari draft konsep pemulihan Khittah NU. Ruang lingkup pengertian ibadah diperluas, tidak hanya amalan ritual keagamaan saja yang disebut ibadah berpahala, akan tetapi kerja-kerja sosial juga bisa bermakna ibadah jika diniatkan sebagai ibadah. (Musthofa Asrori)

Disarikan dari buku biografi “Muhammad Said Budairi, Wartawan NU itu...