Internasional DARI PEMBACA

Berseminya NU dan Nasionalisme di Tanah Rantau

Selasa, 17 Februari 2015 | 01:01 WIB

Derasnya arus moderenisasi di berbagai sektor kehidupan memaksa semua lapisan masyarakat untuk berjalan seiring dengan kemajuan. Tak terkecuali NU (Nahdlatul Ulama) sebagai organisasi masyarakat terbesar di Tanah Air, jika tidak ingin tergerus arus zaman maka sudah semestinya mengikuti rentak nadi perubahan zaman.
<>
Ada beberapa platform yang sering kali di lekatkan kepada NU dan masyarakatnya, mulai dari julukan yang nontendensius  seperti  kaum sarungan, kaum santri, Islam Tradisional, Islam Pribumi  dan lain lain. Sampai kepada julukan yang berkelindan dengan asosiasi negatif seperti jamaah kantong bid'ah, organisasi nunut urip, kaum kolot serta terbelakang dan sebagainya. Berbagai julukan tersebut tentunya mengundang reaksi beragam dari masyarakat Nahdliyyin, ada yang membela secara agresif, ada yang datar dan dingin saja serta ada pula yang berusaha menampilkan wajah baru dengan membenahi  sistem organisasi.

Sejak berdirinya pada Tahun 1926, NU memang mendedikasikan pengabdiannya kapada pemberdayaan dan membentengi umat melalui berbagai budaya lokal yang di beri sentuhan nafas religius. Selain sebagai pernyataan sikap terhadap invasi agresif kaum Wahabi yang menguasai dua kota suci di Hijaz. Dampak dari agresi ini telah melukai tidak sedikit kaum muslimin di penjuru dunia, dimana berabad abad situs yang mempunyai nilai sejarah terjaga dan tidak dipersoalkan kini diberangus. Kini kita tidak bisa menyaksikan rumah Al Arqam (baitul arqam) tempat pengkaderan pertama para sahabat oleh baginda Nabi, rumah Khadijah, makam para sahabat, dan lain lain.

Hadhratussyaikh KH Hasyim Asy'ari sebagai soko guru kaum Nahdliyin ketika itu sampai mengirim utusan khusus untuk menyampaikan sikap kaum muslim supaya jangan mengutak atik makam baginda Nabi di Madinah. Upaya kaum elite NU ini membuahkan hasil, sampai sekarang umat Islam masih tetap bisa berziarah dan memupuk semangat iman dangan menyaksikan dari dekat atsar perjuangan Baginda Nabi di Madinah. Namun kebebasan itu sampai kini masih tetap dalam bayang bayang kesewenang wenangan dan sikap arogan penguasa Wahabi di tanah Hijaz.

Pesantren adalah Basis perjuangan dan pengkaderan NU sejak semula. Lembaga pendidikan Islam yang tidak di ketahui secara persis kapan bermulanya itu memang tergolong unik. Bahkan perjuangan kemerdekaan Indonesia tak bisa lepas dari peran para kiai dan pesantren. Sebut saja laskar Hizbullah kemudian fatwa jihad yang fenomenal itu dan belum lagi perang kultural yang tak hentinya di hembuskan oleh para kiai melalui jaringan pesantrennya terbukti ampuh untuk melawan dan mengusir kolonial dari bercokol dan mencengkeramkan hegemoninya di bumi Nusantara.

Bahkan untuk yang terakhir yakni perang kultural masih lekat dalam ingatan penulis yang tak jarang mendapati para guru dan asatidz di pesantren salaf yang masih enggan memakai celana safari apalagi jas dan dasi. Tak  lain adalah bekas dari perang kultural yang diembuskan oleh para kiai bahwa celana, jas dan dasi adalah pakaian kompeni. Berpakaian dan berprilaku sama dengan kompeni adalah menyamakan diri dengan mereka dan barang siapa sama dengan mereka maka orang itu adalah bagian dari mereka. Itulah adagium sakti dari para kiai yang mampu memukul mundur penjajah, setelah diketahui kemudian pedoman itu rupanya adalah salah satu Hadits Nabi.

Lembaga pesantren telah melahirkan sejumlah tokoh penting di Tanah Air. Pada puncaknya yaitu berhasilnya KH Abdurrahman Wahid menduduki kursi RI 1, walaupun endingnya berakhir dramatis tetapi pesantren telah nyata memberikan sumbangsihnya yang terbaik untuk negeri ini. Sampai kini kita tidak heran lagi mantan alumni pesantren menduduki posisi mentri. Hal ini tentunya menaikkan nilai tawar dan peran dalam kancah sosial, budaya maupun percaturan politik di Tanah Air.

Selain berkiprah dan mewarnai kehidupan di Tanah Air, alumni pesantren ada juga yang melemparkan sauhnya di perantauan, mengikuti takdir Allah melabuhkan bahtera kehidupannya di negeri asing.  Sesuai dengan amanat pesantren, di manapun santri berada ia mestilah mewarnai kehidupan di sekitarnya dengan apa yang diperolehnya dari pesantren. Bermula dari perkenalan dengan sesama santri senasib, dari nostalgia pesantren menuju kepada obrolan ringan dan komitmen untuk menjaga nilai nilai pesantren, muncullah ide pengokohan dalam satu wadah yang kuat, mengingat kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan kebaikan yang tidak terorganisir.

Berkaca dari sejarah berdirinya, generasi pesantren di tanah rantau ingin bersama bahu-membahu li i'laa i kalimaatillah tanpa melunturkan nilai-nilai keindoneisaan. Di mana di era digital ini begitu banyaknya faham faham dan platform yang menjustifikasi dirinya dengan berbagai simbol besar Islam, mengatasnamakan dirinya sebagai pejuang al-Qur’an dan as-Sunnah namun tidak ramah "lingkungan", bahkan tak segan mereka melakukan pencitraan dengan istilah-istilah sakral dalam Islam. Sikap ekstrem dan kebencian yang mereka tebarkan berpotensi merusak tatanan kehidupan bernegara yang dalam meraihnya telah menumpahkan darah tidak sedikit pahlawan pahlawan tanpa tanda jasa dari dunia pesantren.

NU Brunei Darussalam yang di motori oleh para alumni pesantren ingin mengibarkan panji Islam yang sejuk, Islam rahmatan lil aalamiin yakni Islam yang dalam aksi dakwahnya menggunakan cara cara damai tanpa mendiskreditkan agama lain yang dalam konteks Indonesia sudah tentunya setara di depan undang-undang. Di kala ormas Islam di Tanah Air mempersoalkan asas Pancasila sebagai landasan ideologi wajib bagi semua organisasi sosial, maka NU hadir pertama kali menerima asas tunggal sebagai landasan dalam berorganisasi. Pancasila tidak bertentangan dengan nilai Islam sebagai landasan organisasi dan telah mencapai kata final dalam khazanah pemikiran masyarakat Nahdliyin.

Di tengah gempuran nilai-nilai yang bertebaran bebas dalam jagat tak terbatas internet, NU Brunei Darussalam ingin tetap konsisten menjaga dan memelihara kultur pesantren yang sejuk. Menghidupkan lagi tradisi membaca maulid seperti di pesantren dengan suasana haru bahagia menyambut kelahiran Manusia Pilihan dengan rebana, menuntun umat perlahan-lahan kepada jalan kebahagiaan setelah terjadinya kematian dengan bertahlil bersama, memperkokoh benteng diri dengan membaca Ratib dan istighotsah, dan tentunya masih banyak lagi wahana dakwah khas warga Nahdliyin untuk menginternalisasikan nilai Islam ke dalam budaya lokal yang lainnya.

Berislam dengan tetap menjaga NKRI serta tipologi dakwah yang membina manusia kepada jalan bahagia tanpa mengesampingkan nilai nilai tasaamuh (toleran), tawasuth (moderat) dan i'tidal (mewujudkaan keadilan). Kemudian Pergulatan mempertahankan identitas dan nilai nilai sedemikian sudah semestinya wajar dan lumrah dalam setiap episode sejarah peradaban umat manusia.


Kuala Belait, 15 februari 2015
Jauhar Ahmad, kader setia pesantren yang mengadu nasib di perantauan