Internasional

Mengintip Suasana Ramadhan di Selandia Baru setelah Aksi Teror Christchurch

Kamis, 9 Mei 2019 | 12:00 WIB

Mengintip Suasana Ramadhan di Selandia Baru setelah Aksi Teror Christchurch

Jamaah di Masjid Al-Noor Christchurch saat Ramadhan ( Don Scott/Stuff)

Wellington, NU Online
Pada Jumat 15 Maret lalu, Brenton Harrison Tarrant (28) –seorang anti-imigran dan pendukung aliran supremasi kulit putih- menembak secara membabi-buta ke arah para jamaah yang akan melaksanakan Shalat Jumat di dua masjid di Kota Christchurch, Selandia Baru, yaitu Masjid Al-Noor dan Lindwood. Akibatnya, 51 orang meninggal dunia dan 50 lainnya mengalami luka-luka. Atas kelakuannya itu, Brenton didakwa dengan 89 tuduhan; 50 kasus pembunuhan dan 39 percobaan pembunuhan.

Kejadian itu tentu sedikit banyak mempengaruhi keberadaan Muslim di Selandia Baru. Mereka 'tidak sebebas dulu lagi' menjalankan sesuatu, seperti sebelum kejadian berdarah itu terjadi. Termasuk dalam menyambut dan menyemarakkan bulan Ramadhan tahun ini. 

Lantas seperti apa suasana Ramadhan di Negeri Kiwi tersebut setelah kejadian berdarah itu?

Sama seperti Indonesia, umat Muslim Selandia Baru mulai berpuasa Ramadhan 1440 H pada Senin, 6 Mei 2019 waktu setempat. Namun demikian, suasana Ramadhan di dua negara tersebut tidak akan sama. Terlebih, setelah terjadi aksi penembakan massal kepada umat Islam di masjid di Kota Christchurch dua bulan lalu. 

Aksi penembakan massal tersebut membuat Ramadhan tahun ini menjadi ‘berbeda’ bagi Muslim Selandia Baru. Diberitakan stuff.co.nz, Jumat (3/5), para sesepuh Muslim Selandia Baru mempertimbangkan untuk membatalkan beberapa pertemuan besar di kota selama bulan Ramadhan karena faktor keamanan.

Setiap tahunnya, lebih dari 400 orang berkumpul setiap Sabtu malam selama bulan Ramadhan di Christchurch untuk buka bersama. Kegiatan itu merupakan agenda besar rutinan yang diadakan Muslim Selandia Baru. 

Imam Masjid Linwood Ibrahim Abdelhalim mengatakan, Komunitas Muslim Canterbury (CMCT) sudah memesan Pusat Halswell untuk tempat buka bersama tahun ini. Namun mereka rencananya akan membatalkan empat acara buka bersama tersebut demi menjaga komunitas tetap aman. 

“Kami tidak ingin mengambil risiko besar untuk anak-anak kami. Keluarga yang telah meninggal atau terluka orang trauma dan takut," ungkapnya. 

Pihak kepolisian setempat masih melakukan patroli di dua masjid tersebut dan di beberapa lokasi yang memiliki potensi resiko serupa seperti tempat ibadah umat lainnya. Tidak hanya itu, aparat kepolisian dengan senjata lengkap juga ditugaskan untuk menjaga keamanan masjid-masjid di Selandia Baru selama bulan Ramadhan. Sebuah pemandangan yang belum pernah terjadi sebelumnya di Selandia Baru. 

Diketahui, ada 50.000 Muslim dan sekitar 60 masjid di Selandia Baru. Islam menjadi agama terbesar keempat di sana, setelah Kristen, Hindu, dan Buddha. 30 persen dari Muslim Selandia Baru lahir di sana. 

Juru bicara Federasi Asosiasi Islam Selandia Baru Anwar Ghani mengatakan, pihak kepolisian akan meningkatkan keamanan di masjid-masjid di Selandia Baru dari sekitar pukul 5 sore hingga 10 malam. Sehingga orang-orang merasa aman untuk datang, berbuka puasa, dan shalat berjamaah, termasuk shalat tarawih.

Imam Masjid Aal-Noor, Gamal Fouda mengatakan, masjid-masjid di seluruh Selandia Baru mengantisipasi jumlah jamaah yang membludak dari tahun-tahun sebelumnya, meski telah terjadi aksi terorisme di masjidnya itu. Menurutnya, orang-orang akan datang datang ke masjid dan saling memberikan dukungan.

“Kita terima dengan senang hati semuanya (yang datang),” katanya.

Presiden Asosiasi Muslim Selandia Baru Ikhlaq Kashkari mengundang siapapun untuk ikut berbuka puasa di masjid-masjid lokal setempat. Menurutnya, semua orang akan disambut dengan baik jika ia datang ke masjid.

“Meskipun (datang) di luar bulan Ramadhan, masjid terbuka untuk siapapun,” tegasnya.

Kashkari menuturkan, umat Islam tidak mengharapkan perlakuan khusus saat berpuasa di tempat kerja atau di sekolah. Mereka akan menghargai apapun yang ada. (Red: Muchlishon)