Langkah pemulihan keamanan dan persaudaraan atau rekonsiliasi antar-anak bangsa secara cepat dilakukan oleh Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di tengah menghadapi pemakzulan (impeachment) dirinya oleh Parlemen, yaitu DPR dan MPR. Dewan Perwakilan Rakyat kala itu dipimpin oleh Akbar Tandjung dan Majelis Permusyawaratan Rakyat diketuai oleh Amien Rais.
Hingga saat ini, secara hukum dan konstitusional Gus Dur tidak pernah terbukti melakukan pelanggaran yang dituduhkan. Baik skandal Buloggate dan Bruneigate. Situasi konflik yang menyebabkan Gus Dur berhadapan dengan DPR dan MPR ialah lebih kepada proses pemecatan dan pengangkatan sejumlah pejabat negara, seperti menteri dan kapolri. Bahkan alasan terakhir bisa dikatakan sebagai pemicu makin runcingnya konflik Gus Dur dengan Parlemen.
Terancam dilengserkan parlemen, sejumlah pendaftar pasukan pembela Presiden Abdurrahman Wahid di Pos Komando di berbagai daerah di Indonesia semakin bertambah. Mereka menamakan dirinya sebagai pasukan berani mati. Namun, Gus Dur mengaku dirinya tak perlu berbuat apa pun atas program berani mati membela sosok Presiden itu. Pasalnya, dia menganggap aksi pendukungnya selama ini tak pernah anarkis.
Protes dari warga NU kian memuncak tatkala memasuki tahun 2001. Kompas pada 22 April 2001 menyebut bahwa pada bulan April 2001 sudah terdapat sekitar 300.000 barisan massa Nahdliyin yang siap memberangkatkan diri ke Jakarta. Namun, Gus Dur menahan mereka untuk kepentingan bangsa yang lebih luas. Ia tidak mau tidak mau terjadi pertumpahan darah dan perang saudara sesama anakbangsa.
“Setinggi apa sih jabatan presiden itu sehingga harus menimbulkan pertumpahan darah?” ungkap Gus Dur menjelaskan proses rekonsiliasi yang dilakukannya untuk para pendukungnya.
Kala itu, situasi politik di akhir masa jabatan Gus Dur sebagai Presiden ke-4 Republik Indonesia memang sangat panas. Barisan loyalis Gur Dur sempat maju dan mengepung gedung MPR/DPR di Senayan, Jakarta. Kemarahan massa kian memuncak tatkala manuver politik para elit di parlemen menghasilkan percepatan Sidang Istimewa (SI) MPR dari tanggal 1 Agustus 2001 menjadi 23 Juli.
Barisan pembela Gus Dur secara tegas mendeklarasikan diri sebagai pasukan berani mati ketika mendengar kabar ia akan dilengserkan. Sejak pertengahan tahun 2000, Gus Dur memang sudah dikenal memiliki basis pendukung setia dari kalangan komunitas Islam. SI MPR pada 23 Juli memang kemudian memutuskan Gus Dur turun dari jabatannya sebagai presiden.
Paham bahwa potensi terjadinya kericuhan sangat besar, Gus Dur memilih untuk menanggapi situasi tersebut dengan santai. Cendekiawan Nahdlatul Ulama (NU) itu bahkan masih sempat bercanda tentang celana pendek yang ia kenakan di malam pemakzulannya.
Sebelum pemakzulan, Gus Dur yang menyadari gejolak amarah para santri buru-buru melarang mereka turun untuk menggelar aksi protes atas nama pasukan rela mati. Ia sempat berkeliling memberikan wejangan kepada segenap ulama dan para santri di sejumlah pondok pesantren.
Dilaporkan Kompas pada 10 Juni 2001, dalam pertemuan dengan sejumlah ulama memperingati 100 Tahun Berdirinya Pondok Pesantren Futtuhiyah di Mranggen, Demak, Jawa Tengah, Gus Dur berpesan agar ulama tidak terpancing amarahnya atas nama solidaritas umat Muslim.
Menurut dia, ulama seharusnya tidak boleh terlalu larut dalam politik. Dengan tegas, Gus Dur meminta ulama, kiai, dan santri di lingkungan NU untuk tidak pergi berunjuk rasa dan membuat kegaduhan di Jakarta. Sebaliknya, ia meminta agar segenap pendukungnya tetap meyakini kapabilitas pemerintah dalam menuntaskan persoalan politik.
"Sesama orang Islam itu bersaudara. Kenyataan ini harus dipahami bahwa tindakan kekerasan tidak menyelesaikan persoalan. Jika banyak warga NU ke Jakarta, kemudian membuat gegeran malah akan menambah keributan di Jakarta," ujar Gus Dur dikutip NU Online dari Tirto.
Pada kesempatan yang sama, Gus Dur juga berujar bahwa dirinya masih bisa mengatasi persoalan di ibu kota secara diplomatis. Ketua Umum Tanfidziyah PBNU (1984-1999) itu juga mengingatkan pentingnya solidaritas umat Muslim dalam tradisi pondok pesantren.
"Ada beda antara keras dan tegas. Ibarat pepatah nenek moyang, pohon tinggi harus berani menentang angin yang bertiup keras. Nanti kalau saya tidak lagi sanggup mengatasi persoalan itu, saya kan bisa bengok-bengok (teriak minta tolong) sama ulama. Ke mana lagi kalau tidak minta tolong ke ulama, itu kan juga tradisi orang pondok pesantren," lanjut Gus Dur.
Gus Dur menyadari bahwa pusaran konflik berada di hadapannya dan mengelilinginya. Sebagai subjek yang ada dalam pusat konflik, tidak lain dan tidak bukan Gus Dur sendirilah yang menjadi solusi utama peredam konflik tersebut. Ia secara bijak memilih meletakkan jabatan presiden untuk kepentingan persatuan bangsa meskipun secara hukum dan konstitusi tidak terbukti melakukan pelanggaran-pelanggaran yang dituduhkan.
Gus Dur menegaskan bahwa yang dilakukannya adalah sesuatu yang wajar dan biasa-biasa saja. Pandangan sebaliknya datang dari sejumlah tokoh bahwa apa yang dilakukan oleh Gus Dur merupakan rekonsiliasi tingkat tinggi. Hal itu merupakan teladan yang penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia dalam setiap menghadapi konflik politik yang melibatkan rakyat banyak. Karena, yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan! (Fathoni)