Internasional

Akademisi Indonesia Ungkap Rahasia Jadi Peneliti di Oxford

Jumat, 20 Desember 2019 | 13:00 WIB

Akademisi Indonesia Ungkap Rahasia Jadi Peneliti di Oxford

Idhamsyah Eka Putra (Foto: Dok pribadi)

Oxford, NU Online
Akademisi asal Indonesia, Idhamsyah Eka Putra yang diangkat menjadi anggota kehormatan Visiting Research Fellow di salah satu pusat penelitian di University of Oxford membagikan tipsnya bagaimana bisa terlibat sebagai peneliti di salah satu universitas ternama dunia tersebut.
 
Bang Idham, demikian ia sering disapa yang namanya pun sudah masuk di website resmi lembaga tersebut http://cric-oxford.org/idhamsyah-eka-putra/ mengatakan dirinya termasuk orang yang sangat menikmati dunia penelitian. Terutama penelitian yang memiliki basis keilmuan serta metodologi yang kuat.
 
Berkarir menjadi akademisi dan melakukan riset-riset yang memiliki scientific base kuat sebenarnya sangat bertolak belakang dengan jalur-jalur karir atau pekerjaan zaman sekarang.
 
"Maksudnya, zaman sekarang orang ingin melakukan dan mendapatkan sesuatu dengan cepat. Orang yang hobi menulis, inginnya selesai cepat. Dan mungkin juga segera di-publish. Punya karya sesuatu kalau bisa segera diekspose dan banyak orang yang tahu. Ini sangat berbeda dengan riset-riset yang basisnya sains dan ingin dipublikasikan," kata Bang Idham.
 
Ketika melakukan riset, dan hasil riset itu ingin dipublikasikan, prosesnya panjang sekali dan melelahkan. Gaya zaman sekarang yang ingin serba cepat dan kalau perlu tidak susah-susah. Bagi mereka yang memiliki komitmen menjadi akademisi yang terus melakukan penelitan dan mempublikasikannya, merupakan suatu tantangan sendiri.
 
"Buat saya memperjuangkan hasil riset untuk dipublikasikan di jurnal-jurnal ilmiah terpercaya itu sangat painful dan 'melelahkan'. Tapi saya menganggap dunia ini sebagai petualangan baru," kata Bang Idham.
 
Ia mengibaratkan, "Dulu hobi saya mendaki gunung dan manjat tebing. Walaupun melelahkan, saya sangat menikmatinya. Apalagi setelah momen yang melelahkan mendaki gunung, ketika sampai puncak seluruh kelelahan seperti hilang. Lupa karena saya telah mencapai hal yang saya targetkan. Yaitu sampai di puncak gunung. Namun saat turun gunung, mulai terasa lelah lagi deh." 
 
Menurutnya hal itu sama dengan proses publikasi ilmiah. Melakukan riset, mempersiakan tulisan untuk di-publish di jurnal ilmiah, dan memperjuangkan agar bisa lolos dalam proses review. 
 
Dari pengalaman Harvey, kata Idham, sedikit sekali orang Indonesia, terutama yang konsen pada isu-isu sosial yang benaran aktif dalam pengembangan keilmuan dan publikasi ilmiah.
 
"Yang menjadi peneliti banyak, tapi jarang yang seperti saya. Itu kata Harvey. Saya pribadi memiliki pandangan bahwa sejelek apa pun risetnya, riset itu tetap berguna jika bisa diperjuangkan untuk dipublikasikan. Kebalikannya, sebagus apa pun riset yang dilakukan, tapi kalau ujungnya tidak di-publish, ya sama saja tidak ada gunanya," ungkapnya.
 
Karena itu, memperjuangkan riset-riset yang dilakukan untuk kemudian dipublikasikan, menjadi modal kekuatan Bang Idham. Namun, perlu diingat bahwa ida bukan peneliti yang melakukan penelitian segala: peneliti yang apa pun diteliti.
 
"Saya bukan orang seperti itu. Kalau misalnya ada orang yang mengajak berkolaborasi pada studi yang bukan fokus saya, biasanya saya akan sampaikan ini fokus saya dan mungkin ada orang lain yang lebih berminat," imbuhnya.
 
Secara umum, akunya, fokus penelitiannya lebih pada isu-isu kemanusiaan, termasuk mengapa orang saling benci, tetapi mengapa juga orang orang yang suka berbuat baik.

"Mungkin karena konsen saya ini dan studi-studi yang saya lakukan ini, Harvey merasa perlu memberikan apresiasi kepada saya," katanya.
 
 
Kontributor: Any Rufaedah
Editor: Kendi Setiawan