Internasional

Dakwah Dai Indonesia di Jepang, dari Dapur Menuju Masjid yang Makmur

Senin, 17 Maret 2025 | 09:00 WIB

Dakwah Dai Indonesia di Jepang, dari Dapur Menuju Masjid yang Makmur

Dai Indonesia Ustadz Ulin Nuha Karim dan sahabatnya di Jepag. (Foto: dok. pribadi)

Niigata, NU Online

Kegiatan dakwah merupakan aktifitas yang multidimensi dengan berbagai macam segmentasi objek dakwah. Seperti halnya di Masjid Nusantara Tsubame Niigata Jepang yang mayoritas jamaahnya adalah para Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau pun juga para warga Indonesia yang menikah dengan warga lokal Jepang.


Masjid Nusantara Tsubame Nigata sendiri merupakan masjid yang cukup baru. Bangunan ini awalnya merupakan sebuah gedung yang sudah tidak terpakai. Kemudian baru terbeli, direnovasi dan bisa ditempati saat bulan Januari 2025. Dengan struktur bangunan berlantai dua, fasilitas di masjid ini cukup lengkap. Ada area depan yang diproyeksikan untuk toko halal, area masjid untuk shalat berjamaah, toilet pria – wanita di setiap lantai, ruang transit, kamar tidur, dan bahkan juga terdapar dapur masjid. 


Dengan fasilitas tersebut, dai yang bertugas pun mampu memenuhi kebutuhan konsumsi selama Ramadhan dengan leluasa dan mandiri. Sehingga tidak ada istilah culture shock terhadap makanan Jepang. Karena memang kami masih mampu dan leluasa untuk masak menu lokal nusantara dengan stok bahan masakan yang ada di kulkas dapur masjid. 


Awalnya, kami memasak dengan ukuran porsi 3 orang saja, yaitu saya, Fahmi, dan Suratman sebagai orang yang selalu di Masjid. Namun saat ibadah shalat tarawih selesai, dapur pun menjadi titik kumpul yang nyaman untuk para jamaah yang mayoritas TKI ini saling berinteraksi melepas penat.


Mereka duduk melingkar, mengitari meja makan yang juga bertempat di dapur masjid. Otimatis, secara langsung mereka pun juga mampu melihat menu apa yang telah kami tadinya kami santap saat berbuka puasa. Ada sambal balado terong, bakwan goreng, sayur sup ayam dan menu nusantara lainnya. 


Melihat menu nusantara tersebut, mereka pun tergiur untuk ikut menyantap. Dan benar, mereka cukup lahap saat memakannya. Diantara jamaah itu ada yang bernama Wahyu dan Alfiyan dari Lampung, Affan dari Sragen dan Aan dari Pacitan. Mereka semua menyatakan antusias dan merasa terobati atau kerinduan masakan nusantara.


Melihat geliat para jamaah terhadap masakan Nusantara. Akhirnya kami pun menjadikan menu Nusantara dan dapur masjid ini sebagai media dakwah. Yaitu dengan memasak menu Nusantara dengan porsi banyak, untuk kemudian dapat menarik minat jamaah agar hadir ke masjid. Bahkan setiap hari kami selalu memberikan informasi menu masakan kami di grup whatsapp Masjid Nusantara Tsubame Niigata. 


Seminggu berjalan, ternyata cara tersebut cukup efektif untuk meningkatkan minat jamaah untuk datang ke masjid. Ketika kami menginfokan di grup WA pun, membuat interaksi online menjadi hidup dan meningkat. Kini mulai banyak yang berdatangan di masjid untuk shalat berjamaah dan tarawih. Bahkan setelah ibadah selesai, interaksi dilanjutkan di dapur masjid sebagai tempat favorit baru guna melepas penat setelah seharian bekerja. 


Lewat kejadian ini, kami pun teringat akan filosofi dakwah dalam bahasa Jawa dari Sunan Drajat atau Raden Syarifuddin yang merupakan salah satu anggota Wali Songo sebagai berikut:


Wenehono teken marang wong kang wutho
(berilah petunjuk bagi orang yang buta)
Wenehono mangan marang wong kang luwe
(beirlah makan orang yang kelaparan)
Wenehono Busono marang wong kang Mudha
(berilah busana bagi orang yang telanjang)
Wenehono yupan marang wong kang kudhanan
(berilah payung bagi orang yang kehujanan)


Pada intinya, filosofi tersebut mengajarkan bahwa dakwah memiliki makna yang luas. Dakwah pun juga harus mampu menjadi jawaban kebutuhan umat. Oleh karenanya, dakwah tidak hanya selalu melalui majelis dan atau pidato di atas mimbar. Melainkan dakwah pun juga bisa dimulai dari dapur, untuk kemudian menuju masjid menjadi makmur.