Internasional HARLAH KE-92 NU

Ulama Suriah Puji Pendidikan Pesantren di Indonesia

Rabu, 7 Februari 2018 | 00:00 WIB

Damaskus, NU Online
Memperingati harlah NU ke-92, Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Suriah bekerjasama dengan KBRI Damaskus menggelar talkshow dan khataman serta ijazahan kitab Arba'in an-Nawawiyah denga Syekh Abdurrazaq al-Najm al-Hasani di Aula KBRI Damaskus, Ahad (4/2).

Acara yang mengambil tema Pesantren di Mata Dunia dihadiri oleh Kuasa Usaha KBRI, Priyanto Mawardi; staf KBRI Damaskus; mahasiswa, dan Nahdliyin yang berdomisili di Damaskus ini berlangsung dengan khidmat. Acara dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-Qur'an dan menyanyikan lagu Indonesia Raya. Kemudian dilanjutkan dengan pembacaan Maulid Diba'i bersama, dan dilanjutkan dengan acara inti yaitu, talkshow menghadirkan Syeikh Abdurrazaq al-Najm yang baru saja selesai melakukan lawatan ilmiah di Indonesia sekitar sebulan yang lalu.

Talkshow ini sengaja digelar untuk melihat bagaimana pandangan ulama dunia terhadap pondok pesantren yang merupakan ciri khas pendidikan Islam di Indonesia. Diharapkan dari talkshow ini, para mahasiswa yang mayoritas merupakan jebolan berbagai pesantren di tanah air dapat lebih menyempurnakan sistem pendidikan di pondok pesantren yang selama ini terbukti mampu menciptakan kader-kader ulama yang mumpuni, moderat dan mampu mengiringi perjalanan bangsa ketika kembali ke tanah air nanti.

Pemilihan Syekh Abdurrazaq al-Najm al-Hasani bukanlah hal yang tanpa sebab. Pada pertengahan Desember sampai pertengahan Januari kemarin, atas prakarsa wakil Mustasyar dan Rais Syuriyah PCINU Suriah, ulama kelahiran 1979 ini menjadi pengisi program diklat di Pondok Pesantren Mamba'us Sholihin, Gresik, Jawa Timur, yang berada di bawah asuhan KH Masbuhin Faqih.

Syekh Abdur Razaq menyampaikan kekaguman atas antusiasme para santri dalam menuntut ilmu agama. Pondok pesantren cukup mendapat tempat di hati masyarakat Indonesia. Hal itu terlihat dari jumlah santri di banyak pondok pesantren bisa mencapai puluhan ribu orang.

Di samping itu, ia juga kagum atas upaya santri dalam mempelajari bahasa Arab dan tetap manjadikan kitab Alfiyah Ibnu Malik sebagai kitab pegangan dalam nahwu dan sharaf. Padahal kitab tersebut sudah jarang dipakai para akademisi di dunia Arab, bahkan di jurusan Sastra Arab sekalipun.

"Saya sampai melongo mendengar para santri melantunkan bait-bait Alfiyah Ibnu Malik dalam halaqah-halaqah kecil dengan nada yang tidak pernah saya dengar selama hidup saya," katanya dengan nada takjub.

Tetapi di sisi lain, ia menyampaikan beberapa catatan penting yang harus segera dilaksanakan agar sistem pengajaran pondok pesantren yang sudah sangat baik ini menjadi lebih sempurna.

"Ada 5 disiplin ilmu yang harus digenjot di dunia pesantren, yaitu Mushtalah Hadits, Ushul Fiqh, Mantiq, Ilmu Aqidah dan Ilmu qira'ah (Al-Qur'an) yang bersanad," ujarnya.

"Ilmu Mushthalah Hadits saya kira menduduki posisi pertama karena kemarin saya melihat banyak hadits maudhu' dikutip bukan hanya oleh para santri tetapi juga oleh sebagian para ustadz pondok pesantren. Ini hal yag sangat berbahaya. Disusul dengan ilmu Ushul Fiqh agar Fiqh yang kita pelajari tidak mati dan terus bisa menjawab segala tuntutan zaman. Kemudian Ilmu Ushul Aqa'id dan Ilmu Kalam," paparnya.

Ia mengapresiasi, kitab Jawhar al-Tawhid masih menjadi kitab pegangan di Indonesia. Hanya saja pemahaman harus diperdalam dan diperluas dengan merujuk berbagai syarah kitab tersebut.

"Kemudian ilmu Manthiq juga harus diperdalam lagi agar setiap santri mampu berfikir logis dan mampu menyampaikan ilmu yang dia pelajari kepada umat secara rasional. Yang terakhir adalah ilmu qira'at. Saya melihat banyak pondok pesantren salaf kurang memperhatikan hal ini. Padahal hal ini sangat penting karena kita bukan hanya diperintahkan untuk mempelajari kandungannya tapi juga bagaimana cara membacanya agar sesuai dengan bacaan ketika Alquran itu turun kepada Rasulullah SAW," tegasnya. 

Menurutnya solusi yang paling tepat adalah mengadakan diklat-diklat khusus untuk kelima disiplin ilmu di atas seperti yang dilakukan di masjid-masjid Damaskus. Dan hal ini harus di dukung oleh semua pihak baik dari kepemerintahan, lembaga-lembaga keagamaan dan masyarakat pada umumnya.

Ia optimis jika kelima disiplin ilmu tersebut terus digenjot, dalam kurun waktu 10-15 tahun mendatang Indonesia sudah tidak butuh lagi ulama-ulama dari luar. Bahkan Indonesia sudah menjadi pengekspor ulama ke seluruh dunia.

"Orang indonesia itu sangat fanatik sekali terhadap Madzhab Syafii. Mereka mempelajari dan mengamalkan hampir semua kitab-kitab fiqh dalam madzhab syafii, bahkan detil-detil madzhab Syafi'I pun mereka tahu. Ini juga yang membuat saya kagum dengan ulama-ulama Indonesia," ujarnya sambil tersenyum.

Seperti diketahui, Syeikh Abdur Razaq al-Najm sendiri pengikut mazhab Hanafi. Walaupun demikian, ia banyak berguru kepada ulama-ulama mazhab Syafi'I. Bahkan banyak mentahqiq kitab-kitab fiqh mazhab Syaf'I seperti Mughni al-Muhtaj, I'anah al-Thalibin dan lainnya. Tidak heran jika ia cukup mumpuni dalam dalam mazhab Syafi'i. Hal demikian bukanlah sesuatu yang aneh dalam dunia keilmuan di negeri bilad syam (Suriah).

Dan Acara talkshow ini ditutup dengan pembacaan kitab Arbain an-Anawiyah, sekaligus ijazah mata rantai sanad para ulama mazhab Syafi'I di Damaskus yang bersambung dengan Imam Nawawi. (Muhammad Ahsin Mahrus/Kendi Setiawan)