Oleh: H Khumaini Rosadi
Jika dibandingkan bagaimana suasana berpuasa di Hong Kong dengan berpuasa di tanah air Indonesia amatlah sangat berbeda. Perbedaannya begitu jauh "Karena jelas-jelas kesempatan untuk berbuat dosa atau maksiat yang menghantarkan pelakunya kepada neraka lebih banyak adanya di Hong kong," ungkap Ibu Purwatiningsih yang biasa dipanggil Bu Wati Tempe.
Kalau tidak kuat iman, kata dia, kita akan terpengaruh oleh arus global. “Njenengan sekarang ini berdakwah di hadapkan pada majelis-majelis taklim yang sudah terkondisikan, siap untuk mengaji, penuh dengan ukhti-ukhti yang sudah berhijab, tidak ada tantangan," katanya lagi dengan logat Jawa Timur yang khas.
Ia pun meneruskan kisahnya kepada saya, "Tapi lain dengan dakwah saya, cara saya mengajak orang-orang yang tidak terkondisikan itu penuh hujatan, cacian, dan hinaan datang silih berganti. Bahkan ada anggapan bahwa orang-orang yang sudah terjerumus ke lembah hitam seakan tidak ada kemungkinan lagi untuk bertaubat. Mereka selalu dipandang sebelah mata. Kasihan mereka. Terisolir dari orang-orang baik dan agama yang menenteramkan jiwa-jiwa yang resah," urai Bu Wati.
.
Saya terus mendengarkan cerita Bu Wati. "Pelan-pelan," sambung Bu Wati, "saya selalu berbaur dengan mereka, mendekati dan menelusuri apa sebenarnya penyebab kronologis mereka hingga menjadi seperti ini."
Cerita Bu Wati itu sebagai jawaban bagaimana caranya mengumpulkan dan menyadarkan para BMI dalam satu wadah pengajian yang biasa diadakan setiap hari Ahad bakda ashar di lapangan basket dekat Terminal Bus Yuen Long-Hong Kong.
Inilah Majelis Taklim Nurul Hidayah binaan Ibu Wati. Pada tanggal 20 Mei 2018, saya bertugas dan berkesempatan mengisi pengajiannya. Padahal sebagian besar dari mereka adalah para BMI yang sudah pernah patah arang-putus harapan, merasa dirinya sudah tidak berharga lagi, bahkan cenderung mengakhiri hidupnya dengan caranya sendiri.
Dengan membekali keterampilan kepada jamaah majelis taklim Nurul Hidayah, Ibu wati berhasil menularkan bakat enterpreuner-nya dengan baik. Ia juga menjadi pengusaha kecil-kecilan dengan membuat tempe yang enak khas Indonesia. Tempe dipasarkan secara door to door, karena tidak boleh BMI mencari keuntungan di luar pekerjannya. Semua dilakukan semata-mata untuk membantu sesama BMI yang suka makan tempe. Ia juga pandai memasak dan membuat racikan-racikan minuman segar kemasan berbahan dasar kurma dan air zam-zam.
Meskipun berstatus sebagai BMI, ia memiliki jiwa solidaritas dan kepekaan sosial yang tinggi terhadap teman-teman senasibnya yang tidak mendapatkan keberuntungan sepertinya. Keuntungan dari hasil usahanya itu digunakan untuk membantu teman-teman yang kesulitan membiayai hidupnya sendiri seperti membeli makanan, obat-obatan, atau ongkos untuk pulang ke Indonesia.
Sosok Wati adalah BMI yang memang beruntung. Beruntung mendapatkan majikan yang baik. Diberikan kebebasan untuk melakukan ibadah. Disediakan kamar sendiri. Majikan ramah makanan, artinya tidak meminta dimasakkan makanan-makanan yang diharamkan. Pekerjaan sesuai dengan perjanjian dan tidak membebankan pekerjaan berisiko tinggi seperti membersihkan jendela luar kamar yang memungkinkan terjatuh dari flat yang tinggi.
Membersihgkan jendela luar kamar banyak dilakukan BMI. Seperti yang diceritakan oleh Juleha, BMI yang saat ini sedang interminit (menunggu visa dan majikan) dan akan pulang ke Pekalongan, Jawa Tengah. Ia berhenti kerja karena tidak cocok dengan majikannya yang banyak menuntutnya pekerjaan berisiko tinggi.
Keberuntungan Bu Wati adalah keberuntungan yang didapatkan oleh sebagian BMI. Belum tentu BMI yang lain akan mendapatkan keberuntungan seperti itu. Yang buntung juga ada.
Mengajak serta merangkul anak-anak yang sudah terjerumus ke jalan yang tidak di ridhai oleh Allah itu tidak mudah. Diperlukan kesabaran, ketelatenan, dan pengorbanan. Materi pun tetap harus keluar, karena mereka kebanyakan anak-anak yang tidak punya uang. Uang mereka habiskan untuk pesta dan hura-hura.
"Insyaallah saya pribadi meskipun harus berkorban banyak, saya ikhlas. Asalkan mereka bisa bertaubat dan kembali ke jalan yang benar, saya bersyukur. Saya tidak berharap imbalan apa pun," kata dia.
Demikianlah perjuangan dan pengorbanan dari BMI yang perduli dengan nasib teman-temannya yang tidak seberuntungnya. Semoga masih banyak lagi kepedulian-kepedulian BMI hebat seperti ibu Wati ini. Saya optimis hal itu bisa terwujud karena majelis-majelis taklim semakin berlomba-lomba dalam kebaikan dan istiqamah meningkatkan kualitas iman takwa jamaahnya. Amin.
Penulis adalah Corps Dai Ambassador Dompet Dhuafa (Cordofa), Tim Inti Dai Internasional dan Multimedia (TIDIM) LDNU.