Jakarta, NU Online
Umat manusia telah lama mengenali komet dalam sejarah peradabannya. Dan selama lebih dari 2.000 tahun terakhir kerap mengaitkan ketampakan komet dengan peristiwa atau malapetaka buruk yang sedang atau akan menimpa. Biang keladi terbentuknya pemahaman ini adalah filsuf Aristoteles, yang kemudian terus diwariskan dari generasi ke generasi.
"Catatan-catatan pengamatan komet dalam literatur falak klasik yang merentang 8,5 abad lamanya, tepatnya dari tahun 57 H hingga 915 H, tidak menunjukkan kecenderungan tersebut," ungkap fungsionaris Lembaga Falakiyah Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (LF PBNU) Ma'rufin Sudibyo kepada NU Online terkait fenomena ini, Sabtu (16/5).
Dalam literatur falakiyah klasik, jelas Ma'rufin, komet disebut sebagai najm dhu dhu’aba atau kawkab dhu dhu’aba. Dalam bentuk pendek disebut dhu’aib atau dhanab. Semua memiliki arti sebagai bintang yang berambut atau bintang yang berekor.
Ada pendapat bahwa benda langit ini secara simbolik disebut najm tsaqib dan tersurat dalam Al–Qur'an khususnya Surat ath–Thaariq ayat 3. Najm tsaqib bermakna bintang yang menembus dan diinterpretasikan sebagai bintang yang bentuknya mirip mata tombak atau jarum, salah satu ciri khas ketampakan komet.
Pengamatan pada Komet SWAN
Terkait dengan komet, pada pertengahan bulan Ramadhan 1441 H, LF PBNU telah melakukan pengamatan dan mencatat data dari sebuah komet yang yang tidak setiap saat ada di langit malam.
"Komet adalah benda langit berbentuk gumpalan seukuran bukit hingga gunung yang melayang di langit menyusuri orbit khasnya. Komet tersusun atas pasir dan batu yang diikat oleh es dan bekuan senyawa-senyawa ringan (volatil) lainnya. Saat mendekati Matahari dalam perjalanan menyusuri orbitnya, panas Matahari menyebabkan es dan bekuan tersebut mulai menguap," jelas Ma'rufin.
Selanjutnya uap mendorong butir-butir debu dan pasir hingga tersembur ke angkasa, menyerupai situasi letusan gunung berapi jangka panjang. Dan akhirnya tekanan angin Matahari membuat serakan butir-butir debu dan pasir terdorong ke sepanjang lintasan yang telah dilewati komet. Itulah yang terlihat sebagai bentuk ekor komet yang khas, yang kedudukannya selalu menjauhi posisi Matahari.
"Komet yang diamati LFNU dikenal sebagai komet SWAN, yang dikodekan sebagai C/2020 F8 berdasarkan aturan IAU (International Astronomical Union). Komet ini mendapatkan namanya karena pertama kali terlihat melalui kamera SWAN (Solar Wind Anisotropy) yang terpasang di wahana antariksa SOHO (Solar and Heliospheric Observatory)," jelas Ma'rufin.
Begitu ditemukan, lanjutnya, perhitungan-perhitungan menunjukkan komet SWAN diperkirakan akan mulai memasuki ambang batas kemampuan mata manusia pada bulan Mei. Dengan kata lain bisa dilihat oleh mata manusia tanpa alat bantu apapun, asalkan langit sempurna dan lingkungan dalam kondisi gelap.
"Lembaga Falakiyah PBNU tidak secara resmi menginstruksikan menggelar pengamatan komet SWAN. Namun sebagai lembaga yang beranggotakan para ahli falak yang sebagian di antaranya memiliki kualifikasi setara astronom umumnya, terbit inisiatif untuk menggelar pengamatan akan komet SWAN di sejumlah lokasi," tambahnya.
Beberapa daerah yang menggelar pengamatan komet ini adalah Lembaga Falakiyah PCNU Ponorogo di Kota Ponorogo, Jawa Timur. Pengamatan yang dilakukan oleh Sekretaris LFNU Ponorogo Ahmad Junaidi, ini dilaksanakan menjelang Shubuh dengan menggunakan teleskop kreasinya sendiri pada Kamis (7/5).
Pengamatan yang sama juga dilakukan pada waktu berbeda oleh Hendro Setyanto, wakil ketua Lembaga Falakiyah PBNU di kota Lembang (Jawa Barat). Ia melakukan pengamatan pada Senin (4/5) menjelang Shubuh melalui observatorium pribadinya yang bernama Imah Noong, tak jauh dari lokasi Observatorium Bosscha.
"Meski menyelenggarakan dua pengamatan berbeda pada waktu dan lokasi yang berbeda pula, hasil yang diperoleh relatif serupa. Komet SWAN masih sangat sulit dilihat oleh mata tanpa alat bantu optik. Jika menggunakan teleskop dan kamera yang memadai, komet SWAN nampak sebagai bintik cahaya samar berselimutkan pendar warna kehijauan. Jadi berbeda dengan ketampakan bintang ataupun planet. Warna hijau tersebut dihasilkan oleh molekul-molekul sianogen dan karbon diatomik yang tereksitasi akibat paparan cahaya Matahari," jelas Ma'rufin.
Jadi berdasar observasi LFNU ini menegaskan bahwa komet SWAN memang ada di lintasannya sesuai dengan yang diperhitungkan. Komet ini merupakan komet parabolik, karena bergerak menyusuri lintasan yang berbentuk parabola atau hampir mendekati parabola. Karenanya komet ini mungkin hanya sekali mengunjungi bagian dalam tata surya. Untuk kemudian akan kembali menjauh menuju ke tepian tata surya, melata menyusuri tempat-tempat yang dingin membekukan.
Pewarta: Muhammad Faizin
Editor: Kendi Setiawan