Oleh: H Khumaini Rosadi
Suhu di Hong Kong pada bulan Ramadhan ini sangat panas, mencapai 35 derajat Celcius. Bagi Buruh Migran Indonesia (BMI) hari Sabtu dan Ahad adalah hari libur mereka bekerja. Kesempatan libur ini banyak yang memanfaatkannya untuk berkumpul-kumpul di tempat yang kosong.
Pada Ahad (20/5) yang lalu saya melihat di Victoria Park, seakan-akan Hong Kong ini sudah seperti Indonesia saja. Banyak sekali perempuan Indonesia yang akrab terlihat dengan jilbab mereka berkumpul di taman ini. Jika sudah penuh ada yang memilih titik kumpul di bawah-bawah tangga yang kosong, salah satunya di Taipo. Tangga yang bertuliskan tahun-tahun tempat tuan rumah dilaksanakannya olimpiade. Tinggal menggelar tikar, cukuplah untuk mereka sebagai sarana kumpul dan bertukar cerita.
Siang itu saya bertugas menyampaikan ceramah di Taipo. Ditemani oleh seorang relawan, perjalanan ke Taipo dari Causeway Bay. Menunggu bus di depan Victoria Park agak lama, baru tiba bus bernomor 370 yang akan menuju Taipo. Jarak tempuh tempat pengajian kurang lebih sekitar satu jam perjalanan bus bertingkat dua, antara Causeway Bay ke Taipo. Dan itu pun harus menunggu agak lama. Setiap jurusan ada nomornya, untuk jurusan Causeway Bay (dekat Victoria Park– salah satu destinasi tempat kumpul dan pengajian BMI) ke Taipo menggunakan bus bernomor 370.
Kondisi masyarakat di Hongkong itu memang semuanya menggunakan transportasi umum. Jarang mereka menggunakan transportasi pribadi karena mahal. Belum untuk biaya parkirnya, biaya per km-nya pun itu diperhatikan bahkan dihitung. Tidak sembarangan memakai jalan umum, semua ada biayanya. Karena itu di sini jarang macet dan orangnya juga sehat-sehat karena banyak yang jalan kaki. Para pejalan kali lalu lalang menyeberangi jalanan.
Setiap menaiki bus atau transportasi umum di sini, harus memiliki kartu semacam E-toll yang ditempelkan ke alat pembaca biaya naik bus dan secara otomatis akan berkurang saldo di kartu kita. Sepanjang perjalanan, pemandangan bukit-bukit yang indah, dan hamparan laut yang memukau membuat perjalanan semakin asyik. Gedung-gedung pencakar langit yang berjejer rapih membuat suasana Hong Kong tambah indah. Apalagi kalau duduk di lantai dua bus, pemandangan semakin terlihat bagus. Jalanannya pun mulus, bersih, dan mengesankan.
Saat tiba di Taipo, ternyata jamaah pengajian majelis taklim sudah siap dengan gelaran tikarnya di bawah jembatan Taipo. Sambil berbaring-baring karena menunggu lama dari pukul 14.00 waktu Hong Kong, saya baru tiba pukul 15.00 karena lama menunggu bus. Pengajian dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-Qur'an dilanjutkan dengan saritilawah.
Teman saya, yang juga seorang Dai Ambassador yang pada tahun 2017 lalu bertugas di Hong Kong, Muhandis az-Zuhri, ketika melihat postingan foto pengajian di kolong jembatan di Taipo, bertanya, "Yang dekat terminal apa ya Tadz?"
Tampaknya memang beliau sangat terkesan sekali dengan model pengajian BMI yang ada di Hong Kong. Unik. Memang sangat mengesankan mengaji di bawah kolong jembatan.
Sementara ada juga teman saya yang mengatakan miris dan prihatin melihat postingan saya itu. Mungkin dia melihat dari sudut pandang yang berbeda, karena memang setiap isi kepala manusia pendapatnya pasti berbeda-beda. Beliau mengatakan, "Apa enggak bising di bawah jembatan pengajiannya? Lho kok nggak di masjid atau di rumah atau di gedung-gedung nya yang menjulang tinggi sampai langit? Menyedihkan. Mengaji kok di kolong jembatan! Gimana ceritanya nih?"
Inilah bukti, bahwa dalam segala sesuatu hal yang menurut kita sendiri itu baik, belum tentu menurut orang lain baik. Tentunya harus bijaksana dalam menyikapi segala perbedaan itu. Seperti orang buta yang mengatakan gajah itu lebar karena memegang kupingnya gajah. Ada yang mengatakan gajah itu panjang karena memegang belalainya.
(Baca: 170 Ribu BMI Semarakkan Ramadhan di Hong Kong)
Ada yang mengatakan gajah itu tajam karena memegang ujung gadingnya. Ada yang mengatakan gajah itu besar karena memegang perutnya. Ada yang mengatakan gajah itu keras karena memegang kakinya gajah. Ada juga yang mengatakan gajah itu berbulu karena memegang buntunya gajah.
Kembali ke soal acara dakwah saya. Ternyata jika mau memberikan ceramah di hadapan ibu-ibu majelis taklim di Hong Kong, harus bisa shalawatan. Terutama Majelis Taklim Al-Muhajiroh Taipo, majelis taklim yang setiap hari Sabtu berkumpul dan menggelar tikar di bawah kolong Jembatan Taipo. Ibu-ibunya pandai bermain rebana dan bersenandung shalawat. Saya pun didaulat untuk bershalawat.
Tawaran itu pun saya sambut dengan senang hati. Saya segera melantunkan Ya Habibal Qolbi yang sedang viral saat ini. Inilah pentingnya metode dakwah. Berdakwah dengan santun, berdakwah menyesuaikan dengan mad’u nya. Sehingga dakwah yang disampaikan dapat diterima dan mudah untuk diamalkan.
(Baca: Kolong Jembatan,Titik Kumpul Diaspora Indonesia di Hong Kong)
Dan itu juga keunikan pengajian di kolong jembatan di Hong Kong, mengaji sambil hiburan. Sesekali orang yang lalu lalang seperti penasaran. Bahkan ada yang sampai mendekati sambal mendengarkan, mendokumentasikannya dengan memotret, merekam video, atau ikut menikmati sambal memberikan jempol good-nya.
Menurut Rusmini, relawan yang mengantar saya, keadaannya berbeda jika di Macau. Di Macau pengajian biasanya digelar di malam hari, pagi sampai siang istirahat. Di Hong Kong pengajian digelar siang sampai sore hari. Umumnya pengajian dilakukan pada hari libur, yaitu Sabtu dan Ahad.
Penulis adalah Corps Dai Ambassador, Tim Inti Dai Internasional dan Multimedia (TIDIM) LDNU yang ditugaskan ke Hong Kong.