Sydney, NU Online
Terma Fiqih Corona sesungguhnya hal yang baru. Tapi, maksud Fiqih Corona di sini adalah fiqih yang berkaitan perbuatan manusia karena adanya Covid-19. Istilah Fiqih Corona setali tiga uang dengan Fiqih Wabah atau Fiqih Pandemi.
"Istilah ini berbeda dengan istilah Fiqih Nusantara, Fiqih Mesir, dan Fiqh India yang merujuk pada tempat tertentu karena ada beberapa kekhasan daerah dan adat istiadatnya," kata Guru Besar IAIN Jember, M Noor Harisudin pada Ngaji Fiqh Corona, Sabtu (2/5). Diskusi diadakan oleh NU Sydney secara daring melalui aplikasi Zoom.
Menurut Prof Haris, sapaan akrabnya, Corona itu sesungguhnya tidak ada hukumnya kalau tidak ada kaitannya dengan perbuatan manusia. "Misalnya Covid-19 ada di hutan dan tidak berkaitan dengan manusia, ya tidak ada hukumnya," jelas Wakil Ketua PW Lembaga Dakwah NU Jawa Timur.
Covid-19 baru 'bunyi' hukumnya karena berhubungan dengan aktivitas manusia. Setidaknya, menurut dia, terdapat tiga hukum yang menjadi fokus pembahasan ketika berkaitan dengan ketaatan pada Allah SWT, yaitu hukum wajib, sunah, dan mubah.
"Yang wajib misalnya shalat Jumat dan merawat jenazah. Yang sunah, misalnya Tarawih, shalat berjamaah, pengajian umum, tadarus Al-Qur'an. Sementara, yang mubah, misalnya belanja keperluan sekunder di mall atau mudik," tukas kiai muda yang juga Dekan Fakultas Syariah IAIN Jember.
Prof Haris meneruskan, pada pembahasan Fiqih Corona, yang menjadi soal terutama hukum yang wajib terkait shalat Jumat.
"Kalau shalat Jumat di zona merah haram diadakan. Demikan juga, meski zona kuning, kalau seseorang khawatir tertular virus Corona, dia boleh tidak melakukan Jumat dan diganti shalat Dhuhur. Sementara, untuk merawat jenazah, hukumnya wajib mulai memandikan, mengkafani, menshalati, dan menguburkannya," bebernya.
Namun demikian, tetap saja semua itu harus sesuai protokol pemerintah. Artinya, kalau tidak memungkinkan menggunakan air pada proses memandikan jenazah, bisa tayamum.
Kalau yang sunah maka sesungguhnya 'lebih mudah'. Perbuatan sunah itu lebih longgar daripada fardlu, apalagi perbuatan yang mubah. Sehingga, dalam pandangan Kiai M Noor Harisudin, ibadah yang sunah dan mubah semestinya 'lebih mudah' digeser ke rumah.
"Apalagi, jika pemerintah telah memerintahkan untuk melaksanakan. Dalam kitab Nihayatuz Zein, Syeikh Nawawi al-Bantani mengatakan, ketika pemerintah mewajibkan sesuatu yang wajib, maka hukumnya menjadi wajib muakad. Ketika pemerintah mewajibkan yang sunah, maka hukumnya menjadi wajib. Ketika pemerintah mewajibkan yang mubah, maka menjadi wajib jika ada maslahah umat seperti larangan merokok. Nah, pakai masker dan social distancing yang mubah bisa menjadi wajib," papar Sekretaris Forum Dekan Fakultas Syariah dan Hukum PTKIN seluruh Indonesia.
Hanya sayangnya, lanjut dia, imbauan pemerintah dan bahkan ormas, kadang belum sepenuhnya ditaati oleh masyarakat. Padahal, ketaatan pada ulil amri senyampang bukan maksiat, mestinya ditaati.
"Di sini, saya kira peran tokoh agama yang menjelaskan pada umat. Bahwa semua larangan yang diimbau oleh pemerintah dan PBNU mestinya dilaksanakan hingga ke tingkat grass root. Karena ini kan sudah qadla yang sifatnya mengikat, bukan fatwa lagi. Sekali lagi, tugas tokoh agama itu," ujar pengasuh Pesantren Darul Hikam Mangli Jember.
Diskusi yang berlangsung mulai pukul 13.30-14.30 WIB berjalan seru dan dinamis dengan berbagai pertanyaan peserta. Para peserta diskusi adalah warga Indonesia di Australia maupun Indonesia. Dimoderatori oleh Hasan, diskusi ditutup doa oleh tokoh NU Sydney, Ust Emil Idad.
NU Sidney sendiri berada di bawah PCINU Australia-New Zealand dengan Ketua Tufel Musyaddad dan Rais Syuriyah KH Nadirsyah Hosen (Gus Nadir).
Kontributor: M Irwan Z
Editor: Kendi Setiawan