Jakarta, NU Online
Malam ke-27 Ramadhan menjadi malam istimewa bagi masyarakat muslim Tunisia. Mereka meyakini pada malam itu sebagai lailatul qadar, sebagaimana anggapan orang-orang Maghrib. Masyarakat Tunis menyambutnya dengan antusias. Mereka berduyun-duyung ke masjid.
"Malam itu, masjid-masjid besar penuh orang yang shalat tarawih," kata Arina Falabiba, mahasiswi Universitas Zitouna kepada NU Online, Sabtu (26/5).
Lebih dari itu, mereka juga menyiapkan hidangan besar. Kuskus, makanan khas Tunis yang biasa disajikan saat hari khusus dan besar, pun disiapkan. Artinya, malam 27 Ramadhan merupakan hari khusus dan besar bagi mereka. Tak ayal, perempuan yang akrab disapa Fela itu pun kecipratan berkahnya.
"Dibagikan kepada kami orang Indonesia yang tinggal atau kos di rumah orang Tunis," ujarnya.
Meskipun malam ke-27 sangat ramai, penyambutan kedatangan Ramadhan sendiri tidak demikian halnya. Tidak ada penyambutan khusus dalam rangka menyongsong bulan yang dirindukan muslim dunia itu. "Tidak ada tradisi. Sama seperti hari-hari biasa," kata alumnus Pondok Pesantren Sunan Pandanaran, Yogyakarta, itu.
Tak seperti di Indonesia, Fela dan rekan-rekannya tak bisa menghabiskan waktu menjelang Maghrib dengan ngabuburit. Sebab, di sana tidak ada tradisi demikian. Bahkan, dari toko sampai supermarket tutup menjelang terbenamnya matahari itu. Suasana kota pun sepi seakan tak ada seorang pun di jalanan.
"Dan di sana justru suasana menjadi hening dan sepi. Gak ada satu orang pun berkeliaran di jalan. Toko-toko tutup, supermarket dan semua aktifitas di luar rumah terhenti," terangnya.
Mereka, kata perempuan asal Cirebon itu, akan kembali melakukan aktifitas menjelang shalat Isya. Terlebih pada malam tanggal ke-10 dan seterusnya, selepas Maghrib sekitar pukul 21.00, pasar tradisional akan sangat ramai sampai menjelang sahur. Mereka menjual aneka hiasan dan oleh-oleh khas Tunis. Bagi mereka, aktifitas malam di bulan Ramadhan sudah biasa dan lumrah.
"Itu sangat lumrah di kalangan masyarakat tunis jika masih ada aktifitas jual beli sampai larut malam hari di bulan Ramadhan," ucapnya.
Masyarakat Tunis berbuka dengan takjil makanan khas mereka, seperti khalawiyat, kurma, susu, citrun, 'asir (jus buah). Kemudian, baru mereka menikmati makanan pokok bagette, syurbah (sup gandum), brik (seperti risol, di Indonesia, di dalamnya ada kentang, keju, gouta).
Sementara itu, orang Indonesia, katanya, tetap manyantap nasi dan lauk pauk khasnya. Dengan keterbatasan bumbu dan sayur-mayur, ia dan rekan-rekannya mengolah bahan seadanya itu menjadi makanan Indonesia.
Puasa di negeri yang mengawali terjadinya revolusi Arab itu, kurang lebih menghabiskan waktu 16 jam dari jam 3.20 sampai 19.28. Lamanya puasa itu diperparah dengan suhu sekitar di atas 30 derajat.
"Sebab, puasa jatuh di musim panas maka bulan puasa jadi terasa lebih panjang," jelasnya.
Meskipun demikian, puasa tahun ini, katanya, masih lebih baik dari tahun lalu. Sebab, suhu udara pada Ramadhan tahun lalu mencapai 40 derajat. "Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya yang mencapai angka 40-an," katanya.
Di balik itu semua, diam-diam bersama rekannya yang juga asal Cirebon, Aisyah Kriyani, ia merindukan suara 'ting-ting' selepas shalat tarawih. Tentu bukan sekadar suaranya yang mereka rindukan. Bawaan orang yang membunyikan suara itu yang mereka harap bisa segera dinikmati dengan lahapnya.
"Tapi sesungguhnya kami sangat merindukan 'ting-ting' penjual makanan keliling sehabis tarawih," kata perempuan berdarah Pondok Pesantren Babakan, Ciwaringin, Cirebon, Jawa Barat itu.
Ia mengatakan bahwa lebih syahdu Ramadhan di Indonesia. "Ramadhan di Indonesia tentu jauh lebih syahdu," pungkasnya. (Syakir NF/Ibnu Nawawi)