Jakarta, NU Online
Tradisi pergantian estafet kepemimpinan di tubuh Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Korea Selatan ditandai dengan serah terima keris. Senjata ampuh produk asli orang-orang Nusantara tersebut ingin dilestarikan PCINU Korsel karena mengandung kearifan lokal dan nilai-nilai luhur yang tinggi. Saat ini, keris menjadi salah satu warisan budaya dunia asal Indonesia yang sudah diakui UNESCO.
Ketika Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj diundang ke Korsel, Ahad (23/9) untuk memperingati ke-9 tahun Masjid Al-Huda Gumi, keris tersebut ditunjukkan dan dijelaskan sebagai semacam tongkat komando saat terjadi transisi kepemimpinan di tubuh PCINU Korsel.
Salah seorang aktivis PCINU Korsel Yasin Wisanggeni mengatakan, sekarang masyarakat telah memasuki abad k-21. Zaman telah berubah sehingga perlu masyarakat sadari bahwa penting untuk melestarikan hasil karya seni kebudayaan para leluhur Nusantara agar tidak terkikis perkembangan zaman.
“Bila kita melihat hasil karya seni para leluhur kita yang telah dibuat beberapa abad yang lalu cukup membanggakan serta mempunyai nilai seni dan makna yang tinggi. Salah satu peninggalan hasil karya tersebut berupa Tosan Aji yang berwujud keris,” ujar Yasin Wisanggeni dikutip NU Online, Selasa (25/9) lewat Facebook PCINU Korsel.
Sebagai generasi penerus, sambung Yasin, sudah sepantasnya masyarakat Nusantara melestarikan budaya yang adiluhung, penuh dengan makna dan filosofi tinggi yang terkandung di dalamnya.
“Beberapa waktu yang lalu saya diajak diskusi oleh seorang sahabat yang saat ini ada di Korea Selatan. Dari hasil diskusi akhirnya sepakat untuk menjadikan keris sebagai simbol estafet kepengurusan PCINU Korea Selatan,” ujar pria asal Bantul, Yogyakarta ini.
Dalam hal melestarikan warisan budaya, Yasin menjelaskan ada tiga hal cara untuk menghancurkan sebuah bangsa secara halus. Pertama, mengaburkan sejarah, kedua mengubur bukti sejarahnya dan ketiga memutuskan mata rantai sejarah dari leluhurnya.
Artinya, lanjut Yasin, memutuskan sejarah dari leluhur dalam hal ini antara lain menganggap bahwa leluhur masyarakat Nusantara adalah orang yang primitif. Padahal justru sebaliknya, sudah memiliki ilmu yang belum tentu bisa tercipta pada zaman sekarang.
Secara pribadi Yasin dan para sahabat yang ada di Korea Selatan bangga di mana tetap menjadikan keris sebagai simbol estafet kepengurusan atau kepemimpinan yang tentunya tidak melupakan keris sebagai jati diri bangsa Indonesia.
Dari hasil diskusi ini tercipta sebuah Keris dengan Dhapur Sepang, yang mempunyai makna dan filosofi tentang keseimbangan, baik hablun minallah maupun hablun minannas, yang artinya keseimbangan antara hubungan antara Manusia dengan Tuhan dan hubungan antara sesama manusia.
Pamor Keleng yang memiliki makna kelanggengan, mempunyai prinsip, tegas, tidak plin-plan dan ketulusan, dihiasi dengan kinatah logo NU, warangka sunggingan dengan logo NU juga pendok dengan logo NU. “Salut buat sahabat-sahabat PCINU Korea Selatan, beliau semua memang luar biasa,” ungkap Yasin.
Dia membayangkan seandainya ini bisa diadopsi oleh para pengurus NU se-Indonesia dari pusat hingga anak ranting. Itu baru satu organisasi saja, menurutnya bisa dibayangkan kalau hal ini ditiru oleh organisasi, komunitas, instansi pemerintah maupun swasta dan masih banyak lagi, tentunya Keris akan semakin jaya seperti zaman dahulu, yang saat ini Keris tinggal salah satu saksi kejayaan Nusantara pada masa lampau.
“Mari kita bergerak dan bekerja bersama demi lestarinya tosan aji Nusantara,” tandas Yasin. (Fathoni)