Internasional

Di Hadapan Akademisi Jepang, Gus Ulil Jelaskan Islam dan Keberagaman di Indonesia

Selasa, 18 Maret 2025 | 16:00 WIB

Di Hadapan Akademisi Jepang, Gus Ulil Jelaskan Islam dan Keberagaman di Indonesia

Ketua PBNU KH Ulil Abshar Abdalla mengisi gelar wicara di Chuo University, Jepang, yang dipimpin oleh Profesor Hisanori Kato. (Foto: dok. istimewa)

Tokyo, NU Online

Ketua Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), KH Ulil Abshar Abdalla memaparkan perkembangan Islam dan demokrasi di Indonesia. Hal ini ia sampaikan saat mengisi gelar wicara di Chuo University, Jepang, yang dipimpin oleh Profesor Hisanori Kato. Dalam diskusi tersebut, Gus Ulil juga menyinggung tentang bagaimana Islam di Indonesia berkembang dengan karakter yang berbeda dari negara-negara lain, khususnya di Timur Tengah.


Dalam pemaparannya, pria yang kerap disapa Gus Ulil itu menjelaskan bahwa Islam di Indonesia tumbuh dalam keberagaman etnik dan budaya. Sebagai negara dengan ribuan pulau dan suku yang berbeda, Indonesia memiliki tantangan besar dalam menjaga persatuan.

 

Namun, menurutnya, keberagaman ini bisa dikelola dengan baik berkat tiga pilar utama yang menjadi perekat bangsa, yakni Pancasila sebagai ideologi pemersatu bangsa, Bhinneka Tunggal Ika yang menekankan persatuan dalam keberagaman, dan Kesatuan Bahasa Indonesia sebagai alat komunikasi yang menyatukan seluruh warga negara.


"Indonesia memiliki tantangan untuk merawat kesatuan dalam keberagaman. Pancasila, Bhinneka Tunggal Ika, dan kesatuan bahasa menjadi senjata ampuh untuk menjaga persatuan yang kokoh," jelas Gus Ulil dalam keterangannya yang diterima NU Online, Selasa (18/3/2025).

 

Islam di Indonesia, menurutnya, juga berkembang di atas budaya lokal dengan menjunjung tinggi nilai-nilai kebudayaan setempat, yang dikenal sebagai Islam Nusantara. Karena sudah terbiasa dengan perbedaan, Indonesia sangat mudah menerima orang asing yang datang. Masyarakatnya juga ramah dan murah senyum dalam kondisi apapun.


Dalam diskusi tersebut, Gus Ulil juga menekankan bahwa Islam Nusantara adalah Islam yang bersinergi dengan budaya lokal, bukan Islam yang eksklusif dan menghilangkan tradisi. Mahasiswa Jepang yang hadir dalam acara tersebut tampak antusias dan mengajukan pertanyaan tentang bagaimana NU menjaga hubungan dengan kelompok Islam lain yang memiliki pandangan berbeda.


Menanggapi hal itu, Gus Ulil mencontohkan hubungan baik antara Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, dua organisasi Islam terbesar di Indonesia.


"NU dan Muhammadiyah memiliki akar yang sama. Para pendirinya, yakni KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan, sama-sama pernah belajar di Makkah kepada Syekh Khatib Minangkabau. Meski kemudian mendirikan organisasi yang berbeda, hubungan mereka tetap terjaga dengan baik. Hingga kini, NU dan Muhammadiyah tetap saling berkomunikasi dengan baik," paparnya.


Di akhir diskusi, Gus Ulil dimintai pendapat tentang bagaimana Jepang bisa menjadi negara yang lebih terbuka seperti Indonesia. Gus Ulil dengan menegaskan bahwa Jepang sudah jauh lebih maju dibandingkan Indonesia, namun setiap negara memiliki histori yang berbeda dan bisa dipelajari.


"Saya tidak bisa memberi nasihat kepada negara yang menurut saya sudah jauh lebih maju dibandingkan Indonesia. Tapi saya selalu belajar dari mana pun. Setiap negara memiliki sejarahnya sendiri, dan dari situlah kita bisa belajar. Bahkan, saya juga membaca sejarah restorasi Meiji saat masih sekolah," pungkasnya.