Jakarta, NU Online
Dosen Antropologi Budaya Universitas King Fahd of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, Prof Sumanto al Qurtuby menjelaskan, banyak masyarakat Indonesia, baik Muslim atau non-Muslim, yang salah paham atau gagal paham terhadap bangsa Arab. Kesalahpahaman itu lantas menyebabkan penilaian yang tidak akurat dan tidak valid terhadap bangsa Arab it sendiri.
Menurut Prof Sumanto, setidaknya ada tujuh kesalahpahaman tentang bangsa Arab. Pertama, bangsa Arab itu sebagai ‘bangsa Muslim’. Memang, mayoritas bangsa Arab adalah Muslim, namun ada juga yang non-Muslim. Sebagai bangsa lainnya, masyarakat Arab juga memeluk agama yang beragam. Mulai dari Kristen, Yahudi, Druze, Baha’i, bahkan ada yang ateis atau agnostik.
“Arab Kristen adalah kelompok non-Muslim Arab yang paling dominan,” kata doktor lulusan Universitas Boston itu, sebagaimana dikutip NU Online dari laman dw.com, Senin (31/12).
Meski Muslim, lanjut Prof Sumanto, bangsa Arab juga beragam. Ada yang Sunni, ada yang Syiah, dan ada juga yang Ibadi. Sunni menjadi mazhab dominan, tapi Syiah juga juga banyak sekali dan tersebar di Irak, Saudi, Libanon, Bahrain, Qatar, Uni Emirat Arab, dan lain sebagainya.
Kedua, bangsa Arab itu sama dengan Arab Saudi. Banyak yang menganggap kalau bangsa Arab itu adalah Arab Saudi dan menganggap Arab Saudi sebagai tolak ukur atas bangsa Arab secara umum.
“Tentu saja persepsi ini sama sekali tidak akurat karena bangsa Arab bukan hanya di Saudi saja tetapi juga tersebar di berbagai negara,” tegasnya.
Merujuk laporan Charter of the Arab League, ada sekitar 22 ‘negara Arab’ di Timur Tengah yang bahasa resmi atau bahasa nasionalnya adalah bahasa Arab. Yaitu Arab Saudi, Aljazair, Bahrain, Comoros, Djibouti, Mesir, Irak, Yordania, Kuwait, Libanon, Libya, Mauritania, Maroko, Oman, Palestina, Qatar, Somalia, Sudan, Suriah, Tunisia, Uni Emirat Arab dan Yaman.
Ketiga, Arab sebagai bangsa monolitik atau homogen yang mempraktikkan tradisi dan budaya yang sama. Misalnya anggapan bahwa semua laki-laki Arab memakai jubah, berjenggot, sementara perempuannya memakai cadar. Bagi Prof Sumanto, pandangan seperti sangat fatal. Banyak juga orang Arab yang mengenakan pakaian ala Barat dan banyak perempuan yang tidak bercadar.
“Sebagaimana suku-bangsa lain di dunia ini, Bangsa Arab juga bangsa heterogen dalam segala aspek kehidupan bahkan bukan hanya soal adat-istiadat, tradisi dan budaya mereka saja tetapi sampai pada masalah teologi-keagamaan, pandangan perpolitikan, sistem pemerintahan, sistem perekonomian, dan lain sebagainya,” paparnya.
Keempat, bangsa Arab mengikuti sistem politik pemerintahan Islam. Prof Sumanto menjelaskan, negara-negara Arab memiliki sistem politik pemerintahan yang beragam. Ada yang menerapkan sistem monarki seperti Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, Yordania, Maroko, Oman, dan lainnya. Ada yang sistem pemerintahannya republik seperti Mesir, Yaman, Sudan, Libanon, Aljazair, Suriah, Irak, dan lainnya.
“Sebagai negara-kerajaan pun mereka berlainan: ada yang mengikuti sistem kesultanan (seperti Oman), monarki konstitusional (seperti Kuwait), keamiran (Qatar), kerajaan federal (seperti Uni Emirat Arab), dan seterusnya,” jelasnya.
“Menariknya, negara-negara Arab menolak sistem politik-pemerintahan model khilafah yang oleh sebagian umat Islam di Indonesia justru didengung-dengungkan,” lanjutnya.
Kelima, negara-negara Arab itu kaya raya karena memiliki sumber minyak. Pandangan seperti ini juga tidak sepenuhnya benar. Banyak sekali negara Arab yang miskin, bahkan lebih miskin dari pada Indonesia.
“Negara-negara Arab yang cukup makmur dan kaya itu hanya kawasan Arab Teluk saja seperti Saudi, Qatar, Kuwait, Uni Emirat Arab, Bahrain dan Oman,” ungkapnya.
Keenam, Arab identik dengan Suku Badui yang hidup berpindah-pindah. Pandangan ini juga tidak tepat karena banyak masyarakat Arab yang tinggal dan menetap di kota-kota. Ketujuh, bangsa Arab itu kolot dan konservatif yang gaya hidupnya konservatif dan kuno. Padahal banyak masyarakat Arab yang gaya hidup dan pola pikirnya modern dan maju.
“Melihat keragaman dan kerumitan bangsa Arab ini, maka dengan demikian jelaslah bahwa jika ada sekelompok umat Islam di Indonesia yang seolah-olah meniru gaya ‘orang Arab’ dalam berpenampilan (dengan berjubah, berjenggot atau bercadar, misalnya), sebenarnya yang mereka tiru adalah ‘Arab imajiner’ atau ‘bangsa Arab’ seperti dalam ‘alam imajinasi’ sekelompok Islam itu, bukan Bangsa Arab di alam nyata,” tukasnya. (Red: Muchlishon)