Solo, NU Online
Secara teori, berpuasa di negara-negera bermusim ekstrem, khususnya di wilayah arktika dan negara-negara yang dekat dengan kutub utara berdurasi sangat panjang, atau sebaliknya sangat pendek bergantung pada musim. Di musim panas, puasa di wilayah ini bisa memakan waktu sangat lama. Sedangkan di musim dingin terkadang matahari tidak pernah menampakkan diri.
Contoh negara-negara yang dekat dengan kutub utara adalah Swedia dan Norwegia. Di sana pada musim panas ada kalanya matahari terbit sejak pukul 02.47 dini hari dan baru terbenam pada pukul 23.50 menjelang tengah malam. Ini artinya waktu siang berlangsung kira-kira 21 jam dan waktu malamnya hanya 3 jam. Bahkan di bulan Juli terkadang matahari tidak pernah tenggelam.
Sebaliknya, di musim dingin seperti di bulan Desember ada saatnya matahari tidak pernah tampak sama sekali. Tentu ini berbeda dengan negara-negara yang berada di garis khatulistiwa dan sekitarnya seperti Indonesia dan Saudi Arabia yang durasi puasanya normal, yakni rata-rata 14-16 jam.
Apa yang terjadi negara-negera bermusim ekstrem seperti Swedia dan Norwegia tersebut bisa menjadi masalah tersendiri yang pemecahannya dapat diperdebatkan menurut fiqih. Misalnya, apakah orang-orang Islam di sana harus berpuasa selama 21 jam di musim panas atau bahkan tidak boleh berbuka ketika matahari tidak pernah tenggelam? Sebaliknya di musim dingin, apakah mereka boleh tidak berpuasa dengan alasan karena matahari tidak pernah tampak?
Menurut Dr. Abdul Hadi Adnan, mantan diplomat RI yang terakhir menjabat sebagai Duta Besar RI untuk Sudan (1999-2002), berpuasa di negara-negera bermusim ekstrem seperti Swedia dan Norwegia sebetulnya tidak seekstrem seperti yang banyak dipikirkan orang karena dalam praktiknya ada solusi yang masuk akal.
Solusi itu, menurut pendapat mantan dubes Sudan tersebut sebagaimana dimuat di Majalah Serambi Al-Muayyad, Edisi 07/TH. III/Rabiul Tsani 1436 H/ Januari 2015 M, adalah mengikuti aturan yang berlaku di negara atau wilayah di dekatnya yang memungkinkan untuk berpuasa secara lebih normal. Misalnya 17-18 jam. Jadi tidak sepenuhnya bergantung pada penampakan matahari.
“Menurut beberapa ulama, berpuasa di dua tempat yang ekstrem seperti itu dapat mengikuti aturan yang berlaku di negara atau wilayah di dekatnya yang memungkinkan untuk berpuasa secara lebih normal. Jadi bukan mengikuti aturan waktu di Makkah atau di negara asal,” demikian penjelasan santri Mbah Kiai Ali Ma’shum Krapyak Yogyakarta ini berdasarkan pengalamannya sebagai diplomat yang telah bertugas di berbagai negara di dunia. (Muhammad Ishom/Mahbib)