KH Muhammad Zahrie adalah salah seorang tokoh yang turut mendirikan dan membesarkan organisasi NU di Lampung. Beliau adalah Ketua PWNU Lampung yang masa baktinya paling lama, yaitu tahun 1967 hingga 1983.
Menurut salah seorang puteranya, Ahmad Harisudin Zamas, Kiai Zahrie dikenal sebagai orang yang berani dan tegas. Jika berkaitan dengan prinsip, dia akan melawan siapa pun. Namun jika terkait dengan kemanusiaan dan agama, sang ayah menjadi amat lembut dan damai.
Beliau suka berbagi ilmu
Di kalangan pengurus NU di Pulau Jawa, Zahrie dikenal dengan sebutan Kiai Sumatera. Berperawakan agak gemuk, tinggi sekitar 160 cm. Kulitnya kuning bersih. Gaya bicaranya kalem tapi tegas. Tutur katanya lembut. Bila sedang menyampaikan pidato amat mempesona, gaya bicaranya keras terarah, dan tidak menggunakan bahasa-bahasa tinggi sehingga mudah dimengerti orang lain.
Dikisahkan oleh Ketua NU Cabang Pagelaran pada masa itu, Sayuti, Kiai Zahrie seorang yang sangat cinta pendidikan. Terlebih latar belakangnya adalah guru agama. Tak heran bila kemudian beliau mendirikan pondok pesantren yang masih eksis sampai sekarang, yaitu Pesantren Modern NU (Pemnu), yang berada di Talang Padang, Tanggamus.
Beliau juga pernah mendirikan Rumah Sakit Bersalin. Tapi zaman dulu, tenaga kesehatan sangat sulit. Bidan tidak ada, dokter langka, sehingga rumah sakit bersalin-nya harus ditutup.
Pada masa Zahrie, organisasi NU yang kala itu menjadi Partai NU, berjalan dengan baik. Lembaga-lembaga dan badan otonom seperti Ansor, Fatayat, Muslimat, semua eksis dan kompak dalam menguatkan paham ahlussunnah wal jamaah dan mengutamakan peningkatan akidah.
Kiprahnya di NU tidak diragukan lagi. Pada tahun 1937-1950 Kiai Zahrie adalah Presiden Kring (istilah Ranting pada saat itu) NU Tanjung Begelung/ Komisaris NU Anak Cabang Talangpadang.
Lalu setelah kemerdekaan Indonesia, beliau menjadi Ketua Cabang NU Talang Padang (1950-1962), dan menjadi Ketua II NU Sumatera Selatan, yang sekaligus merangkap sebagai Ketua Lembaga Pendidikan Ma’arif NU Sumatera Selatan
(1962-1964).
Ketika itu Lampung masih tergabung dalam Provinsi Sumatera Selatan, sehingga NU di Lampung kepengurusan di tingkat wilayahnya berada di Sumatera Selatan.
KH Zahrie lahir di Way Panas, Talangpadang, 20 Juni 1919. Dari pernikahannya dengan H Masnoen, lahirlah 11 orang putera dan puteri. Mereka adalah Ahmad Hariri Zamas, Siti Rohayah, Siti Nazifah Zamas, KH Ahmad Syafruddin Zamas, Hj Siti Masroyah Zamas, KH Ahmad Wahid Zamas, Ahmad Aminuddin Zamas, Siti Masrifah Zamas, Ahmad Hidayatullah Zamas, Ahmad Harisuddin Zamas, dan Siti Masniyati Zamas.
Pada saat peristiwa pemberontakan PKI, banyak warga NU yang menjadi korban. Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) menunjuk Kiai Zahrie menjadi Ketua Friont Pembebasan Pancasila untuk wilayah Lampung. Mereka banyak menangkap orang-orang yang diduga bergabung dalam PKI.
Bagi yang ditangkap, dibawa ke pondok dan diperlakukan dengan baik, tidak dianiaya, seperti banyak cerita yang beredar. Bahkan ikut membantu sebagai tukang untuk membangun renovasi pondok pesantren.
Karir politiknya pernah menjadi Anggota DPRD Kabupaten Lampung Selatan (1958-1965), Anggota DPRD Lampung (1965-1976), Anggota DPR GR (1971-1976), dan Anggota DPR/MPR RI (1977-1982).
Sebagai seorang tokoh agama dan tokoh masyarakat, sang kiai juga adalah seorang pejuang. Beliau diantaranya pernah menjadi polisi tentara di bawah pimpinan Letnan Kgs Zainuddin Hamzah (1947-1949), Anggota Komandan Bukit Barisan Rebang (BBR) Singo Kosiong di bawah pimpinan Kapten Munzir/Opsir Suwarno (1949-1950), dan Ketua Legion Veteran Ranting Talangpadang (1953-1958). Pada tahun 1965 hingga akhir hayatnya, KH Zahrie adalah Ketua Front Pancasila Provinsi Lampung.
Saat terjadi pemberontakan DI/TII, Ketua Umum PBNU pada masa itu, Kiai Idham Chalid, melibatkan para ulama untuk menumpas gerakan tersebut. Beliau membentuk KPK yaitu Kiai-Kiai Pembantu Keamanan, yang diketuai oleh KH Muslich dari Jakarta. Anggotanya ditunjuk satu orang dari masing-masing wilayah yang terdapat DI/TII, termasuk Lampung, dibawah pimpinan Kiai Zahrie.
Kiai Zahrie menjadi ketua PWNU Lampung hingga akhir hayatnya, pada tahun 1983. Harisudin Zamas merupakan satu-satunya anak laki-laki yang mendampingi ayahnya saat detik-detik akan wafat. Haris menuturkan, ayahandanya berpulang pada 17 Mei 1983 dinihari, usai rapat pengurus NU yang digelar di rumahnya hingga larut malam. (Ila Fadilasari)
Terpopuler
1
Khutbah Jumat: Gambaran Orang yang Bangkrut di Akhirat
2
Khutbah Jumat: Menjaga Nilai-Nilai Islam di Tengah Perubahan Zaman
3
Khutbah Jumat: Tolong-Menolong dalam Kebaikan, Bukan Kemaksiatan
4
Khutbah Jumat: 2 Makna Berdoa kepada Allah
5
Khutbah Jumat: Membangun Generasi Kuat dengan Manajemen Keuangan yang Baik
6
Rohaniawan Muslim dan Akselerasi Penyebaran Islam di Amerika
Terkini
Lihat Semua